webnovel

Rache

Puncak dari rasa sakit adalah kehilangan. Namun, Puncak dari kehilangan itu sendiri adalah mengikhlaskan. Tuhan sudah merencanakan takdir manusia. Siapapun tidak bisa lepas darinya sejauh apa ia pergi dan sejauh apa dia berlari. Aksara tau, tuhan sudah melukiskan sebuah takdir dengan apiknya jauh sebelum ia lahir. Tapi bisakah ia mengeluh? Bisakah ia berkeluh kesah pada tuhan. Aksara tau, banyak orang yang lebih buruk keadaannya dibandingkan dirinya. Tapi untuk saat ini, tolong biarkan Aksara mengeluh sekali saja. Tuhan memang maha baik, jadi tolong ijinkan ia mengeluh. Meratapi apa yang sudah terjadi. Hidupnya yang sudah mulai tertata, bak bangunan megah dengan pilar pilar tinggi menjulang, roboh dalam satu kedipan mata. Semuanya pergi satu persatu. Meninggalkan Aksara dalam sendu sembiru badai gelombang kehidupan yang mungkin tak berkesudahan.

Eshaa_ · Realista
Classificações insuficientes
312 Chs

Kamu Sempurna

Kata abah, kesempurnaan itu hanya milik tuhan. Tidak ada yang sesempurna tuhan. Secantik apapun, setampan apapun, atau sepintar apapun seseorang—pasti mempunyai barang secuil celah dalam hidupnya. Bahkan, orang yang di luar terlihat sempurnya, bisa saja orang itu adalah sosok yang begitu berantakan hidupnya.

Aksara awalnya tidak mengerti, seperti nasihat-nasihat abah sebelumnya yang sulit ia mengerti. Terlebih otak si bungsu yang memang pas-pasan. Mas Abim saja masih sering mencak-mencak karena kapasitas otak adiknya yang limit.

Tapi hari ini Aksara tau makna sebenarnya dari kalimat 'orang yang terlihat sempurna bisa saja adalah orang yang begitu berantakan hidupnya. Seperti Nathalie yang terlihat begitu sempurna di matanya, namun kenyataannya tidak semudah itu.

Aksara memasuki ruang inap Nathalie, gadis itu tersenyum singkat dengan bibirnya yang pucat.

"Aksara," panggil Tante Nara—mama Nathalie.

Aksara menoleh gugup, "Iya tan?"

"Tante mau keluar sebentar. Kamu bisa jagain Nathalie? Maaf banget loh kalo ngerepotin,"

Pemuda itu menggeleng singkat lengkap dengan senyum simpulnya, "Enggak ngerepotin kok Tan. Tante tenang aja, Aksa jagain Nath kok walaupun tante nggak minta,"

"Makasih ya Aksa. Kalau gitu tante pergi dulu ya,"

Aksara mengangguk kecil, memandang punggung sempit wanita itu yang kini menghilang di balik pintu rumah sakit. Ia kemudian berbalik, menatap lekat sosok Nathalie yang menunduk sedih.

"Aku penyakitan," lirinya.

Aksa menggeleng cepat, melangkah untuk berada di samping brankar tempat Nathalie tertunduk, "Nggak kamu nggak penyakitan Nath,"

"Tapi kenyataannya iya Sa," bantah gadis itu, "Bentar lagi aku mati,"

"Jangan bilang gitu hm? Kamu masih pantas buat hidup. Kamu harus berjuang Nath. Untuk diri kamu sendiri. Untuk mama kamu," Aksara mendudukkan diri, tangannya meraih jemari Nathalie untuk di genggamnya, "Jangan pernah nyerah untuk hidup,"

"Aku capek Sa. Setiap hari harus minum obat. Harus cuci darah. Kalau aku nggak dapet pendonor dalam waktu dekat mungkin—"

"Hei," pemuda itu berseru, tersenyum. Ibu jarinya mengusap punggung tangan Nathalie dengan lembut, "Hadapi masalahmu dengan sujudmu, angkat semua bebanmu dalam lantunan doa, sejukkan hatimu dengan setiap huruf dalam kitab suci. Jangan pernah menyerah, tuhan sayang kamu maka dari itu dia ngasih cobaan ini untuk kamu. Berdoa Nath, berserah diri kepada tuhan. Jangan pernah menyerah, takdir manusia memang tidak ada satupun yang bisa diubah, tapi seenggaknya kamu udah berusaha,"

Nathalie menatap Aksara, matanya berkaca-kaca. Gadis itu terisak kecil, "Kenapa tuhan nggak adil sama aku Sa? Di saat aku udah mulai bahagia setelah perceraian mama dan papa, setelah aku mulai melupakan kesedihan karena apa yang papa lakukan terhadap kami, kenapa di saat itu cobaan ini datang? Di saat semuanya mulai kembali ke posisinya semula,"

"Manusia mempunyai masalahnya sendiri Nath. Tidak ada seorang pun yang tidak mempunyai masalah dalam hidupnya," jawab Aksara, "Kamu tau kenapa orang-orang berkata dewasa itu bukan tentang umur? Itu karena dewasa di lihat dari tindakan seseorang. Masalah, itu adalah salah satu perantara untuk menguji kedewasaan seseorang Nath,"

Nathalie menunduk dalam, air matanya kembali menetes, "Aku nggak mau jadi dewasa Sa. Aku nggak masalah aku dianggap bocah atau gimana. Tapi, masalah ini yang bikin mama sedih, bikin mama terus jadi kepikiran sama aku. Mama frustasi Sa, Mama nggak tau mau gimana lagi. Aku nggak bisa ngeluh Sa, aku nggak bisa ngeluh sakit sama mama karena aku nggak mau bikin mama sedih lagi. Hidup mama itu bakalan Indah kalo seandainya mama nggak punya anak penyakitan kaya aku,"

"Kamu bisa mengeluh pada tuhan, karena tuhan adalah tempat yang terbaik untukmu mengeluh," ujar si pemuda, "Mamamu itu sayang sekali sama kamu. Itu perasaan naluriah. Mamamu pasti tidak menyesal Nath, mamamu pasti bangga mempunyai anak sekuat kamu. Jangan pernah menganggap kamu penyakitan. Kamu itu Nathalie, perempuan terkuat yang pernah aku kenal,"

"Mereka bilang aku penyakitan. Cuma bisa ngerepotin mama,"

"Nathalie, hidup itu memang tidak luput dari omongan orang lain. Di bandingkan kamu menasehati satu persatu dari mereka, lebih baik kamu diam, menulikan telinga," Aksara menarik napas panjang, "Omongan orang itu adalah satu dari sekian banyak senjata yang begitu membunuh Nath. Maka jangan dengarkan, itu hanya akan membuat kamu semakin terpuruk dalam masalahmu. Jangan dengarkan mereka. Mereka mencibir karena iri. Kamu tau bukan? Orang-orang itu selalu mencari barang satu celah dalam hidupmu untuk mereka cibirkan? Maka dari itu, di bandingkan kamu mendengar omongan mereka yang tidak ada habisnya, kamu sebaiknya fokus pada dirimu sendiri. Jangan biarkan kamu jatuh karena mereka. Buktikan bahwa kamu kuat, kamu bisa bebas dari masalah yang menimpamu,"

Nathalie mengangguk kecil, jemarinya menggenggam tangan Aksara yang jauh lebih besar dari miliknya, "Makasih dan maaf ngerepotin kamu. Padahal kita nggak seakrab itu,"

"Bukan masalah Nath. Kamu bisa cerita ke aku kalau kamu nggak tau mau cerita ke siapa lagi. Aku akan dengerin. Maaf aku bukan teman yang baik untuk membantu kamu menyelesaikan masalah tapi setidaknya aku pendengar yang baik. Aku nggak akan menyela ceritamu dan tidak akan membandingkannya dengan apa yang pernah aku alami,"

"Makasih untuk semuanya," gumam Nathalie tulus, "Makasih udah bawa aku ke rumah sakit, maaf juga karena aku ngerepotin,"

"Tuhan aja mau menolong hambanya walaupun dia pendosa. Aku sebagai manusia biasa masa nggak mau nolongin orang lain?"

***

"Nathalie kenapa?" tanya Mas Yudhis ketika Aksara memasuki mobilnya.

Mas Agam mengangguk, menatap penasaran pada adik bungsunya, "Tau nggak tadi mas kalang kabut nyariin kamu ternyata kamunya ada di rumah sakit?"

Aksara mendengus, "Ya maaf, tadi lupa ngabarin. Baru keinget barusan waktu mau pulang," ujarnya sembari melirik jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan. Pukul tujuh malam. Tidak terasa sekali.

"Lain kali kalo ada apa-apa ngabarin dulu," nasihat si sulung, "Oh ya itu Nathalie sakit apa?"

"Gagal ginjal," jawab sang adik pelan, "Kasian,"

"Terus kamu nggak suka lagi sama dia?" tanya Arjuna.

Aksara menggeleng cepat, "Aku nggak peduli gimana keadaan Nathalie. Tapi yang terpenting aku suka dia, tulus,"

Mas Agam melirik sekilas, lalu menirukan gestur seperti orang muntah.

Mas Yudhis tersenyum, "Kamu juga tetep harus nolongin orang lain Rah. Itu kewajiban sebagai sesama manusia. Walaupun itu orang asing, atau musuhmu sekalipun,"

Aksara mengangguk mengiyakan, "Abah juga sering bilang gitu ke Aksa,"

"Kalo kamu baik orang lain juga bakalan baik ke kamu Rah. Makanya jangan galak-galak mulu. Jangan judesin orang mulu," sahut Mas Abim.

Arjuna menoleh, segera mengiyakan ucapan sang kakak, "Berinteraksi sama orang itu perlu Sa. Jangan cuma diem, diajak ngobrol orang iyaiya aja padahal nggak tau apa yang diomongin,"

"Iya iya astaga,"

"Untung aja waktu itu abah nggak beneran bawa kamu ke rsj,"

Mas Abim tertawa mendengar kalimat kakaknya, "Itu mah salah Sarah sendiri kaya anak anti sosial,"

"Anti sosial sama introvert beda ya," dengus si bungsu, "Ayo cari makan, laper,"