webnovel

Revenge Mr.A

Apakah ada yang lebih menarik dari sebuah pembalasan dendam? Tidak ada. Semua kosong. Dendam, ambisi, obsesi semua hanyalah nafsu yang bisa membuat manusia terjerumus. Steve terjebak dendam masa lalu ayahnya, mati terbunuh dan menjadikan dendam itu sebagai alasannya menjadi seorang detektif demi pelampiasannya. Sanggupkah Steve mencari pembunuhnya? Atau ia hanya terjebak dalam dendam yang ia buat sendiri?

Uwie_bee · Terror
Classificações insuficientes
18 Chs

Memoryze

Jane berjalan sedikit tergesa melangkah masuk kedalam ruangan lantai lima milik Steve. Ia harus melaporkan sesuatu sekarang. Dua kantung kecil barang bukti berhasil ia ambil dari kepala bidang forensik. Sedikit jijik, tapi ini harus ia bawa.

Krekk..

Jane masuk tanpa memberi salam ataupun ketukan. Steve menoleh, menatap Jane dengan pandangan malas. Ia baru saja akan pulang, kalau bukan karena Jane memintanya untuk tetap di kantor.

"Kau tak bisa mengetuk pintu ruanganku? Atau kau sedang tak bisa berbicara?" Steve membentak Jane. Ia sedikit jengah dengan sikap Jane yang dingin dan seolah tak peduli padanya.

"Aku tak perlu itu. Aku membawakan barang bukti untuk penyelidikan." Jane melempar dua bungkus kecil plastik. Steve menatapnya. Ia yang saat ini berdiri, kembali duduk karena benda itu.

"Apa ini?"

"Itu potongan kuku dan rambut milik korban. Sekarang jenazahnya sedang di otopsi. Menyedihkan." Jane mengalihkan pandangannya pada langit-langit ruangan Steve. Ia menunduk lalu menatap sekilas Steve yang masih berpikir tentang motif pembunuhannya.

"Siapa namanya? Apa hubungannya dengan saluran radio yang diretas kemarin?" Steve bertanya lagi. Jane mengumpulkan kata-kata di dalam kepalanya.

"Aku belum tahu motifnya. Wanita ini bernama Emma Clover, ia bukan penyiar radio. Ia seorang apoteker. Kawannya melaporkannya ke kepolisian sejak satu hari yang lalu. Saat ia pulang kerja, kawannya tak menemukannya di apartemen miliknya. Kau tahu, cctv sekitar apartemen hancur. Dan hanya ada bukti rekaman dua menit sebelum kejadian penghancuran." Jane menghapal semua yang ia lihat dan ia dengar tadi. Steve berusaha mencernanya lagi.

Steve menggigit bibirnya. Ia mendecak dan memejamkan matanya. Selanjutnya, ia hanya mencoret-coret kertas kosong di depannya.

'Nama korban, Susan dan Emma. Profesi, penyiar radio dan apoteker. Apakah mereka terkait dengan satu orang yang sama?'

"Ada berapa stasiun radio di New York? Ada kemungkinan dia mengacak korban selanjutnya. Mmm...kumpulkan sampel yang lain juga. Seperti alamat dan ciri-ciri stasiun radio tersebut," perintah Steve. Jane mengerutkan keningnya. Apa-apaan ini? Pekerjaannya menumpuk dan sebentar lagi natal.

"Semua?"

Steve mengangguk. Ia berdiri memakai jaket berbulu tebalnya dan menyelipkan satu lembar wrigleys diantara lidahnya. Lalu ia mengunyah dan berdiri dengan satu kaki di tinggikan ke arah Jane.

"Aku tahu yang kau pikirkan. Malam natal? Kita adalah polisi, tugas kita adalah mengusut tuntas segala kasus. Kau akan pergi di malam natal? Dengan kekasihmu?" pertanyaan Steve membuat Jane geram. Dengan santainya pria berumur tiga puluhan itu berkata seenaknya. Ia meremehkan Jane.

"Apa kau tak ingin melewatkan malam natal yang hangat dengan keluargamu? Sungguh menyedihkan, pria kesepian seperti dirimu." Jane menjawab dengan ketus. Steve serasa dicubit dengan perkataan Jane. Tak apa, ini sudah biasa baginya.

"Tentu saja. Aku bahkan sudah memesan tiket ke Minnesota pada malam natal. Aku rindu ibuku." Steve melangkah keluar ruangan dengan gaya menyebalkan. Sambil memainkan kunci mobil, ia berbalik menoleh ke arah Jane yang masih diam didalam ruangan." Pulanglah, minum susu hangat. Roland pasti menunggumu."

'Pria menyebalkan.'

***

Besok adalah malam natal, malam yang membuat Steve harus kehilangan seseorang yang ia sayangi. Seseorang yang bisa membuat ia bersemangat setiap harinya. Steve tak membenci malam natal. Ia hanya menghindari berkumpul bersama anggota keluarganya. Ia tak mau ada suasana hangat atau apapun itu. Steve tak menyukainya.

Bertahun-tahun sejak tahun pertama Steve kehilangan Ayahnya, ia tak pernah berkumpul lagi dengan keluarganya. Ia memilih pergi kemanapun ia melangkah. Terkadang bersama Jane ataupun sendiri.

Steve menyukai danau. Ia selalu pergi ke tepi danau lalu duduk berjam-jam memandangi hamparan rumput atau salju di sana. Menyenangkan.

"Kau tak berkumpul dengan ibumu?" Jane mengikutinya. Ia duduk di samping Steve, membawa satu bungkus roti dan satu termos coklat hangat untuknya.

"Tidak. Aku tak suka."

"Mengapa?"

"Kau tak perlu menanyakan itu, Jane?" nada bicara Steve meninggi. Jane akhirnya diam. Ia ikut memandangi danau yang hanya berupa kepingan air yang membeku.

"Pulanglah, Steve. Nyonya Richardson mencarimu." Steve berdiri, Jane mengikutinya.

"Kau, jangan campuri urusanku Nona Sarah Jane yang terhormat!! Aku tak butuh nasehatmu." Steve membentak Jane. Wajahnya merah. Ia menatap Jane dengan pandangan yang sulit diartikan. Pandangan yang bisa diartikan marah, benci, dendam. Jane dengan berani menantangnya.

"A-aku. Aku menyukaimu Steve. Maafkan aku karena mencampuri urusan hidupmu. Ini, ada kado untukmu. Selamat natal." Jane menyatakan perasaannya. Steve mematung. Satu kotak bersampul warna biru diserahkan oleh Jane. Steve menerimanya. Selanjutnya, Jane pergi meninggalkan Steve dengan sejuta tanya.

'Dia menyukaiku?'

Kenangan itulah yang masih melekat di kepala Steve. Kenangan di danau bersama Jane, hadiah natal dan pernyataan suka dari Jane untuknya. Steve tersenyum konyol saat mengingat itu semua. Bahkan, ia masih menyimpan hadiah natal Jane sampai sekarang. Benda yang saat ini ia bawa. Sebuah gantungan kunci berukuran sedang berbentuk hati yang ia pakai untuk menggantung apapun. Steve menyukainya.

"Ini begitu indah, begitupun dirimu." Steve mengusap frame foto di kamarnya. Kamar dengan sejuta kenangan tentang Jane. Hiasan dinding, pakaian dan peralatan make-upnya masih berjajar rapi di sana.

Steve berhalusinasi ke masa dua tahun yang lalu sebelum kejadian itu. Ia sering menghabiskan malam natal bersama dengan Jane. Duduk berdua menonton drama picisan atau memasak makanan yang mereka suka. Sungguh menyenangkan.

Kalimat yang ia suka dari Jane saat itu adalah," Steve kau adalah obatku dan aku adalah obatmu. Kita berdua saling membutuhkan. Kau harus ingat itu."

"Dan kini, aku kehilangan obatku yang berharga," gumam Steve. Ia menaikkan selimut dan tertidur setelahnya.

****

"Oh, ayolah Steve. Kau akan membunuhku dengan tumpukan file. Malam ini aku ada janji makan malam dengan Roland. Aku juga akan....."

Kalimat-kalimat yang diucapkan Jane terhenti. Steve menempelkan jari telunjuknya ke bibir sexy Jane.

"Aku tak pernah menyuruhmu mengerjakan itu di malam natal. Kau boleh pergi dengan siapapun itu. Aku tak peduli," ujar Steve. Ia duduk di atas kursi kebanggaannya dan mulai membuka komputernya. Lalu ia menoleh lagi ke arah Jane yang masih diam di tempat." Tunggu apalagi? Cepat kerjakan!! Aku akan pulang lebih awal hari ini. Kau juga."

Jane menghentakkan kakinya. Ia mencibir Steve dari balik punggungnya yang sudah melangkah keluar ruangan itu.

Satu desahan keluar dari bibir Steve. Ia mengacak rambutnya. Sedetik kemudian, ponsel pintarnya bergetar. Steve menjawabnya sambil berjalan ke arah jendela, ia berdiri di sana.

"Halo, pagi Bu. Apa kabar?" Steve menyapa si penelpon lebih dulu. Ternyata, Ibunya tercinta.

"Halo, sayang. Kau pulang kan, malam ini? Ibu sudah siapkan makanan lezat untukmu. Ada Chloe dan Kiehl juga. Jam berapa penerbanganmu?" Steve memeriksa arlojinya. Ia mengingat kalau ia kemarin membeli tiket dengan keberangkatan pukul enam petang.

"Delapan jam lagi aku berangkat. Ibu tunggu saja di rumah. Berikan aku alamatnya. Astaga, aku lupa membeli kado untuk keponakanku. Bisa Ibu belikan, nanti aku gantikan uangnya," ujar Steve. Ia menepuk kepalanya. Merutuki sifat pelupanya.

"Ibu sudah belikan, nak. Setiap tahun pasti ibu belikan. Pulanglah segera, Ibu merindukanmu."

Steve terdiam. Kata-kata Ibunya yang terakhir sungguh membuatnya sedih. Ini pertama kalinya Steve merasa menjadi anak yang kurang mengerti tentang perasaan Ibunya.

Steve mengusak wajahnya. Airmatanya tergenang, membasahi pipi. Matanya merah.

"Aku pasti pulang, Ibu."

***

Pukul tiga siang, Steve sudah bersiap-siap akan pulang lebih awal. Officer mengusirnya. Pasalnya, sudah hampir bertahun-tahun lamanya Steve tidak mengunjungi Ibunya pada malam natal. Tidakkah anak itu merindukan Ibunya?.

"Hei, Steve sudah akan pulang?" Lucas berteriak dari balik kubiklenya. Steve tersenyum dan melambai padanya.

"Kau tidak pulang?" tanya Steve. Ia berhenti sejenak di kubikle pria dengan perawakan tinggi, berkulit coklat itu.

"Erica membatalkan janjinya. Sepertinya ia pergi dengan pria lain." Lucas menurunkan wajahnya. Steve menepuk bahu dan membisikkan sesuatu ke telinganya.

"Dunia tak berputar pada satu gadis saja. Carilah yang lain. Kau mengerti maksudku kan?" Steve mengedipkan mata pada Lucas.

"Bagaimana dengan kau?"

"Aku? Aku akan bertemu wanitaku di Minnesota. Kau akan kukenalkan dengannya nanti," ujar Steve sambil melirik pada Jane yang duduk tak jauh dari tempat Lucas.

"Wah, ternyata kau...."

"Lucas, kerjakan tugasmu. Kau tak ingin melewatkan makan malammu yang berharga bukan?" tegur Jane. Ia menatap sadis pada Steve yang tersenyum menampilkan wajah konyolnya.

"Ok, Mam."

"Aku pergi."

Parfum Steve menguar di udara, walau sosoknya sudah keluar dari ruangan itu sejak bermenit yang lalu. Bibi Claire mendatangi Jane di meja kerjanya dan duduk di hadapannya.

"Steve pria yang baik. Ia hanya satu kali terperosok pada kesalahan fatal. Tak bisakah kau membuka hatimu lagi padanya?" tanya Bibi Claire. Pandangan mata Jane memburam. Ia menarik napas panjang dan menghempaskannya perlahan.

"Maaf, Bi. Rasa sakit hati itu tak akan hilang selamanya. Aku bisa memaafkan tapi tak bisa mengulanginya."

"Aku mengerti."

***