webnovel

Revenge Mr.A

Apakah ada yang lebih menarik dari sebuah pembalasan dendam? Tidak ada. Semua kosong. Dendam, ambisi, obsesi semua hanyalah nafsu yang bisa membuat manusia terjerumus. Steve terjebak dendam masa lalu ayahnya, mati terbunuh dan menjadikan dendam itu sebagai alasannya menjadi seorang detektif demi pelampiasannya. Sanggupkah Steve mencari pembunuhnya? Atau ia hanya terjebak dalam dendam yang ia buat sendiri?

Uwie_bee · Terror
Classificações insuficientes
18 Chs

Miss her

Ada saatnya seseorang harus berpisah dengan orang yang ia cintai, ralat ia sayangi. Tak peduli seberapa dekat atau seberapa sering orang itu membuatmu terluka, pasti seseorang tidak rela.

Tiga tahun pasca sang Ayah meninggal, Steve pun harus rela kehilangan sahabat sekaligus kekasihnya. Siapa lagi kalau bukan, Jane.

Ibunya tercinta memilih menjual rumah keluarga Richardson dengan alasan tak ingin terjebak dengan kenangan menyakitkan. Cukup tiga tahun dan mereka akan memulai hidup yang baru. Steve harus sembuh. Ibunya tak ingin melihat Steve terus berduka karena mengingat semuanya.

"Ibu, kita akan pindah kemana? Kuliahku bagaimana?" tanya Steve. Ia melihat banyak kardus tertata rapi berjajar di depan rumah. Ibu menunggu truk pengangkut yang membawa mereka pergi.

"Kita pindah ke Pine Woods. Disana ada beberapa rumah hunian yang cukup bagus. Pemandangannya bagus. Kau akan suka. Dan untuk kuliahmu, tenang saja kau akan kuliah di tempat yang sama dengan Chloe," jawab Ibu. Tak lupa satu usakan kecil di kepala Steve.

"Aku ingin ambil jurusan hukum. Aku ingin mendalami kriminologi. Aku akan meneruskan cita-cita Ayah," ujar Steve. Ibu menoleh. Ia tersenyum manis dan mengangguk setelahnya.

"Ibu tak akan melarang nak. Ibu bangga padamu."

Jane yang baru saja datang, bingung saat ia melihat banyak sekali kardus di depan rumah steve. Ia pun menanyai Ibu dan dalam pikirannya berharap bahwa mereka tidak benar-benar pindah.

"Steve, kau pindah? Lalu...."

Steve melirik Ibunya, matanya seperti memohon supaya diizinkan berbicara dengan Jane. Ibu mengangguk dan menyuruh mereka berbicara perihal kepindahan ini.

"Maaf, Jane. Ibuku ternyata sudah menjual rumah ini. Kakak dan adikku sudah pindah lebih dulu. Jane, kuharap kau bisa terus menghubungiku saat kita berpisah. Jangan menangis, semoga kau bisa mewujudkan mimpimu." Steve menunduk. Ia maju satu langkah ke hadapan Jane dan menurunkan sedikit tubuhnya lalu mengecup dahi Jane.

"Steve....."

"Kita akan bertemu lagi. Sampai jumpa.." Steve tersenyum, itu senyum terakhir yang Jane lihat sebelum kekasihnya pergi. Lambaian tangan Jane yang terlihat dari jauh membuat luka di hati Steve kembali terbuka. Ia kembali kehilangan seseorang yang ia sayangi.

"Steve, Ibu yakin kau akan bertemu dengannya lagi." Ibu memeluk Steve dan menenangkan putranya agar tidak bersedih lagi.

"Iya, Bu."

****

"Apa kau punya musuh di luar sana Steve?" tanya Bee. Laki-laki berperawakan kecil namun punya kekuatan besar. Ia seorang pemilik sabuk hitam karate. Nyalinya besar, itulah mengapa Steve ingin dia masuk ke dalam timnya.

"Tidak. Kurasa tidak. Kenapa kau berpikiran seperti itu?"

"Aku hanya menerka saja. Hei, jangan cemberut. Kita sedang bersenang-senang malam ini. Kau perlu alkohol tidak, nanti aku pesankan." Bee menawari Steve minum. Ya, saat ini memang mereka sedang melepas lelah di jumat malam.

Steve menolak minuman, dia menyetir. Lebih baik ia minum mocktail atau segelas lemonade untuk pelepas dahaga. Steve melirik arlojinya, sudah pukul dua belas malam. Mungkin satu jam lagi ia akan hengkang dari diskotik ini.

"Siapa yang jadi strip dancer malam ini?" Steve menunjuk tiang yang berada di tengah diskotik. Bee melirik lalu terkekeh.

"Bukankah itu Luna? Yang waktu itu..."

"Sudah, tak usah dijelaskan. Aku pulang." Steve meletakkan dua lembar uang 50 dollar pada bagian bawah gelas. Ia pun berdiri dari kursi tingginya. Saat akan berjalan keluar, seseorang menariknya. Steve menoleh. Lalu...

Chupp...

Orang itu mengecup dan melumat bibirnya sesaat. Steve menolaknya. Ia menghempas tangan orang itu dan kembali berjalan tak menghiraukan seseorang tadi, seoran wanita yang mungkin Steve kenal.

"Steve.....steve..." wanita itu mengejar Steve yang sudah sampai di pintu keluar dan sedang menunggu valet parkingnya.

"Kau mau apa? Jangan membuntutiku." Steve melepas kembali tangan wanita itu.

"Steve...aku mau bicara. Ini tentang kita malam itu, dua tahun lalu." Steve menoleh. Ia memperhatikan dandanan wanita itu dari atas sampai bawah. Lalu mendecih tak suka.

"Apa yang mau kau sampaikan?" Steve melirik arlojinya kembali. Wanita itu berjalan dan berdiri di hadapan Steve.

"Aku mau kau bertanggung jawab."

Steve mengernyitkan dahinya. Apa? Tanggung jawab katanya? Steve tak menggubris. Ia berjalan menuruni tangga dan diikuti oleh wanita itu.

"Tanggung jawab apa?"

"Aku...aku hamil anakmu. Malam itu, kita melakukannya Steve. Kau ingat kan? Sebelum Jane datang dan kau meninggalkanku. Steve, aku ingin kau menemui anakmu. Dia mencarimu." wanita itu menggoyang-goyangkan lengan Steve. Ia ingin Steve bertanggung jawab atas anaknya.

"Oh, ya? Aku rasa aku mengenakan pengaman saat itu. Aku tidak bodoh, asal kau tahu. Aku bisa membongkar kebusukanmu dari awal kita bertemu. Jangan sekali-kali membuatku marah...." Steve menghempas tangan itu. Lalu berjalan lagi menuruni tangga dan masuk ke dalam mobilnya yang sudah terparkir di bawah. Ia pergi tanpa mengucapkan kata-kata lagi. Si wanita hanya bisa menggeram kesal. Niatnya yang ingin menjebak, malah membuatnya terjebak.

Mengenai wanita itu, sebenarnya dia adalah penghancur hubungan Steve dan Jane. Bahkan berulang kali. Steve pernah dekat dengannya sebelum bersama Jane. Tak heran, ia merasa paling mengenal Steve.

Ini persis tujuh belas tahun yang lalu, terjadi saat Steve masih remaja.

Lorong sekolah di saat petang, suasananya sedikit menyeramkan. Sepi, sunyi. Bahkan suara dentingan jam dari dalam kelas terdengar hingga lorong.

Steve yang kebetulan baru saja menyelesaikan tugasnya di perpustakaan, memilih memasang earphone dan menyetel musik di telinganya di bandingkan harus mendengarkan denting jam tersebut.

Langkahnya diikuti, Steve tak tahu. Ia hanya fokus pada musik dan buku yang ia baca.

Bugh..

Seseorang menepuk bahunya dari belakang. Steve menoleh. Ia mendapati seseorang tersenyum padanya. Luna. Gadis yang beberapa minggu lalu juga menyatakan suka padanya. Steve tak menggubris, ia terus berjalan.

Luna mengikuti dan menarik lengan Steve lalu mencoba memeluknya. Steve mendorongnya, ia melepaskan diri dari pelukan gadis itu.

"Apa-apaan kau ini? Kau seperti wanita murahan." Steve mencibirnya. Luna tak pantang menyerah. Ia tetap mengikutinya. Mengikuti Steve hingga ke arah parkiran.

"Steve...."

"Kenapa kau mengikutiku?"

"Jadilah kekasihku. Aku yang menyukaimu sejak awal, bukan Jane. Lagipula, Jane hanya gadis kikuk yang terkadang bodoh dan tak tahu apa yang ia kerjakan. Jadi....."

"Aku suka gadis yang kikuk dan sedikit bodoh." Steve naik ke atas sepedanya dan mengayuhnya meninggalkan Luna yang masih berdiri di sana.

"Awas saja kau, Steve."

****

Steve memasuki wilayah apartemennya sekitar pukul satu dini hari. Memarkirkan mobilnya dan naik ke lantai sepuluh, tempat kamar apartemennya. Steve melihat seseorang berdiri di depan kamarnya dengan membawa sebotol anggur. Bermantel tebal dengan tangan yang sesekali ia tiup karena kedinginan.

"Siapa kau?" orang itu pun menoleh dengan wajah yang sembab. Steve terkejut." Kau...."

Ia menghambur ke pelukan Steve dan mengeratkannya. Ia tahu, ini seperti di dalam drama picisan. Tapi ia menyukainya. Ia menangis di pelukan Steve. Meluapkan rasa sesaknya di dada dan membiarkannya hilang bersama kehadiran Steve.

Ia mengusak wajahnya dengan tangan lalu tersenyum setelahnya." Hai, Steve. Maaf menganggu tengah malam. Aku kesini karena butuh seorang pendengar yang mau mendengar ceritaku. Sepertinya kau baru saja pulang. Maaf."

"Kau bodoh. Sudah berapa lama kau berada di luar? Bukankah kau sudah tahu password apartemenku?" tanya Steve.

"Kita tidak seperti dulu lagi, Steve." Jane menyerah, ia sudah membiasakan diri melupakan Steve namun tak bisa.

Steve membuka password apartemennya dan mempersilakan Jane masuk. Ia menutupnya dengan pelan dan menaruh botol minuman di meja makan. Jane masih berdiri di sana, Steve pun sama.

"Jane...." Jane menengadah. Ia menatap mata sayu Steve. Ia juga melihat sebuah luka disana. Ia melihatnya.

Steve memojokkan tubuh Jane ke dinding, Jane hanya diam tak melawan. Detik selanjutnya, Steve menurunkan wajahnya dan meraup bibir sexy milik Jane. Ia melumat dan menggigitnya perlahan. Jane membalasnya.

Tangan Steve menelusup perlahan ke dalam pakaian tebal yang dipakai oleh Jane. Ia membuka beberapa kancing kemejanya dan membuka mantel tebal itu. Napas Jane terdengar semakin terengah-engah. Astaga, dia terpancing oleh perlakuan Steve. Ia merindukan sentuhannya.

"Aku merindukanmu, semua yang ada pada dirimu Jane. Aku bahkan merindukan tubuhmu yang hampir setiap malam menemaniku."

"Me too..."

Steve mengendong Jane dengan posisi koala. Ia mengangkatnya seolah tanpa beban. Ia menarik handle kamarnya dan merebahkan tubuh Jane di atas ranjang kesayangan mereka.

"May i?"

Jane mengangguk. Jantungnya berdebar kencang. Ini bukan pertama kalinya, tapi ia merasa seperti pertama kali bersentuhan dengan Steve.

"Do it now."

Steve membuka kancing kemejanya, menyisakan tubuh polosnya yang masih mengagumkan di mata Jane. Steve mulai meraup kembali bibir Jane dan mengulumnya. Mereka saling berpagut tak memperdulikan hawa panas yang tiba-tiba menyengat.

Steve membuka satu persatu kancing kemeja Jane dan membuka penutup di dalamnya. Ia terpana sejenak. Ini masih sama seperti yang dulu.

Kuluman Steve merambat ke area sensitif Jane. Suara Jane tampak merdu saat Steve berhasil menggodanya.

"Shout it!"

"Aarrgghhh...."

"Tubuhmu masih tetap indah Jane. Apa pria itu menyentuhmu juga?" Steve menatap Jane. Tatapan elang itu menuntut sesuatu yang membuat Jane takut dan pasrah.

"Hanya kau, Steve. Hanya kau yang menyentuhku."

Steve tersenyum. Ia berdiri dan membuka sisa pakaian yang melekat di tubuhnya. Ia mengambil foil yang ada di dalam lacinya.

"Steve, kau selalu menyediakan itu?" tanya Jane. Steve mengangguk.

"Aku siapkan jika sewaktu-waktu kau datang."

Jane menatap Steve saat pria itu memakai si pengaman. Steve menoleh dan tersenyum, lalu naik kembali ke atas ranjang dan mengukung tubuh Jane.

"Kau tak berbohong?"

"Aku tak pernah berbohong. Sampai ada satu gadis yang membuatku berpaling darimu, aku tak akan pernah membuang cincin ini." Steve menunjukkan kalung berbandul cincin pertunangan mereka dulu.

Di menit selanjutnya, Steve kembali melanjutkan permainannya. Ia kembali memanaskan ranjangnya dengan geraman halus dari bibir Jane. Steve menyukainya.

"Maafkan aku, Steve."

"Aku sudah memaafkanmu. Kau wanitaku yang paling berharga, Jane."

Steve terus melancarkan aksinya. Pergumulan panas hingga entah ke berapa kalinya Steve berhasil membuat Jane melayang. Tubuh mereka berdua lelah. Steve ambruk di atas tubuh Jane. Ia mengecup pelan bibir Jane dan berpindah tidur di sampingnya.

Jane berbalik, ia kini berhadapan dengan dada Steve yang tampak berkilat karena keringat. Jane menyukainya.

"Tidurlah, Jane. Kau pasti mengantuk."

"Ini sudah pagi, Steve."

"Baiklah, satu jam lagi kita sarapan. Sekarang tidurlah."

***