webnovel

Bab 28

Setelah tewasnya 3 orang dalam waktu hampir bersamaan, Kedasih, Nyai Wilis, dan Puteri Merapi, palagan dibersihkan dari sisa-sisa pertempuran. Citra membawa jenazah Kedasih ke dalam benteng Galuh Pakuan. Citra, Raja dan Sin Liong dengan dikawal pasukan kecil membawa jenazah itu ke Istana Galuh Pakuan. Dia akan mengebumikan Kedasih di taman depan Istana Keputrian. Dia sekaligus akan menghadap Baginda Raja Galuh Pakuan bahwa dirinya siap untuk acara seserahan beberapa hari lagi. Citra juga meminta hal ini disampaikan kepada Panglima Haryo Sembodo yang memimpin pasukan Majapahit sekaligus meminta agar pertempuran yang telah memakan ribuan nyawa itu dihentikan.

Pertempuran dihentikan total atas persetujuan Mahapatih Gajah Mada dan Panglima Narendra. Pasukan Majapahit menarik sebagian besar pasukannya menuju Bubat. Meninggalkan sebagian kecil saja di perbatasan yang masih berbau anyir darah. Majapahit harus rela kehilangan Mpu Rakha Bumi, Puteri Merapi, Nyai Wilis dan Resi Amarta yang tidak bisa diselamatkan karena luka-lukanya sangat parah.

Citra tiba di istana dan menghadap ayahandanya dengan berurai airmata. Mohon ampun karena telah pergi dari istana tanpa izin dan akhirnya mengakibatkan malapetaka besar di perbatasan. Citra berjanji kepada Baginda Raja Lingga Buana untuk patuh dan pergi ke Majapahit dalam upacara seserahan bersama-sama dengan Baginda Raja sendiri.

Baginda Raja yang sedang berduka karena kehilangan ribuan pasukan dan juga tokoh-tokoh sakti yang selama ini setia kepada Galuh Pakuan. Resi Guntur dan Resi Galunggung adalah orang-orang yang selama ini sangat setia membela Galuh Pakuan dari gangguan apapun. Baginda Raja juga sudah mendengar kisah kepahlawanan Kedasih yang mengorbankan dirinya namun membawa serta ke alam baka Puteri Merapi dan Nyai Wilis yang sangat berbahaya bagi pasukan Galuh Pakuan karena kemampuan sihir mereka yang di luar nalar.

Karena itulah Baginda Raja tidak keberatan Kedasih dikebumikan di taman Istana Keputrian. Sebagai penghormatan atas jasanya yang luar biasa, taman itu bahkan diberi nama Taman Kedasih. Di lain sisi, Baginda Raja tidak bisa menerima dan mengampuni alasan apapun mengenai Raja. Baginda memerintahkan Raja dikurung di penjara bawah tanah istana yang dijaga ketat dan berlapis.

Citra menyabarkan diri untuk tidak melawan keputusan ayahandanya atas Raja. Citra tidak ingin ada akibat mengerikan lagi jika sampai Baginda Raja tahu bahwa Galuh Pakuan memenjarakan orang yang dicintainya lalu menghukumnya lebih berat.

Sin Liong dibebaskan karena memang terbukti tidak bersalah. Citra menyediakan rumah tinggal di ibukota bagi pemuda itu. Citra meminta Sin Liong untuk ikut mengantarnya ke Majapahit pada saatnya nanti. Sin Liong diminta untuk mengikuti dari belakang secara tersembunyi bersama Raja. Raja mengirimkan pesan kepada Citra melalui Sin Liong bahwa dia akan meloloskan diri dari penjara saat acara itu tiba pada waktunya.

Padepokan Maung Sakti juga dibebaskan dari segala tuduhan. Ratusan anak murid padepokan itu hanya tersisa separuhnya saja. Separuhnya lagi tewas di medan laga perbatasan. Baginda Raja atas saran Panglima Narendra yang melihat sendiri kesetiaan dan pengorbanan Padepokan Maung Sakti, bahkan meminta agar Ki Galih Prawira ikut mengawalnya berangkat pada upacara seserahan nanti.

Baginda Raja sudah menetapkan dari sekarang siapa saja nanti yang akan mendampingi Baginda Raja dan putrinya dalam rombongan seserahan nanti. Dua dari Resi Opat Gunung yang tersisa yaitu Resi Papandayan dan Resi Pangrango, Ki Galih Prawira, Ketua Padepokan Leungeun Maut bernama Ki Jagad Tirta, dan beberapa regu pasukan pengawal. Panglima Narendra tidak diperkenankan ikut karena harus bertanggung jawab terhadap keamanan istana dan seluruh wilayah kerajaan Galuh Pakuan.

Istana Kerajaan Galuh Pakuan berkabung selama beberapa hari. Ribuan prajurit dan beberapa tokoh penting telah tewas demi membela tanah airnya dalam peperangan singkat setengah hari di perbatasan melawan pasukan besar Majapahit yang menderita hal serupa.

Citra dikurung dalam Istana Keputrian dan dijaga ketat. Kali ini Resi Papandayan sendiri yang memimpin penjagaan terhadap Sang Putri. Hal yang paling ditakutkan adalah jika Raja yang meskipun sudah dipenjara, bisa meloloskan diri lalu berbuat kenekatan yang sama. Melarikan Putri Dyah Pitaloka.

Di dalam Istana Keputrian, Citra hanya merenung dan melamun berjam-jam di Taman Kedasih di depan makam Kedasih. Citra tahu pengorbanan Kedasih adalah seperti apa yang telah diramalkan oleh Resi Gunung Sagara. Dia harus menyaksikan sendiri kematian sahabatnya agar tidak terus melawan takdir yang akan membawanya ke Bubat. Karena perasaan berduka yang teramat sangat, Citra tidak mau membayangkan apa yang akan terjadi di Bubat nanti.

Biarlah dia akan menjalani seperti air yang mengalir. Biarlah takdir mulai menulis dari sekarang. Dia pasrah dan tidak peduli lagi. Sudah terlalu banyak korban tak bersalah akibat dari upayanya membelokkan sejarah. Kalaupun nanti sejarah mengulang hal yang sama, dia juga tidak peduli. Hanya saja di dalam doanya, Citra meminta agar Raja berada di sampingnya saat semua itu terjadi. Dia akan mati dengan bahagia di pelukan lelaki yang dicintainya itu. Tapi apakah dia juga rela jika Raja ternyata harus mati bersamanya di tangan orang-orang Majapahit?

Citra menghapus bulir-bulir airmata yang menuruni pipinya. Tangannya mengelus nisan makam Kedasih yang masih segar. Jika nanti dia mati dalam peristiwa Bubat dan Raja ikut mati, apabila Raja ikhlas itu terjadi kepadanya, maka dia juga akan rela. Tapi jika Raja tidak ikhlas, maka dia berharap akan menjelma menjadi raksasa dan menelan hidup-hidup Mahapatih Gajah Mada.

Raja di dalam penjaranya yang kecil dan pengap ikut merenungi kematian Kedasih. Dia tidak menyalahkan siapa-siapa. Semua itu ditulis sendiri oleh takdir. Termasuk juga takdirnya untuk membantu dan menemani Citra dalam upayanya membelokkan sejarahnya yang pedih. Begitu juga takdir Kedasih untuk tetap menjaga sejarah berjalan kembali ke arah sebagaimana mestinya dengan mengorbankan diri.

Raja tidak bisa membayangkan jika saat itu Kedasih tidak ada dan tidak turun tangan menghalangi Nyai Wilis dan Puteri Merapi, mungkin saja peperangan akan terus berlanjut dengan kematian beribu-ribu lagi dari prajurit dan rakyat Galuh Pakuan.

Siapapun tidak ada yang menduga, termasuk Raja dan Citra, bahwa di antara tokoh Majapahit ada satu orang yang ikut menjaga takdir sama seperti yang telah dilakukan Kedasih.

Dengan kekuatannya yang sangat luar biasa, bisa saja Nyai Wilis menghabisi tokoh-tokoh Galuh Pakuan. Dengan kelihaiannya juga, bisa saja Nyai Wilis melawan Kedasih dengan sihir yang tingkatannya lebih tinggi dari wanita itu. Atau membiarkan Puteri Merapi menghabisi Kedasih yang terdesak saat itu. Tapi semua tidak dilakukan oleh Nyai Wilis. Sebab nenek tua yang sangat sakti itu tahu apa yang menjadi tugasnya. Karena itulah dia ikut campur tangan saat Kedasih kalah kekuatan melawan Puteri Merapi. Karena itu pulalah dia membuka pertahanannya dan membiarkan petir menyambar tubuhnya sehingga dia sendiri tewas. Itupun setelah memastikan Puteri Merapi tewas terkena hantaman petir Kedasih.

--********