webnovel

Kembali Ke Desa

"Jadi ada beberapa syarat yang harus kamu lakukan jika ingin mendapatkan kekayaan dari Bunda Ratu." Tutur Sarah setelah Wiryo selesai melakukan semedi . Sarah selain pelaku pesugihan juga merangkap sebagai juru kunci untuk goa itu.

"Yang pertama, kamu harus menyediakan tumbal setiap tahun tepat di hari selasa kliwon. Yang kedua, syarat ini cukup berat dan harus kamu lakukan, Bunda Ratu sangat menyukaimu, dia ingin memilikimu sepenuhnya, jadi kamu tidak boleh memiliki pasangan terlebih lagi istri sampai akhir hayatmu."

Wiryo awalnya keberatan dengan syarat itu. Sebagai manusia normal, dia juga ingin menikah dan memiliki keturunan. tetapi dia sudah terlanjur melakukan ritual, sehingga mau tidak mau dia harus mengikuti apa yang menjadi kehendak sang Ratu. Dia juga diharuskan untuk menyediakan tempat kosong jika sewaktu-waktu Ratu datang dan ingin bercengkrama dengan Wiryo. Baru kemudian dia mendapatkan sebuah jimat berupa batu permata, yang akan di letakan di restauran atau sawah miliknya, supaya hasilnya melimpah ruah tanda kendala.

Bersenggama dengan Sang Ratu, sangat menguras tenaga. ibarat seekor kuda yang menarik truk. Tetapi dia tidak punya pilihan lain, selain harus menuruti hasrat Ratunya demit itu. kalau tidak ingin nyawa menjadi taruhannya.

Namun, sekarang dia terbebas!

Tidak ada lagi Bunda Ratu,

Tidak ada lagi Sarah, wanita tua yang selalu merongrong dirinya supaya tunduk kepada bunda Ratu.

Yang ada Siluman Ular yang akan menjamin kekayaan yang jauh lebih besar!

Wiryo tersenyum-senyum sendiri sembari mengendarai mobil Fortunernya. Dengan merebut aset restoran milik Sarah, otomatis dia akan menjadi salah satu konglomerat di negeri ini.

Mobil itu melaju pelan di jalan masuk desa. Warga yang beraktivitas di luar menoleh sejenak. Sosok Juragan Wiryo lantas menurunkan kaca mobil . Samar-samar asap yang tipis dari tubuh Wiryo melayang kesetiap orang yang berpas-pasan dengannya. Kharisma siluman membius pemikiran mereka bahwa Wiryo adalah orang baik yang di agung-agungkan, tanpa sedikitpun cela. Tak ayal, mereka pun lupa dengan apa yang diucapkan Soleh tempo hari.

Tiba-tiba ekor matanya menangkap sosok wanita cantik yang sedang hamil. Dia seperti kesulitan untuk menstater motor matiknya,

"Motornya kenapa Nduk?" tanya Pak Wiryo lembut. Seketika wanita itu menoleh. Mata mereka saling beradu, cukup lama. Wiryo merasakan degup jantunganya tidak seperti biasa. Wanita itu mungkin masih umur dua puluh lima tahun.

Pak Wiryo menjetikan tangan sampai gadis itu gelagapan karena saking lamanya menatap Wiryo. Dari tatapan mata tersirat ketertarikan.

"Sini, biar saya bantu." Pak Wiryo lantas turun dari mobil, sejenak dia menyingsingkan lengan baju dan memegang handle gas dan menekan stater. Karena tidak berhasil dia pun memancal kick stater yang ada di bawah dan langsung nyala.

"Aduh Makasih ya Pak Wiryo."

"Kamu mengenal saya? Beruntung banget ada bidadari yang kenal denganku."

"Ah.. bapak bisa saja. Siapa sih yang tidak mengenal pria tampan dan kaya raya di kampung ini."

"kok manggilnya Bapak Sih, emang tampang saya seperti bapak-bapak?"

"Kalau manggilnya Mas boleh enggak?" pinta Dina sembari mengerling genit.

"Boleh banget, apa sih yang enggak buat bidadari secantik kamu? Eh.. ngomong-ngomong, Nama kamu siapa? Kok aku enggak pernah lihat kamu?"

"Saya Dina Pratiwi, Mas. asli desa sebelah, saya tinggal di sini karena ikut dengan suami saya namanya Reza." Dina menjelaskan asal usulnya. Reza, Nama yang sangat familiar di telinga semua orang sebagai berandalan desa dan juga perampok.

"Bukannya Reza di penjara ya? Kasihan dong kamu sendirian di rumah.Pasti kesepian." goda Pak Wiryo. Dina hanya menggigit bibir dengan kerlingan mata yang menawan, membuat hati Pak Wiryo berdesir.

"Ya sudah Mas, saya permisi mau pulang dulu " ujar Dina sembari mengerling genit. Pak Wiryo membalas dengan senyum yang paling menawan, dia menatap kepergian gadis itu sampai hilang dia pertigaan jalan.

"Wanita yang menarik?" sekilas pupil matanya membentuk vertikal dengan lidah luar yang menjulur keluar.

****

Mobil itu terus melaju dan berhenti di rumah yang letaknya di ujung desa. Pelan-pelan dia membuka pintu. Di sana Dia bertemu dengan Pak Modin yang menenteng sebuah sabit, mau berangkat ke sawah.

"Masya Allah!" ujar Pak Modin yang mundur beberapa langkah. Seolah ada kekuatan besar yang mendorongnya. Pak Wiryo tersenyum sinis, dia mendekati sosok tua itu,

"Kenapa Pak Tua?" tanya Wiryo sembari menaikan satu alisnya dan bersedekap tangan. Pak Modin merasakan aura negatif yang begitu kentara dari juragan berparas tampan itu.

"Tidak apa-apa Pak. Saya hanya terkejut," kilah Pak Modin dengan nafas yang menderu. Dia tidak kuat jika harus berlama-lama di pria itu. tetapi ada sesuatu yang harus dia sampaikan.

"Wiryo, minggu depan akan ada pengajian di rumah Pak Muis, kamu datang ya?

"Pengajian? Kamu suruh aku datang ke pengajian? Haahahaha.."

"Heh.. Pak Tua! Aku tidak mau hadir di pengajian itu karena minggu depan , aku akan ada pesta rakyat besar-besaran. pagi siang acara ketoprak, malamnya dangdutan." Kata Wiryo spontan.

"Wiryo, kenapa harus bareng dengan acara pengajiannya? Lebih baik pestanya di ganti hari lain saja."

"Kok kamu jadi ngatur-ngatur saya! saya ini juraganmu!."

"Mulai sekarang aku berhenti !" sergah Pak Modin sambil membanting caping, Tiba-tiba dia melihat pupil mata vertikal dan lidah panjang yang sesekali menjulur keluar. Pak Modin tak gentar. Dia sudah mengira kalau ada iblis yang merasuki tubuh Wiryo. Mulut pria itu berkomat-kamit sembari memegang sabitnya dengan erat.

Sontak Pak Wiryo mundur beberapa langkah , lalu dia berteriak histeris, kesakitan.

"PANAS...PANAS! HENTIKAN !!"

"Aku tidak akan berhenti sampai kamu sadar atas dosa musyrik yang telah kamu lakukan. bertobatlah Wiryo sebelum ajal menjemputmu!" Pak Modin berjalan mendekat sembari mengulurkan tangannya yang terbuka. Sementara, Pak Wiryo melangkah mundur. Apa yang diucapkan Pak Modin seperti bara api yang membakar tubuhnya. Pak Wiryo tidak tahan lagi, dia pun beringsut ke arah desa, berpas-pasan dengan para buruh tani yang akan ke sawah.

"Bapak ibu, tolong saya, Pak Modin mau membacok saya! Dia menuduh saya melakukan pesugihan!" tutur Pak Wiryo sembari menatap mereka satu persatu. Asap tipis keluar dari tubuhnya, menyeruak ke kerumunan petani yang seolah terhipnotis dengan apa yang di katakan Wiryo.

"Anda keterlaluan sekali Pak Modin! Apa salah Pak Wiryo sampai bapak tega mau membacoknya!" teriak salah satu petani gusar.

"Kami tidak menyangka jika bapak berpikiran sempit dan termakan gossip yang belum jelas kebenarannya." Imbuh yang lain membela juragan mereka itu. sepintas Pak Wiryo menyunggingkan senyum miring.

"Bukannya mengayomi malah mau mencelakai warga!" teriak warga yang ada di barisan belakang.

Pak Modin tidak berkutik. Seumur-umur, Dia tidak pernah diperlakukan seperti ini oleh warganya. Ini pasti karena aura negatif dari Wiryo yang mampu membius warga dengan sekejap, batinnya. Pak Tua itu mengalah. Dia pun ngeloyor pergi ke desa, tak mengubris para petani yang terus menghujatnya.

"Terima Kasih Bapak-bapak, ibu-ibu. Saya tidak bisa membayangkan apa jadinya saya kalau tidak ada yang menolong. Sekali lagi terima kasih." Kata Pak Wiryo.

"Sama-sama Pak Wiryo, sudah kewajiban kita untuk menolong sesama. Lagian, kami tidak menyangka jika Pak Modin akan berbuat nekad seperti itu."

"Baik, karena semuanya sudah hadir disini, saya sekalian mau mengumumkan bahwa minggu depan akan ada pesta besar-besaran di rumah ini. jadi mohon kedatangannya , kalau perlu ajak tetangga, saudara jauh, atau siapapun untuk datang supaya acara ini lebih meriah ya."

Para petani sangat antusias dengan pesta yang akan diselenggarakan oleh Pak Wiryo, terlebih di acara penutup biasanya, "Akan ada hadiah-hadiah yang saya persiapkan untuk kalian yang mengikuti acara ini sampai selesai." Sambung Wiryo yang di sambut riuh suara para petani.