Bab 21
Maafkan Aku
Namun, karena panggilan alam membuat Caca harus membuka matanya, hal pertama kali yang dilihat oleh wanita itu membuat dirinya kaget.
"Mas Bian!!" gumamnya.
Carissa kaget dengan kehadiran Bian di sisinya. Apa lagi dengan posisi mereka yang saling berpelukan. Caca juga sibuk dengan pikirnya, sejak kapan Bian ada di kamarnya, wanita itu mencoba menyubit dirinya.
"Aww!!" pekik Caca. Bian yang mendengar suara teriakan dari sang istri segera membuka matanya. Keduanya saling menatap satu dengan lainnya, terdiam dengan posisinya masing masing.
Hingga akhirnya, Bian menyentuh pipi Caca membuat wanita itu sadar jika saat ini dirinya tidak sedang bermimpi.
"Maafkan aku," ucap Bian.
Dua kata itulah yang terucap dari bibir suaminya, membuat Caca kembali terdiam. Mencernah setiap kata yang terucap, takut bahwa apa yang didengar oleh dirinya itu salah yang hanya mimpi belaka.
"Maaf ... maaf ... maaf, maafkan aku Sayang," ucap Bian lagi.
Carissa hanya diam, tidak menyangka seorang Fabian yang angkuh bisa meminta maaf dengan mata yang begitu tulus. Caca menatap sang suami dengan tatapan bingung, terlihat jelas bahwa ada sebuah penyesalan di matanya.
Tok
Tok
Tok
"Kak Caca, udah bangun? Bunda ajak sarapan bersama," ucap Sekar.
"Iya. Nanti kakak ke sana," jawab Caca.
"Iya kak."
Setelah Sekar pergi, Carissa mencoba beranjak dari tempat tidurnya namun, gagal karena Bian lebih dulu memeluk erat Caca hingga membuat Caca kembali masuk ke dalam pelukan sang suami.
"Mau ke mana? Kami belum jawab pertanyaan aku," ujarnya. Carissa berusaha untuk melepaskan dirinya, saat ini wanita itu sedang malas bertemu bahkan bicara dengan suaminya.
Caca terus berusaha untuk mencoba lepas dari pelukan sang suami tapi gagal. Hingga akhirnya Caca menatap tajam ke arah suaminya, memajukan wajahnya dan mengecup bibir Bian. Sontak saja hal tersebut, membuat Bian terkejut. Carissa tersenyum tipis, baru saja wanita itu akan beranjak tangan besar milik Bian sudah lebih dulu menarik tekuk Caca.
Bian melumat, memperdalam ciuman yang dirinya berikan kepada sang istri. Kesempatan yang sudah diberikan oleh Caca, tidak mungkin di sia sia kan, oleh Bian. Caca yang ingin menjahili sang suami, akhirnya dirinya yang terperangkap di sana.
***
Masih memasang wajah cemberutnya, Caca keluar dari dalam kamar. Hampir tiga puluh menit dari Sekar memanggilnya tadi, malu itulah yang dirasakan oleh Caca saat ini. Wanita itu tidak mau sang Bunda memikirkan sesuatu hal yang tidak tidak, tentang dirinya dan Bian di dalam kamar tadi.
Memang hampir saja, Caca terbuai dengan setiap sentuhan yang diberikan oleh suaminya itu.
"Maaf Bunda, Caca kesiangan," ujarnya dengan nada rendah. Bunda Iren tersenyum, wanita itu mengerti apa yang akan terjadi dengan anak dan menantunya. Semalam ketika dirinya menghubungi Bian, ada nada yang sangat khawatir terdengar jelas.
"Gak apa Nak, ayo duduk. Maaf ya Nak Bian, sarapan hanya ini," ujar Bunda Iren.
"Tidak apa apa Bunda. Ini sudah sangat banyak," balasnya.
Meskipun Caca masih sedikit kesal dengan sang suami namun, wanita itu tetap melayani suaminya. Memberikan hal apa yang diinginkan oleh Bian, pikiran Bian bercabang memikirkan apa yang sudah terjadi sebelumnya. Della istrinya yang sudah hidup bersama dengannya cukup lama, tidak pernah seperti Caca yang melayani nya dengan penuh seperti saat ini.
"Adek adek yang lain mana Bund?" tanya Carissa.
Saat ini di meja makan hanya ada Sekar, Bunda Iren, dan mereka berdua. Biasanya meja makan akan ramai dengan anak anak panti yang sudah siap dengan makanannya masing masing.
"Mereka sudah makan lebih dulu, soalnya ada kegiatan di sekitar sini mau ada lomba ya Kar?" tanya Bunda Iren kepada Sekar.
"Iya Bunda," jawabnya Sekar.
Caca dan Bunda Iren serta Sekar saling berbincang-bincang, bercerita tentang perkembangan panti yang semakin lebih baik sejak Caca membayarkan semua hutang hutang panti asuhan.
Bian, pria itu masih sibuk menyaksikan sang istri bercerita, sudut bibir Bian sesekali mengangkat tanda pria itu tersenyum tipis. Hal itu hanya bisa di lihat oleh Bian sendiri, karena terlalu tipis.
Selesai sarapan pagi, Bunda Iren dan Bian berjalan ke arah halaman belakang yang begitu indah. Hamparan bunga dan tanaman buah buahan begitu banyak di sana.
"Nak Bian, boleh Bunda bertanya sesuatu?" tanya Bunda Iren..
"Boleh Bunda, ada apa."
"Mari kita duduk di sana saja, supaya lebih rindang," jawabnya. Keduanya berjalan ke arah pohon yang sangat rindang, pohon yang sengaja di tanam oleh Bunda Iren supaya bisa membuat anak anak ketika bermain lebih aman. Di atas pohon juga, ada rumah pohon. Bangunan yang sengaja di buat oleh Bunda Iren, untuk membuat anak anak nyaman.
Keduanya terdiam, Bunda Iren dan Bian sudah duduk di bangku tersebut. Belum ada pembicaraan lebih lanjut, hanya suara air terjun mini yang terdengar di sana.
"Bunda tahu, pernikahan ini seharusnya tidak terjadi."
Deg
Jantung Bian berdetak sangat cepat, pria itu menatap ke arah Bunda Iren. Ada perasaan yang tidak menentu dihatinya. Namun, Bian berusaha untuk menutupi hal itu pria itu masih berusaha berdiam diri.
"Tapi karena semuanya sudah terjadi, dan hubungan kalian juga sudah terlanjur jauh. Harapan Bunda hanya satu, tolong jangan sakiti Carissa. Jika suatu saat nanti, perjanjian yang kalian buat sudah selesai, dan kamu juga sudah mendapatkan apa yang kamu inginka. Tolong kembalikan Carissa kembali kepada Bunda," ucap Bunda Iren menahan air mata.
Bian hanya bisa diam, tidak ada ucapan yang terlontar dari mulut pria itu. Dirinya hanya mendengarkan setiap kata yang diucapkan oleh sang bunda. Bunda Iren, mengatakan semuanya, mengenai hal yang saat ini membuat Bian dan Carissa bersama. Wanita itu juga memberikan beberapa hal memberitahukan mengenai konsekuensi yang harus dihadapi oleh Bian nantinya ke depan seperti apa.
***
Mobil yang dikendarai oleh Bian berjalan sangat lambat, kedua orang yang ada di dalamnya tidak ada yang berbicara sedikit pun. Hanya suat mesin mobil yang terdengar.
Sesekali Bian melirik ke arah istrinya itu namun, tetap sama Carissa masih saja menoleh kepada jendela. Wanita itu lebih asyik menatap jendela dari pada menatap ke arah depan.
Ketika lampu merah menyala, Bian mencoba meraih tangan Caca dengan lembut. Kali ini tidak ada penolakan dari sang istri di gengamnnya tangan itu, lalu di ciumnya punggung tangan tersebut. Hal itu sonta membuat Caca menoleh ke arah Bian.
"Maaf Sayang, maafkan aku yang sudah berani membentak kamu," ucapnya.
Carissa tersenyum, dirinya teringat dengan ucapan sang Bunda. Carissa yang memulai maka apa pun yang terjadi dirinya harus menyelesaikan. Bunda Iren sudah meminta Carissa untuk menyudahi semuanya namun, Caca tidak bisa dirinya masih ingin melihat adik adik pantinya memiliki pendidikan.
"Iya Mas," ucapnya. Hanya dua kata yang terlontar dari bibir manis Carissa. Hal itu membuat Bian sangat bahagia, membujuk Carissa menurut Bian adalah hal yang paling sulit.
###
Hallo, bab pertama meluncur. Nanti bab selanjutnya yaaa. See you soon guys, jangan lupa reviewel dong dan yang mau kasih batu kuasa boleh banget.
Love you guys, sehat terus buat kalian semuanya. Kalau mau berteman di IG hayo. Cus meluncur ke @ochagumay24