Wanita itu sudah pasrah akan takdir. Jika hari ini adalah hari terburuk dalam hidupnya, ia akan terima begitu saja. Bahkan jika nyawanya pun ikut direnggut paksa, ia sudah tidak akan melakukan perlawanan, sebab Felicia merasa sudah tidak bisa melawan sama sekali. Apalagi ia pernah menjadi saksi bisu saat adanya pembunuhan dan pemerk*saan saat ia masih kecil dulu.
Hal itu membuat jiwanya begitu tergoncang. Ia tidak pernah mengira akan mendapatkan perlakuan yang sama.
Ketakutan di masa kecil, kembali ia rasakan kini. Bayang-bayang kesadisan dan perilaku kebejatan itu terngiang-ngiang kembali di pikiran Felicia. Hal itu menyebabkan nyalinya menciut dan tidak ada kekuatan untuk melawan.
Senjata panjang miliki pria itu semakin mendekat ke barang intim milik Felicia. Hanya berjarak satu senti lagi agar mereka menyatu satu sama lain. Namun, entah dari mana asalnya, Gerald sudah berada di sana dan mengahajr pria itu tanpa ampun.
Melihat Felicia yang dilecehkan seperti itu, Gerald langsung naik pitam. Apalagi melihat ekspresi wajah wanita yang ia cinta begitu terpuruk dan terpukul. Bahkan Felicia tidak bisa berhenti menangis meskipun kini ia telah bebas.
Gerald dan kedua pria itu saling adu otot. Sementara Felicia bangkit berdiri untuk merapikan kembali pakaiannya yang sudah sangat berantakan.
Gerald sempat terhantam di bagian hidungnya, membuat darah segar mengucur deras dari dua lubang itu. Melihat darah yang nenetes dari hidungnya, kekuatan Gerald semakin membara. Ia layangkan tendangan kuat pada perut pria berjaket jeans. Pria itu melenguh kesakitan.
Meskipun terkesan tidak bisa berkelahi, ternyata Gerald cukup handal jika dalam keadaan terdesak dan tertekan. Akibat tendangannya, pria berjaket jeans meringis kesakitan dan tidak bisa bangkit berdiri untuk membalas tendangan Gerald.
Sementara pria yang satu lagi diam-diam menghantam Gerald dari arah belakang tepat di kepalanya. Kepala Gerald seketika sakit bukan main. Tatapannya perlahan mengabur, apalagi ia kembali dihantam dari arah depan. Wajahnya babak-belur dihantam pria yang sempat melecehkan Felicia.
Seperti mendapat kekuatan kembali, Felicia datang dengan membawa batu batako. Ia hantamkan dengan keras batu batako itu ke kepala si pria bejat. Seketika, darah mengucur dengan deras dari kepala si pria. Hal itu membuat ia hilang kesadaran akibat hantaman keras oleh Felicia.
Gerald benar-benar kesakitan. Namun, melihat Felicia, kekuatannya kembali datang. Cepat, ia bangkit berdiri dan mencengkeram pergelangan tangan Felicia untuk membawa wanita itu agar lekas pergi dari sana.
Di sepanjang perjalanan, Felicia hanya bisa menangis dalam diam. Apalagi Gerald tidak bisa berhenti memarahinya karena pergi begitu saja dari apartemen dan hampir diperk*sa oleh orang yang tidak dikenal andai Gerald tidak cepat-cepat datang menyusul dan menemukan.
Bahkan, ketika mereka tiba di mobil, Gerald masih belum selesai dalam memarahi Felicia. Ia benar-benar kehilangan kendali. Lelaki mana yang tidak akan sakit hati dan emosi ketika melihat wanita yang ia cintai hampir disetubuhi paksa?
Gerald mendadak diam saat sadar apa yang baru saja ia lakukan. Jiwa Felicia pasti tengah terguncang dengan kejadian barusan. Lalu, apa yang ia perbuat barusan? Bukannya menenangkan, ia malah memperburuk keadaan.
"Maafkan aku." Gerald berucap bergetar sembari membawa Felicia ke dalam pelukan.
Untuk beberapa waktu, mereka hanya terdiam dalam posisi itu. Perlahan, Felicia mulai merasa tenang karena berada dalam pelukan Gerald. Mobil mereka masih tetap terparkir di pinggir jalan. Mereka hanya duduk terdiam di dalam.
Semua rasa sakit di tubuh Gerald akibat perkelahian, hilang begitu saja saat memeluk tubuh Felicia.
Felicia masih sesenggukan setelah beberapa saat mereka terdiam.
"Sekarang kau sudah aman." Gerald mengusap lembut punggung Felicia yang tertutup rambut panjang.
Felicia membalas pelukan Gerald dengan sangat kuat. Seakan memberikan kode agar Gerald tidak pernah meninggalkannya barang sedetik pun. Sebab, ia merasa dunia sudah tidak aman bagi dirinya.
"Apa kau membenciku?" tanya Felicia di sela isak tangisnya. Ia masih belum berani untuk menatap Gerald. Pelukan masih belum ia lepaskan.
"Atas dasar apa?" tanya Gerald seraya melepas pelukan.
Ditatapnya mata sayu nan lelah milik Felicia. Saat pertama kali bertemu, ia melihat sepasang mata itu sangat indah dan menarik. Namun, kini mata itu terkesan begitu menyedihkan. Ada luka dalam yang tersirat dari sorot mata itu.
Felicia terdiam, ia tidak sanggup untuk membahas masalah barusan.
"Feli." Gerald memanggil Felicia dengan begitu lembut ketika wanita itu menunduk.
Felicia kembali mendongak, ditatapnya sepasang mata tajam milik Gerald.
"Aku mencintaimu," ucapnya dengan tatapan penuh keartian. "Sangat mencintaimu," sambungnya kembali. Akhirnya ia bisa mengucapkan kalimat itu setelah sekian lama ia pendam sendirian.
Felicia sudah tidak kaget lagi, sebab semalam ia telah berulang kali mendengar kalimat itu keluar dari mulut Gerald. Seperti kata orang, ucapan orang mabuk tidak dapat diragukan, karena ia tengah berbicara sesuai isi hati.
"Kenapa kau hanya diam?" Gerald menuntut jawaban.
"Aku harus jawab apa?" tanya Felicia polos. Sebab, ucapan Gerald memang tidak membutuhkan jawaban. Ia hanya mengungkapkan, bukan meminta sebuah persetujuan.
"Apa kau tidak mencintaiku?" Gerald kembali bertanya. Kini kepalanya dipenuhi oleh ribuan kemungkinan jawaban yang akan ia terima.
Felicia terdiam untuk beberapa saat. Helaan napasnya terdengar begitu berat.
"Atas dasar apa aku tidak mencintaimu?" balas Felicia dengan pupil mata yang membesar.
Gerald yang mendengar kalimat itu, langsung menyunggingkan senyum seketika.
"Terima kasih karena kau sudah mencintaiku," ucap Gerald sembari kembali memeluk Felicia.
"Aku yang seharusnya berterimakasih, karena kau sudah memberikan semua yang terbaik untukku." Felicia membalas pelukan Gerald. Ia merasa begitu tenang ketika berada di dekat pria itu.
Mereka saling mengungkapkan isi hati yang selama ini hanya bisa mereka pendam sendirian. Tanpa adanya peresmian untuk memulai pacaran, mereka berhubungan. Sebab, cinta tidak perlu sebuah penyematan status.
Mereka saling mencintai dan saling membutuhkan. Lantas, untuk apa kata pacaran? Karena status pacar bisa saja berubah jadi mantan.
Sejak hari itu, mereka saling menunjukkan rasa cinta dengan perlakuan layaknya suami istri. Saling memuaskan nafsu satu dan yang lain. Felicia menikmati itu tanpa merasakan adanya bayang-bayang tentang ketakutan yang selama ini ia rasakan. Ia suka dan ia terima.
****
Hari ini harusnya Gerald ada acara meeting penting. Namun, karena Felicia meminta ia untuk ikut melakukan tes kesuburan akan program bayi tabung seperti yang Felicia minta, Gerald memutuskan semua acara penting. Baginya, Felicia adalah yang terpenting. Apalagi nanti sore mereka harus meng-interview beberapa pendaftar yang ingin menyewakan rahimnya.
Jam tangan mewah yang melilit pergelangan Gerald sudah menunjukkan pukul 10.00 Wib. Seperti perjanjian, Gerald pulang untuk menjemput Felicia ke apartemen. Mereka akan berangkat ke rumah sakit.
"Kalian sama-sama subur, kenapa harus melakukan program bayi tabung?" Dokter yang sedang menangani bertanya. Mungkin sekadar basa-basi baginya, tapi tidak bagi Gerald dan Felicia. Pertanyaan itu membuat mereka terdiam untuk beberapa waktu.
Mereka sudah mendaftar beberapa hari yang lalu. Dan hari ini mereka diminta kembali untuk datang, agar segera bisa menjalankan program.
Gerald menatap Felicia dengan dalam.
"Lakukan saja, saya sudah membayar mahal." Gerald berucap penuh perintah.
"Baik, mari ikut saya ke labor."
Felicia dan Gerald menurut. Mereka mengikuti sang dokter untuk memeriksa kesuburan. Wanita berjas putih itu meminta Gerald untuk mengeluarkan sp*rma ke dalam sebuah botol kecil yang ia berikan. Dokter akan memilih bibit mana yang paling berpeluang besar menjadi calon janin.
Begitu juga dengan Felicia. Dokter sendiri yang memilih sel teluarnya yang paling aktif.
"Kita lihat hasilnya beberapa minggu ke depan." Dokter berucap setelah semuanya selesai. Mereka tinggal menunggu hasil beberapa minggu lagi.
Sebelum kembali ke apartemen, mereka sempatkan untuk menghabiskan waktu beberapa saat di sebuah kafe mewah. Jarang-jarang mereka bisa menghabiskan waktu bersama, karena jam kerja Gerald yang terlalu padat. Wajar saja, sebab ia seorang CEO. Ada banyak hal yang harus ia kerjakan.
Felicia terdiam dengan tangan yang mengaduk jus pukat. Pandangannya fokus pada gelas, tapi tatapannya begitu kosong. Seperti ada hal yang membuatnya berpikir keras.
"Ada apa?" tanya Gerald sembari meremas tangan kiri Felicia di atas meja.
Felicia hanya menggeleng seraya tersenyum tipis.
"Aku tidak suka jika kau merahasiakan sesuatu dariku." Gerald mencoba untuk menguak masalah Felicia.
"Tidak ada. Bukan masalah penting," jawabnya dengan masih tersenyum.
"Apa kau tidak nyaman berada di sini?" Gerald menatap sekitar, demi mencaritahu apa yang membuat Felicia tidak nyaman.
"Aku nyaman di mana pun kita berada, asalkan selalu bersamamu." Felicia membalas meremas tangan Gerald dengan tangan kanannya.
"Lalu, apa yang membuatmu sejak tadi hanya diam?" Gerald masih penasaran.
"Kita pulang saja, yuk. Sebentar lagi wanita itu akan datang." Bukannya menjawab, Felicia malah mengajak pulang.
Gerald tidak bisa menolak. Ia memanggil salah satu pelayan untuk membayar tagihan.
"Ambil saja kembaliannya," ucap Gerald seraya menyerahkan beberapa lembar uang kertas berwarna merah.
Gerald bangkit beridir mengikuti Felicia yang sudah beranjak sejak tadi. Ia sempat berlari kecil demi menyamai langkah dengan Felicia.
"Kau tidak seperti biasanya. Jujurlah padaku, ada apa?" Gerald memaksa agar Felicia jujur padanya.
"Tidak ada. Aku hanya ingin beristirahat." Felicia menjawab tidak semangat.
Melihat ekspresi Felicia, Gerald tidak ingin bertanya lebih jauh lagi. Ia hanya ingin mengutamakan kenyamanan untuk kekasihnya.
Sepanjang perjalanan, Felicia hanya terdiam. Tidak seperti biasanya yang lebih aktif untuk berinteraksi dengan Gerald. Bahkan wajahnya tampak memucat.
"Kau sakit?" Gerald menempelkan punggung tangannya ke kening Felicia.
Felicia menggeleng lemah. "Aku ingin tidur. Bangunkan jika kita sudah sampai." Ia memejamkan mata dengan bersandar pada bahu Gerald.
Gerald jadi tidak fokus untuk menyetir. Pikirannya tertuju pada Felicia. Sebelum ke rumah sakit, wanita itu tampak semangat dan ceria. Namun, setelah pulang dari sana, ia terlihat seperti sekarang. Entah apa penyebabnya.
"Kita balik ke rumah sakit, ya?" ucap Gerald seraya merangkul Felicia dengan tangan kirinya.
Felicia kembali menggeleng lemah, "Kita pulang saja," kukuhnya.
Gerald tidak bisa memaksa, ia menuruti perintah Felicia agar segera pulang ke apartemen miliknya.
Pikiran Gerald masih dihantui dengan pertanyaan yang sama. Ada apa?