webnovel

Ninda Akbar.

"Hei, Mas! Kenapa kamu melamun saja?" Ninda mengagetkan suaminya yang sedang dalam keadaan menyawang ke arah halaman depan di atas balkon kamarnya.

Sedangkan satu tangan Ninda menenteng segelas kopi panas yang sudah di pinta oleh Akbar sebelumnya.

"Eh, kamu ngagetin saja sayang?" Akbar memang sedikit terperanjat, namun ia tetap terlihat masih tenang karena ia sudah memperkirakan akan kedatangan sang istri.

"Mas sedang mikirin apa sih?" tanya Ninda saat keingintahuannya sudah melebihi besarnya bukit Semeru.

"Ck, aku pusing dengan Ridwan. Kadang, aku tuh suka kasihan lihat dia." Wajah Ridwan meremang bingung dengan tangan mengelus kasar keningnya sendiri.

Kopi panas yang di bawakan oleh Ninda hanya di simpan olehnya di atas meja bulat yang bertengger di samping kursi rayon yang ia duduki.

"Emangnya pusing kenapa, mas? Sepertinya serius sekali?"

"Itu lo' sayang, soal Tiara dan Ridwan. Padahal, sudah jelas sekali kalau Ridwan masih menyukai Tiara, tapi Tiara terlihat tidak mau kembali padanya. Lagi pula aku melihat mereka sangat cocok kalau sampai berhasil berjodoh," urai Ridwan dengan satu telunjuk yang mengelus-elus ujung pipinya dengan raut yang nampak semakin serius berpikir.

"Owh soal itu, sepertinya Tiara memang benar-benar kecewa. Kalau aku jadi dia, mungkin aku akan melakukan hal yang sama dengan apa yang di lakukan oleh Tiara yaitu menghilang dan mendinginkan pikiran."

"Jadi kamu tahu Tiara dimana?" Akbar terperanjat saat mendengar persepsi yang di urai oleh sang istri.

Akbar yang tadi hanya duduk dengan kedua kaki menggantung, kini dia mengangkat kakinya menyilang di atas kursi lalu mengiblatkan pandangannya pada sang istri. Di tatapnya tegas wajah Ninda sambil menunggu kepastian akan jawaban dari Ninda tersebut.

"Enggak sih. Aku nggak tahu pasti Tiara dimana. Tapi, Tiara pernah bilang kalau dia benar-benar ingin pergi jauh dari lingkungannya sekarang. Tiara juga bilang, kalau dia ingin menyendiri beberapa waktu ini."

Mendengar penjelasan dari Ninda, Akbar menghela nafas panjang, seolah-olah masalah temannya sudah menjadi masalahnya sendiri.

Ninda tak tega melihat suaminya sendiri ikut pusing dengan masalah kawannya yang sudah ia anggap sebagai keluarganya itu.

Untuk menenangkan situasi, Ninda berusaha mengangkat tubuhnya sendiri dan bergulir untuk jalan ke arah punggung Akbar.

"Mending Mas minum dulu kopinya. Nanti aku bakalan bujuk Tiara lagi untuk pulang. Lagian, aku juga belum tahu dimana Tiara saat ini, makanya pas Ridwan datang ke rumah aku bilang saja aku nggak tahu apa-apa." Ninda nampak belum bisa mengambil sikap setelah melihat posisi Tiara sekarang benar-benar sangat terpuruk.

"Kasihan juga Ridwan ya?" Ucap Akbar sambil mencerna semua ucapan dari Ninda. Setelah di rasa semua ucapan itu benar, Akbar mengibas pandangannya membuang jauh pikiran negatif yang berguyun di dalam pikirannya.

Lalu mengambil secangkir kopi panas persembahan dari sang istri dengan punggung merasakan pijitan kecil dari Ninda yang cukup membuat dirinya rileks kembali.

"Anak kita mana?" tanya Akbar menghentikan pijatan dari tangan lembut Ninda.

"Dia masih tidur Mas."

"Tapi, dia sudah sehatan 'kan?"

"Sudah Mas, tenang saja kan putri kita kuatnya kaya Papanya," goda Ninda sambil mencubit puncak hidung Akbar dan menampakan kemesraan dari satu sama lainnya.

Lain dengan Ridwan yang hanya bisa termangu diam di bagian titian tangga EH Hospital.

Tangan Ridwan mencengkram kasar rambut pendeknya yang terasa sangat berat. Beberapa tempat tengah ia singgahi hanya untuk mencari Tiara, namun sama sekali tidak membuahkan hasil apapun.

Sekilas Ridwan melirik pintu kamar rawat Julia, ia merasa gagal menjadi ayah saat dirinya tahu kalau sekarang Julia sakit parah. Wanita kecil berambut panjang itu terlihat lemah tak berdaya. Wajahnya pucat dan membuat hati Ridwan selalu ketar-ketir saat melihatnya.

"Ridwan gimana, sudah bertemu dengan Tiara?" tanya Bunda Delima yang sudah datang di pagi sekali.

"Bunda? Sejak kapan Bunda di sini?" Tanya Ridwan membelokkan pertanyaan sang Bunda yang sulit untuk ia jawab.

"Bunda di sini sejak tadi pagi. Angela bilang kamu sedang mencari Tiara? Terus apa kamu menemukannya?" tanya Bunda Delima yang sudah menunggu kepastiannya sejak beberapa jam yang lalu.

Ridwan berjalan menghampiri sang bunda dengan kaki lemas tak berdaya. Rasanya ia tak punya kekuatan untuk berdiri tegak lagi, lalu ia menyibak lembut puncak kening Julia sambil meneteskan air matanya.

Di tetesan air mata itulah, Ridwan merasa dirinya tengah hancur dan tak bisa memenuhi keinginan putri tercintanya.

"Maaf Bunda, aku tidak bisa menemukan Tiara. Aku gagal membawa Tiara ke depan Julia, aku memang tolol karena tidak bisa mengabulkan keinginan anakku sendiri Bunda," ungkap Ridwan dengan wajah yang sangat muram.

Bunda Delima yang sudah berharap banyak dari pagi pun ikut menyesali hasil Ridwan yang nihil. Tapi bijaknya Bunda Delima tak sampai menyurutkan semangat Ridwan untuk tetap mencari.

"Kamu jangan menyerah. Kamu pasti akan menemukan Tiara, mungkin kamu harus mencari Tiara ke rumah orang tuanya?" Bunda Delima mengulas lembut tetesan air mata yang bergenang di dasar pipi Ridwan.

"Sudah Bunda, Ridwan sudah mencari Tiara ke rumah Tante Diana, namun dia malah ikut marah besar pada Ridwan, Bunda."

"Sabar ya Nak." Tubuh tinggi besar itu tetap di gapai oleh Bunda Delima dan di Elis lembut oleh Bunda Delima yang terus berusaha menegarkan hati sang Putra agar tetap tidak rapuh.

Detik kemudian ketika Ridwan dan Bunda Delima benar-benar sedang merenung bersama, tiba-tiba satu jari Julia bergoyang memperlihatkan tanda-tanda kehidupan.

Julia yang tak sadarkan diri beberapa hari karena demamnya yang tinggi dan penyakitnya yang semakin meradang, membuat dirinya lemah untuk mengendalikan seluruh organnya sendiri.

Melihat jeri lentik kecil itu bergerak, Ridwan dan Bunda Delima sontak terperanjat bangkit dengan sangat kompak.

"Ridwan lihatlah! Jari Julia bergerak." Bunda Delima sungguh tercengang takjub melihatnya.

"Iya Bunda aku melihatnya," balas Ridwan yang mulai perlahan mengangkat jari mungil itu.

Dingin seperti membeku, jari kecil itu lalu segera dihangatkan oleh Ridwan dengan menyimpannya di Pipi besarnya, lalu di usap dengan gerakan cepat agar anaknya merasakan kehangatan yang ia transfer dari tubuhnya.

"Sayang, ini Papa nak. Bangunlah!"

Terlihat tenggorokan Julia menelan salivanya kecil sekali. Lalu air mata mulai keluar sekecil tetesan embun.

"Bukalah matamu sayang! Papa dan nenek ada di samping kamu." Ridwan tetap berusaha berkomunikasi dengan Julia meski dia tidak melihat perkembangan lain setelah itu.

Ridwan tetap yakin kalau Julia akan tetap mendengar suaranya meski dia tak bisa melihat kelopak mata kecil itu terbuka.

"Bunda, tolong panggilkan Dokternya Bunda!" Ridwan berinisiatif cepat untuk memeriksakan keadaan Julia untuk secepat mungkin.

"Baiklah, tunggu di sini. Bunda panggilkan dokter dulu ya!"

Bunda Delima pun berjalan gesit dengan mengedar pandangan waswas membawa misi untuk mencari dokter di ruangannya.