webnovel

Ramalan Takdir

Apa yang akan kau lakukan jika kau bisa mengetahui masa depan? Apakah kau akan melakukan hal demi hal sebaik mungkin agar tak ada penyesalan di masa depan? Ataukah kau akan mengambil jalan yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya saat tahu masa depanmu hancur? Yang pasti, jika kau memiliki penyesalan, kau takkan membiarkannya sampai terjadi bukan? Tapi apa benar masa depan bisa diubah? Apakah bahkan jika kau mengetahuinya, berarti kau bisa merubahnya semudah itu? Bercerita tentang Riana, gadis pembaca masa depan. Ia memang tak bisa melihat masa depannya sendiri, tapi ia bisa melihat masa depan orang lain. Namun kekuatannya menghancurkan hidupnya, menghancurkan hatinya dan menghancurkan semua yang dia miliki. Tak akan ada yang diperoleh saat kau memiliki kekuatan itu, itu mungkin kutukan yang didapatkan Riana. Ayahnya mengabaikannya, Ibunya membencinya. Tak ada satupun dari keluarganya yang menyanyanginya, tentu saja kecuali saudari tirinya. Mana, saudara tirinya. Gadis baik nan pintar itu menyayanginya. Dari Mana lah Riana belajar tentang menyayangi seorang, dari dirinyalah Riana dapat bertahan dari semua takdir buruk yang harus dilihatnya. Tapi bahkan kasih sayang itu ada batasnya. Bisakah Riana hidup tanpa kasih sayang ayahnya? Bisakah dirinya merasa cukup hanya dengan kasih sayang Mana, saudara tirinya. Dan apa sebenarnya kekuatan Riana? Apakah itu kutukan ataukah berkah? ~•~•~•~•~ NB : Novel ini bercerita tentang perjalanan Riana menghadapi takdir buruk yang harus ia lihat. Riana bukannya gadis lemah nan labil, ia hanya belum punya kekuatan aja. Semakin lama, semakin banyak penderitaan yang ia terima akan semakin menumbuhkan karakternya. Berpusat pada hubungan Riana-Ayahnya, teman teman dan orang orang yang disekitarnya. Riana akan tumbuh menjadi karakter kuat bersama yang lain. Semakin lama maka kebenaran kekuatan Riana akan semakin jelas.

jalonis446 · Fantasia
Classificações insuficientes
34 Chs

Kehidupan Yang Mengerikan

"Riana, saatnya kau kembali kekurunganmu" kata laki laki itu sambil berjalan mendekat. Aku tak bisa lagi berdiri kembali. Ingin rasanya aku terus seperti ini, memeluk tubuh Mana yang perlahan mulai mendingin di pelukanku.

Aku butuh pahlawan disaat saat seperti ini. Tubuhku sudah mencapai batasnya dan aku tak bisa lagi bergerak. Pria itu akan segera menangkapku kembali, mengurungku dalam ruang dingin yang tak tersinari matahari. Dengan kata lain perjuangan melarikan diri ini sia sia. Kematian Ibu, dan juga kematian Mana, semuanya sia sia belaka.

Aku ingin pergi. Aku juga masih ingin berlari. Aku ingin hidup bebas tanpa kurungan dan makan makanan layak konsumsi. Aku ingin sehat, aku tak ingin lagi menderita, merasakan sakit disekujur tubuh. Apakah keinginanku itu terlalu berlebihan?

Kutatap langit yang masih saja menurunkan air hujannya. Jawaban pertanyaanku adalah rintik hujan dingin yang mengenai wajahku. Rintikan itu membuat wajahku yang sudah basah karena air mata kini bertambah basah karena air hujan.

Oh... Lihatlah betapa malangnya diriku. Pria itu maju mendekatiku yang masih memeluk tubuh Mana erat erat, tak mau melepaskan. Beberapa meter, hanya beberapa meter lagi hingga dia bisa menangkapku.

Aku pasrah, tak tahu harus bagaimana dan berbuat apa.

Pahlawan, tolong selamatkan aku.....

Ditengah harapan itu, tangan pria itu mencengkram bahuku dengan kencang, aku tersentak dengan keras. Senyum diwajahnya itu berkata padaku kalau penderitaanmu yang sebenarnya baru akan dimulai.

Tapi belum sempat tangan itu menarikku kembali kedalam sangkar tak bersinar matahari itu, sebuah tebasan dari pedang yang berkilau berkelebat begitu saja.

"Agghhh...." teriak pria itu tiba tiba saat tangan kanan yang menyentuh pundakku tiba tiba jatuh begitu saja ketanah. Darah mengalir deras dari luka bekas potongan tangan.

Aku menahan mual yang tiba tiba menyerang tubuhku. Entah kenapa begitu melihat darah tubuhku jadi ketakutan.

"Siapa... siapa kau hah?!" tanya pria itu sambil mengerang kesakitan. Sedangkan seorang berjubah putih itu berdiri dengan mengangkat pedangnya yang berlumuran darah. Dia hanya diam saja, tak menjawab pertanyaannya.

"Bajingan!!! Hei kalian, cepat tangkap orang ini!!" pria itu berkata dengan air mata di matanya. Orang yang diperintah a.k.a para prajurut berjubah hitam kemudian langsung mengepung kami kami dari segala penjuru. Aku menatap sosok berjubah putih itu, aku tak tahu apakah dia musuh ataukah lawan.

"Serly! Cepat sembuhkan dia," serunya kemudian. Sontak orang berjubah bayangan gelagapan kebingungan. Apa pria ini juga membawa temannya?

Benar saja. Tiba tiba jatuhlah dari langit sosok wanita cantik dengan rambut pirang dan busur keemasan yang berada dipundaknya.

Dia berlari cepat kearahku, langsung memeriksa kondisi Mana. Aku yang melihatnya langsung berbunga. Pasti ada cara untuk menyelamatkan Mana.

"Bagaimana, apa kau bisa menyelamatkannya?! Kau pasti bisa menyelamatkannya kan" harapan tumbuh hanya dengan melihat sosoknya yang memancarkan aura berbeda. Melihat dia jatuh dan mendarat dari langit dengan tubuh baik baik saja membuatku langsung mengharapkan keajaiban darinya.

"Sepertinya kita terlambat" gumamnya pelan pada sosok berjubah putih itu. Aku tergagap mendengarnya, itu tidak mungkin. Jangan hancurkan harapanku dengan begitu mudahnya.

"Cih, sudah tak bisa diselamatkan yah..." katanya sambil mengangkat kembali pedangnya. Dia menatap tajam musuh yang sudah mengepungnya. Sepertinya musuhnya bertambah banyak saja, orang orang berjubah hitam itu datang tiada habisnya.

"Serly, kau bawalah pergi Riana. Biar aku yang mengurus disini" kata sosok berjubah putih itu pada teman wanitanya. Gadis berambut pirang bernama Serly itu memegang pundakku.

"Tinggalkan dia disini" bisiknya pelan. Aku tak percaya apa yang dia katakan.

"Dia adikku! Aku takkan meninggalkannya disini!!" bentakku marah. Tapi sepertinya Serly sudah tahu kalau aku akan menolak.

Buktinya dia menarikku dengan kencang, memisahkanku dari Mana. Aku yang sekarang bertubuh lemah tanpa tenaga hanya bisa memberontak digendongannya. Dia menggendongku layaknya dia menggotong karung yang berat di bahunya.

"Jaga dirimu, Sinha. Pastikan kau membereskan sisanya" ucap gadis itu pelan. Sosok berjubah putih yang tak lain adalah lelaki bernama Sinha itu mengangguk, lalu menerjang pasukan musuh dengan pisau yang berkilau ditangannya.

Sedangkan Serly, dia berlari menerobos hutan dengan aku dibahunya. Langkah kakinya ringan, seolah aku bukan beban berat yang harus dipikulnya. Beberapa kali dia melompat melewati dahan dan akar pohon yang menculat begitu saja.

"Tunggu!! Turunkan aku!! Aku harus kembali bersama Mana!!" kataku sambil memukul mukul punggungnya. Pukulan yang tak terasa sakit sedikitpun, pukulan yang penuh dengan keputus asaa.

Mata kananku tak bisa melihat dengan jelas. Tapi yang jelas, aku semakin berlari menjauhi Mana, aku meninggalkan Mana sendirian disana.

"Turunkan aku!! Kumohon.... Biarkan aku bersama Mana...." kataku disertai isak tangis yang tak bisa lagi kutahan. Air mata mengalir deras, mata kananku kini tak bisa melihat karena tertutup air mata.

"Tidak. Kau harus kembali keduniamu" katanya tegas. Gadis bernama Serly ini berkata seolah olah dia tak bisa memahami kesedihanku.

"Tak mau!! Mana ada disana, Ibu ada disana. Biarkan aku pulang bersama keluargaku!!" bentakku padanya. Air mata tercampurkan hujan membuatku semakin lara. Kenapa.... Kenapa jadi begini...

"Aku tak mau pulang!! Aku ingin bersama Mana dan juga Ibu! Biarkan aku tetap disini" tubuhku memberontak. Serly nampak hampir kehilangan keseimbangan karena aku yang terus bergerak dibahunya.

"DENGAR!!" bentaknya marah setelah sekian lama aku merengek padanya. "Aku akan mengembalikanmu keduniamu, jadi jangan ribut lagi!!"

Bukan... Bukan itu jawaban yang kuinginkan. Yang kuinginkan adalah Mana dan Ibu.

"Ta-tapi Mana..." belum sempat aku berkata, dia langsung memotong kalimatku. "Tinggalkan mereka. Kamilah yang akan menguruskan. Sekarang kau harus pergi dari sini"

Akhirnya dia berhenti melompat dari dahan dahan dan menurunkanku. Tak jauh dari tempat kami berdiri ada lubang hitam seukuran dua meter. Lubang itu dikelilingi sengatan sengatan listrik kecil di pinggirannya. Sedangkan untuk tengahnya, lubang hitam itu berputar putar seolah hendak menyerap siapapun yang mendekat.

"Kau, pulanglah kerumah," katanya sambil mendorongku kelubang hitam itu. Kuyakin lubang itu pasti adalah portal yang menghubungkan duniaku dengan dunia ini. "Tidak, aku harus..."

"Kau harus pergi Riana. Kau harus selamat. Kami tahu perasaanmu, tapi kau tak boleh terluka. Ini adalah nyawa pemberian adik dan Ibumu, kau harus menjaganya dengan baik. Tetaplah hidup, bukankah itu wasiat dari mereka berdua" kata kata itu tak lagi terdengar kasar. Air mata mengalir dari matanya, dia menyandarkan kepalanya lelah dibahuku.

"Kumohon pergilah, Riana," katanya sambil mendorong diriku masuk lubang hitam. Aku berteriak padanya, tapi suaraku tak mau keluar dari ruangan hitam yang semakin lama semakin menyerapku. Wajahnya yang terlihat olehku adalah raut muka sedih. Air mata menggenang dimatanya.

Tidak!! Ini tak boleh terjadi!!

Ingin kuberteriak seperti itu, tapi portal itu segera mengirimku kedunia asliku, tempat yang selama ini kurindukan.

Sinar yang tadinya bersinar redup kini hilang sepenuhnya ditelan portal. Yang kulihat hanyalah gelap, gelap menyelimuti seluruh tubuhku.

Tak lama kemudian akhirnya tujuan sampai. Sinar mengelilingi tubuhku, begitu sinar meredup, situasi yang kuhadapi sama saja.

Rintik rintik hujan membasuh tubuhku. Air hujan mengalir melalui rambutku. Ia membersihkan segala luka dan darah, membuatnya malah semakin terasa perih.

Ah... Lagi lagi air mata mengalir. Baik dari mata kanan atau kiri, keduanya sama sama mengalirkan zat cair.

"Ahhhhgggggg....."

Suara penuh keputus asaan itu tak lagi memantul melalui hutan, kini dia memantul diudara kosong tanpa adanya satu pohonpun. 

Kepalaku sakit, rasanya seperti akan pecah. Mataku panas, seolah ada yang membakarnya dengan api membara. Dadaku sakit serasa ada banyak jarum kecil tak terlihat yang menusuk dengan sangat dalam.

Teriakan itu memantul dalam ruang kosong, memanggil seseorang yang seharusnya sama sekali tak peduli padaku.

"Kau kenapa?" ditengah keputus asaanku, terdengar suara yang sudah lama kulupakan.

"Dimana istriku dan juga putriku?" sosok itu berkata dingin ketika mendapati putri kandungnya pulang dengan badan penuh luka dan kehilangan satu mata.

Tapi memangnya ayah peduli apa? Begitu melihat kondisiku yang babak belur, dia malah menanyakan dimana istrinya dan putrinya yakni Mana.

Aku tergagap. Melihat sosok dingin yang masih terukir diingatan membuat tubuhku bergetar hebat. Hawa dingin memperingatkanku agar segera kabur. Tapi apakah daya, perasaanku sedang kacau sekarang.

"A-ayah...." kataku pelan. Tubuhku yang terduduk ditanah dan ayah yang berdiri dihadapanku dengan tatapan dinginnya. Bahkan jika hatiku hari ini hancur, dia membuatnya jauh lebih hancur lagi.

"Maafkan aku, Ayah.... Maafkan aku" kataku sambil menundukan kepala.

Ah... Wahai air mata yang tersamarkan hujan yang juga datang didunia ini, kumohon berhenti sekejap saja...

"Katakan dengan jelas, Riana!! Kemana Istri dan Putriku!!" bentaknya kasar. Aku manahan napas, tak lagi aku bisa menjelaskan semuanya pada Ayah.

Pada akhirnya, Ayah hanya menanyakan Ibu dan Mana, dia sama sekali tak menanyakan keadaanku.

Cukup sudah... Kumohon, cukup sudah.. Aku sudah lelah dengan semua kesedihan ini... Kumohon....

Seseorang, berilah aku arti akan kehidupan tak bermakna ini...

Kumohon....