Restraining Heart
.
"Mata dengan Iris berwarna hijau itu langka"
.
"~… hari ini cukup dulu ya, besok kita lanjutkan lagi pemakaian 5W+1H sekalian Kak Ina mau ngadain kuis." Ucap seorang perempuan berjilbab krim instan di depan layar laptopnya. Dalam aplikasi Daggle meet itu nampak tiga gadis belia tengah mendengarkan baik-baik ucapannya.
"baik kak Ina, materi kuis nya apa ya kak?"
"tempo hari ga sempet kuis ya karena mendadak jadwal ujiannya dimajukan lusa, jadi materi kuis mulai hari selasa kemarin sampai hari ini ya."
Terdengar keluh dari ketiga gadis belia di layar tersebut, Ina tersenyum garing dan menganggap itu hal yang wajar, ketiga gadis beliau itu masih duduk di kelas empat sekolah dasar dan dipercayakan orang tuanya untuk ikut kursus bahasa Inggris yang dibuka Ina. Lusa nanti ujian bahasa Inggris akan dilakukan dan membuat persiapan belajar semakin intensif, Ina memberikan kuis dengan harapan untuk mengetahui kemampuan murid kursusnya.
"nanti kuisnya ada 25 pilihan ganda sama 5 pertanyaan melengkapi esai kok. Kak Ina yakin semua bisa," tambah Ina. Setelah itu kursus secara daring itu ditutup dengan doa dan salam.
"Wassalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh semua, sampai jumpa besok yaa~"
Serentak ketiga muridnya membalas salam Ina, "Wa'alaikumussalam warrahmatullahi wabarakatuh Kak Ina, terimakasihh kak~"
Ina menutup aplikasi Daggle meet dan segera mematikan laptopnya. Ia memeriksa paket internet di handphonenya, ia mendapati paket internetnya tersisa 156 MB serta waktu menunjukan pukul sembilan malam. Ina menghela napas karena akhirnya bisa istirahat.
Ina atau nama lengkapnya Ina Riana usia 21 tahun, seorang mahasiswi semester akhir. Ia belum bisa kembali ke kampung halamannya disebabkan oleh kota tempat ia belajar telah melarang masyarakatnya untuk berpergian selama pandemi berlangsung. Demi membayar biaya sewa kos dan makan selama ini, Ina membuka kursus bahasa Inggris serta bekerja di toko yang letaknya di lantai satu kosannya sebagai pengantar barang.
Sebelum istirahat, Ina memutuskan untuk makan malam terlebih dahulu. ia memiliki beberapa gelas beras serta bumbu nasi goreng Sishi sisa kemarin, kurang telur ayam dan sosis agar setidaknya ada lauk hewani. Ina mengambil dompet dari tasnya dan bergegas turun ke lantai satu.
Toko tempat ia tuju sekaligus ia kerja samping mirip seperti mart pada umumnya. pemilik toko alias pemilik kosan adalah seorang ibu dengan dua anak yang sudah bekerja diluar kota. kosan yang Ina tempati termasuk murah, dengan 750.000 rupiah per bulannya, namun karena Ina bekerja samping di toko milik pemilik kosan pula, Ina mendapat potongan sehingga hanya membayar 150.000 rupiah per bulannya. Terkadang, apabila pemilik toko kelelahan, Ina biasa menerima pekerjaan sebagai penjaga kasir atau toko ketika malam hari dengan upah tambahan.
Malam itu rencana Ina adalah membeli telur dan sosis sebagai lauk makan malam hari ini. Namun, Ina mendapati dirinya tengah duduk di kursi kasir sambil menunggu mie gelasnya matang. Ina pikir tidak ada salahnya menerima pekerjaan ini apalagi sepertinya panggilan dari rumah sakit kepada ibu kosan membuatnya cukup panik. Ina menghitung waktu sekitar kurang dari tiga jam lagi maka Ina bisa menutup tokonya.
Seorang bapak yang Ina kenal selalu ronda disekitar kompleks kosan masuk ke dalam toko untuk membeli sebungkus kuaci dan kopi tambahan. Selesai menerima kembalian, bapak ronda itu meminta tolong untuk mengingatkan ibu kosan Ina agar jangan sering buka toko sampai malam. Bapak ronda itu pun keluar dan kembali ke pos ronda yang letaknya tidak jauh diseberang jalan. Ina paham maksud bapak tersebut, ditengah pandemi ini, tingkat kriminalitas bukannya menurun karena banyak yang dirumah saja namun justru meningkat. Minggu lalu tersiar kabar ada sebuah cabang aldomart yang habis dicuri di tengah malam.
Sembari menunggu tiga jam berlalu, Ina menyalakan radio di meja kasir. Mendengar beberapa senandung lagu tahun 90-an sambil menikmati mie gelasnya yang sudah matang. Kompleks kosan tampak sepi karena kebanyakan yang menyewa kos sudah kembali ke kota asalnya. Ina terkendala untuk pulang karena masih ada beberapa urusan kuliah yang harus diselesaikan. Namun, begitu urusan kuliah sudah selesai, pemerintah sudah menutup semua jalur darat dan melarang masyarakat untuk melakukan perjalanan keluar kota.
Sebenarnya ada pilihan untuk naik transportasi pesawat terbang, saat itu harga tiket yang tersisa hanya kelas eksekutif dimana rerata adalah semua uang saku digabung hasil kerja samping Ina saat ini. Itupun ketika bandara masih dibuka, namun sekarang sudah nyaris akhir bulan dimana bandara juga sudah diperketat penjagaannya untuk melarang masyarakat bepergian, kecuali karena tugas negara atau resmi.
Mie gelas yang dimakan sudah habis dan Ina mengemas tempat sampah untuk dibuang. Tempat pengepul sampah di kompleks kosan berada dibelakang toko dan berjarak dua atap dari toko. Ina memeriksa keadaan didepan, di rasa cukup aman karena bapak-bapak tengah duduk di pos ronda, Ia mengambil plastik berisi sampah tersebut dan berjalan cepat menuju pintu belakang.
Dari pintu belakang, terdapat jalan setapak kecil yang biasa dilewati pejalan kaki menuju kosan yang berjejer. setelah tempat pengepul sampah ada sebuah belokan dengan jalan yang cukup lebar daripada jalan setapak ini. Suasana malam hari di kompleks kosan sangat sepi. Bertolak belakang sebelum pandemi ini datang, biasanya ada pedagang-pedagang keliling yang berjualan di sekitar sini dan penyewa kosan yang sebagian besar mahasiswa tengah antri membeli dagangan keliling.
Buang lalu kembali, begitu pikir Ina.
Selesai menaruh plastik tersebut, Ina akan kembali namun, terdengar suara hantaman dari arah belokan. Sontak membuat Ina cukup was-was, ia mendengar suara kasar dan tertawa di belokan tersebut. pelan-pelan Ina mendekati sumber suara dan mengintip dari balik dinding kayu. Tidak jauh dari belokan itu, terdapat 7 orang yang berkumpul. Enam orang terlihat memakai baju seperti preman dan satu orang berkemeja hitam bersandar di dinding sambil mengusap pipinya.
"Aduh…" gumamnya. Kenapa timingnya tepat, Ina merogoh sesuatu di saku jaketnya.
Preman-preman itu memeras pemuda dengan kemeja hitam itu. ancaman demi ancaman bahkan menjerat kerah hitamnya dan bersiap menurunkan hantaman lagi.
PRIIIITTT
Suara peluit yang sangat keras membuat terkejut semua yang mendengarkan. Keenam preman tersebut segera berlari menjauhi sumber suara, Ina mengambil kesempatan itu untuk menarik pemuda dengan kemeja hitam dan lari menuju pintu belakang toko. Para preman yang merasa ada kejanggalan berbalik badan dan mendapati dua orang lari dari mereka, sontak para preman mengejar dua bayangan tersebut.
Ina berhasil membawa masuk pemuda berkemeja hitam serta mengunci pintu belakang. Ia memastikan situasi diluar dan merasa suara derapan kaki para preman itu menjauhi tempat Ina dan pemuda itu sembunyi. Setelah dirasa cukup aman, Ina mengunci pintu belakang dan berbalik menatap pemuda yang baru saja ia tolong.
Pencahayaan di ruang belakang memang cukup redup, Ina mengetahui pemuda itu memakai pakaian serba hitam dan—
"Yaampun, pipimu berdarah!" seru Ina. Terdapat bercak merah yang menetes dari pipi pemuda itu. Ina menarik kain kemeja di pergelangan tangan pemuda itu dan mengindikasi untuk mengikuti dirinya ke toko.
Keluar dari ruangan yang remang-remang, Ina segera mengambil tisu, kapas dan plester luka ukuran kecil. Ia berbalik dan melihat rupa dari pemuda yang ia tolong.
Proporsi tubuh yang ideal, kulit putih pucat, tampak otot-otot dibalik kemeja hitam itu menunjukan wibawa atletis, wajahnya menawan dengan tulang pipi yang menonjol dan lesung pada kedua sisi pipinya. Walaupun ada sebuah luka setelah dihantam tadi, namun tidak menutup pesona dari pemuda itu.
Ina mengalihkan pandangannya sejenak, mengambil napas dan berjalan mendekati pemuda itu.
"… duduk sini," ucapnya sembari mengambil kursi di sebelah kursi yang ia tunjuk.
pemuda itu duduk di sampingnya, Ina mengindikasikan pemuda itu untuk sedikit menoleh ke samping karena Ina bermaksud membersihkan darah diatas luka tersebut. Sambil membersihkan lalu menutup luka dengan plester kecil, Ina memecah suasana hening semi-awkward diantara mereka berdua.
"Jadi… aku Ina, maaf telat kenalannya." Kata Ina sambil berusaha tetap memperhatikan luka yang ia tangani.
Terdapat hening sejenak sebelum pemuda itu mengenalkan dirinya, "… Kemal."
Mendengar jawaban dari pemuda bernama Kemal itu, Ina menatap dan tidak sengaja menangkap iris berwarna hijau kebiruan tengah menatap tajam Ina dari sudut matanya. Mata yang tidak kalah menawan dari wajahnya, mampu membuat Ina menyadari apa yang tengah membuatnya berhenti merawat luka pemuda itu.
"Maaf," kata Ina menyadari tindakannya kurang sopan. Ina pikir pemuda ini bukan dari sini, warna matanya asing dan logat bahasanya seperti turis.
Ia segera memastikan luka di pipi siap dibalut dengan plester luka. "… bukan asli sini, ya?" tanyanya lagi.
"..." pemuda itu tidak menjawab apa-apa dan tetap menatap Ina dari sudut matanya. Ina berhati-hati membuka plester luka sekaligus ketika berbicara dengan orang asing.
"kalau malam sebaiknya tetap dirumah atau menghindari tempat yang sepi seperti tadi, akhir-akhir ini banyak pencurian dan kejahatan pada malam hari." Lanjutnya sembari menempelkan plester luka ke pipi pemuda itu. "oke, sudah." merasa pekerjaannya cukup, Ina mengambil air botol dan memberikan pada Kemal. "Minum, kalau sudah baikan segera pulang."
Ina melihat kearah jam dinding dan waktu sudah menunjukan hampir jam 12 malam, waktunya untuk bersiap-siap menutup toko. Ia menoleh ke belakang dan mendapati Kemal masih meminum air botol yang diberinya. Ina beralih keluar toko dan merapikan beberapa majalah dan kardus-kardus air botol untuk dimasukkan ke dalam. Pintu kaca terbuka dan Ina melihat Kemal bersiap untuk pergi.
"sudah baikan? Lain kali hati-hati, jangan sampai ini terulang." Sahut Ina. Kemal menoleh kepada Ina dan tersenyum kecil, memperdalam lesung pipinya.
Apabila teman-teman Ina terutama yang perempuan berada di posisi Ina, mungkin lebih agresif daripada bertukar nomor atau akun media sosial belaka.
Malam ini adalah puji syukur, pikir Ina sambil tersenyum kecil membalas Kemal. Tentu saja Ina bukan tipe sehebat teman-temannya. Hanya kebetulan ketemu saja, pikirnya.
Ina mengangkat kardus dan akan berbalik kearah pintu, namun pemuda yang baru saja ia kenal bernama Kemal sudah tidak ada di tempat. Tetap menjaga pikiran positifnya, Ina kembali menyelesaikan pekerjaannya malam itu.
Esok harinya, Ina mendapat bingkisan yang diterima ibu kos untuk dirinya atas nama Kemal. Pada awalnya, bingkisan yang dikirim mungkin cukup sebagai balas budi yaitu sebuah botol minum Dubberware berwarna hijau. Ina pikir interaksi mereka akan berakhir hari itu.
Namun Ina tidak menduga. Keesokan harinya sebuah bingkisan datang lagi, berisi kotak bekal yang terbuat dari aluminium berwarna hitam dengan garis-garis hijau di sisi pinggiran. Masih dengan pikiran positif, bahwa ini hanya balas budi belaka. Hingga hari ketiga, Ina menemui Kemal tengah membeli sesuatu di toko tersebut dan ia mendapat bingkisan lagi yaitu kue Oonde dengan alasan untuk kue lebaran nanti. Karena tidak enak menolak, Ina pun menerima bingkisan untuk ketiga kalinya. Keesokan harinya juga begitu namun dengan bingkisan yang berbeda-beda.
Hingga hari ketujuh setelah pertemuan mereka dimana Ina sudah tidak bisa menganggap ini balas budi biasa.
"ini sudah berlebihan…" gumamnya sambil menatap sebuah satu set baju hijab berwarna hijau kebiruan, aksesoris di seluruh bagiannya sangat detil dan indah. matanya menatap bingkisan-bingkisan yang tersusun rapi di sudut kamarnya, bros Bunga yang terlihat mahal, tas mini yang Ina ingat temannya menginginkan tas ini namun harganya setara dengan mobil, satu paket skincare Annasfree asli Pulau Jeju, dan empat bingkisan lainnya yang tidak Ina buka.
Hari ini ia akan menemui Kemal.
.
To be continued...
.