webnovel

Teman Sekamar

Oh, ternyata kesimpulanku dari vas bunga tadi salah. Semua teman sekamarku sudah datang. Aku segera menempelkan jari telunjukku pada layar pemindai, dan ting! Lampu bertuliskan namaku langsung menyala. Pintu kamar terbuka, menggeser ke samping. Aku segera mencium bau kamar yang khas, agak mirip aroma edelweiss. Kumasukkan koperku satu persatu, setelah itu pintu secara otomatis tertutup lagi dan tulisan 'terkunci' segera menyala di kenopnya. Oh, sungguh pengamanan ekstra, terkunci secara otomatis.

BUKK!!

Sebuah bantal putih mendarat mulus tepat di wajahku. Refleksku masih sempat membuatku menutup mata. Hantaman bantal itu begitu keras hingga membuatku agak terjengkang, mundur dua langkah ke belakang dan menabrak pintu kamar.

Aku mengaduh sambil memegangi wajah.

Seorang cewek yang sangat mungil dan berambut pirang sempurna menghampiriku. "Oh, astaga! Kau baik-baik saja?" Wajahnya terlihat sangat cemas. Matanya biru cerah, menatapku dengan pandangan prihatin.

"Yah," jawabku pendek sambil mengerjapkan mata. "Ada apa dengan bantal itu?"

Cewek itu ber-oh dengan nada tidak enak kemudian menoleh ke dalam kamar. "Martha! Hei, kau kemarilah! Lihat apa yang kau perbuat!" teriaknya dengan nada marah. Ia kembali menoleh padaku. "Maaf, Martha yang melemparnya padaku. Err, maksudku sebenarnya padaku, tapi meleset dan kau yang jadi sasaran barunya."

Seorang cewek berkulit coklat berjalan menghampiri kami. Tubuhnya sangat padat, seperti atlet. Besar, tapi tidak gendut. Sangat kontras dengan cewek yang satunya, yang kelihatannya bernama Dara—jika yang sedang menghampiriku ini dipanggil Martha.

"Apa? Dia tak terluka, bukan?" Martha bersungut-sungut pada Dara. Sebentar-sebentar ia mengalihkan mata untuk mengamati wajahku.

"Ya. Tapi apa itu sambutan yang baik bagi teman baru yang bahkan baru saja masuk ke kamar dan belum sempat mengucapkan sepatah kata pun?" Dara mengomel panjang seperti kereta api. "Sebaiknya kau minta maaf."

"Argh," Martha mengerang kesal. "Karena kau yang menyuruhku aku jadi enggan."

Dan kemudian mereka bertengkar lagi.

Aku memutar bola mata.

"Oke, oke. Sudahlah. Bukan waktunya bertengkar," aku memisahkan mereka berdua. "Setidaknya ada waktu buatku untuk berkenalan dengan kalian." Kuangkat kedua alisku.

"Ah, ya." Dara mengubah ekspresi wajahnya dengan cepat, dari marah menjadi ceria. "Dara Fiwtriny, kau bisa memanggilku Dara. Aku lebih suka kau memanggilku Dara agar lebih akrab." Ia tersenyum dan mata birunya berbinar-binar. "Aku dari Kanada."

"Ah, maple," aku refleks berkata. Dara mengangguk-angguk sambil tertawa, kemudian ia menyikut lengan dempal Martha. Martha segera menyingkirkan lengan kecil Dara dengan kesal.

"Martha Rasyid dari Dubai." Martha berbicara dengan bahasa Arab, dan seperti sebelumnya—otakku otomatis menerjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Dalam hati aku agak menyesal karena tadi lupa menanyakan soal itu pada Huddwake. "Kau pasti Serina Gray."

"Yah. Dari Inggris, tepatnya London," tambahku.

"Oh, apakah kau menonton parade royal wedding secara langsung?" Dara bertanya antusias. Ia membantu membawakan satu koperku.

"Yeah," jawabku pendek. "Aku selalu suka keramaian dimana orang-orang tidak mengenalku."

"Usaha menghibur diri yang ingin berbaur secara normal, huh?" Martha nimbrung sambil bersandar di sofa putih empuk dekat tempat kami berdiri.

Dara mendelik pada Martha.

Aku tertawa. "Kau tahu."

"Karena aku juga begitu." Martha tertawa kecil. "Oke, selamat datang. Ini ruang santai sekaligus ruang tamu kita."

"Dia suka sekali memandu," Dara berbisik padaku. Aku harus sedikit merendahkan kepala agar bisa sejajar dengan Dara. Ia lebih kecil dan kurus dariku. Aku hanya tersenyum sambil menatap Martha. Ia sudah bangkit dari sofa dan menuntun kami masuk, melihat apa yang ada di balik tirai manik-manik. Aku mengamati tirai manik yang sangat feminin itu dan segera menyukainya. Maniknya seperti permata, bening dan berkilauan berbentuk pola-pola salju yang dipadu dengan manik bulat kecil berwarna putih mutiara.

"Aku yang memasangnya," Dara berkata bangga. Ia menyadari aku mengamati tirai itu. "Aku sangat menyukai salju."

"Ini sangat cantik." Mataku masih menatap lekat tirai Dara. "Seperti butiran es."

"Tentu saja. Dara memang cewek es." Martha mengangkat bahu. Aku menelengkan kepala, tidak mengerti. "Hati-hati dia bisa membuatmu membeku, benar-benar menjadi es batu." Martha menggigil, bergaya seperti orang kedinginan.

Aku ber-wow pelan. "Sepertinya kita tidak perlu kulkas."

Dara tertawa kecil. "Tapi disediakan sebuah kulkas kecil di kamar kita, dekat televisi sana. Tadinya televisi berada di ruang santai depan, tapi Martha memindahkannya ke ruang tidur kita." Dara menunjuk ke arah tiga kasur single yang terlihat masih sangat empuk dan rapi. Spreinya berwarna merah muda lembut, dilapisi bed cover lengkap dengan bantal yang tampak sangat empuk. Di atas ranjang diletakkan sebuah rak tempel berwarna hitam mengilat. Di seberangnya terdapat LCD TV yang dimaksudkan oleh Dara, diletakkan di atas meja hitam berlaci kaca. Aku menganga.

Ini bahkan jauh lebih bagus daripada kamarku di rumah.

Ruang tidur berlantaikan parket kayu oak, dilapisi dengan karpet bulu yang sangat lembut berwarna putih gading. Aku dan Dara meletakkan koperku di depan kloset tempat penyimpanan baju dan kawan-kawan—yang menempel jadi satu dengan dinding. Pintu kloset berwarna hitam mengkilat sama seperti ranjang kami.

"Maaf, Serina. Karena kau datang paling akhir jadi sepertinya kau tidak dapat kesempatan untuk memilih ranjang dan lemari." Martha berkata dengan nada menyayangkan.

Aku mendapatkan ranjang tengah dan lemari yang tengah pula. Ranjang di sisi kiri dan kanan sudah ditandai pemiliknya masing-masing—satu dengan boneka dan satunya dengan kotak penyimpanan berwarna emas, entah apa isinya. Sementara pintu lemari sebelah kiri sudah diberi gantungan manik-manik dan bulu putih. Kupastikan sembilan puluh persen itu milik Dara, kelihatannya ia menyukai benda-benda berwarna putih dan bening. Dan gantungan kunci 'Visit Dubai' tergantung di lemari Martha.

"Untuk mencuci baju kita hanya perlu menggunakan jasa laundromat, sudah termasuk dalam biaya administrasi sekolah," Martha menjelaskan. "Kantung cucian ada di lemari kecil di depan kamar mandi."

"Kamar mandi ada di seberang ruang tidur," Dara menambahkan sedikit.

"Untuk menyimpan buku gunakan rak kecil di tiap sela tempat tidur kita. Buku pelajaran saja, oke? Karena kita hanya akan menggunakan tiga meja lipat kecil yang ada di dekat meja televisi itu untuk belajar. Atau kau bisa menggunakan ruang santai. Tapi ingat, rak buku di ruang santai hanya untuk buku-buku selain buku pelajaran. Majalah, komik, ensiklopedi boleh," Martha mengoceh secara detail.

"Dia memang suka mengatur." Dara menghela napas. "Orang koleris. Aku tadi sudah mati-matian mencegahnya menempelkan aturan-aturan di setiap benda yang ada di kamar ini. Sumpah, itu akan membuatku muak." Dara cemberut.

"Aku tidak menempelkan apa-apa pada akhirnya." Martha mengangkat bahu. "Aku sudah menahan diri."

"Paling tidak orang seperti Martha bisa menjaga kamar tetap rapi," aku menarik kesimpulan sekaligus menengahi Dara dan Martha yang sepertinya memiliki ketegangan tersendiri.

"Aku hanya suka mengatur, tidak suka membersihkannya dengan tenagaku sendiri," jawab Martha jujur.

"Padahal kekuatannya ada pada tenaganya yang luar biasa." Dara mendelik. "Kurasa bahkan ia bisa mengangkat truk kontainer bermuatan satu ton."

"Kau benar. Tapi sekali kukatakan aku tidak mau melakukannya, maka itu sudah menjadi statemen tetap," Martha tetap kokoh pada pendiriannya. "Tenanglah, aku tidak akan menghancurkan kamar ini. Hanya akan terlihat sedikit berantakan di areaku."

Dara menjejakkan kakinya di lantai karena kesal. Aku hanya tertawa.

"Baiklah, aku punya banyak pekerjaan," kataku sambil mulai membuka resleting koperku.

"Apa kau memerlukan bantuan?" Dara menawarkan. "Aku sedang luang."

"Terima kasih, Dara. Aku menikmati menata barang-barangku."

"Oh, baiklah."

"Oh, ya. Apa kau tahu dimana kita bisa mendapatkan bunga untuk mengisi vas di depan kamar?"

"Kita bisa membeli di toko bunga dekat taman kota. Tapi karena hari ini hari pertama kita di Roxalen, kita tidak bisa keluar untuk mempermudah proses pendataan."

"Kelihatannya sampai masa orientasi selesai kita belum diperbolehkan keluar kompleks sekolah," Martha berspekulasi.

"Sementara ini kita bisa minta tolong pada pembimbing kita," Dara memberikan solusi.

"Oh, aku tidak mau memints bantuan Huddwake." Aku memutar bola mata.

"Huddwake? Pembimbingmu?"

"Yah," jawabku pendek. "Dia sungguh berbahaya."

Dara membelalak. Aku ingin tertawa melihat reaksinya.

Tiba-tiba televisi di ruang tidur menyala. Muncul gambar logo Roxalen High dengan latar belakang musik yang tidak kukenal, tapi kedengarannya semacam lagu mars. Aku, Dara, dan Martha saling berpandangan.