webnovel

RABU DAN SELASA

Happy Reading *** Namanya Rabu Sore Hari, seorang pelukis jalanan yang 'katanya' sangat pemalas, tidak punya gairah hidup sama sekali dan selalu kelaparan. Kelebihannya satu, sangat percaya diri dan cerewet. Note : Kelaparan disini memang si pelukis kita ini malas sekali kalau disuruh makan— kalau sudah benar-benar lapar baru kelabakan ke tempat lukis untuk bekerja. Rabu selalu menyebut tempat itu, Jalan Art Place— dimana semua seniman jalanan yang tak punya profesi tetap berkumpul disitu. … Namanya Selasa Langit Malam, seorang Model Papan Atas Internasional yang 'lagi' mengalami nasib sial. Note : sial disini memang si model cantik kita ini baru saja mengalami kecelakaan serius. Selasa sebelum mengalami kecelakaan, ia selalu bermimpi bisa berjalan di runway— di seluruh perhelatan akbar Fashion Show dunia. Taraaaa … salah satu mimpi itu tercapai namun, bentuk dari kesuksesan mimpinya itu harus dibalas dengan kelumpuhan kakinya. No!! Disaat Selasa kehilangan harapannya, disitulah muncul sebuah harapan baru, yaitu Rabu Sore Hari— pria antah berantah yang super cerewet dan tidak tahu datang darimana dan iya… Itu semua adalah pertemuan yang tidak di sengaja! Iya, semua diawali dengan pertemuan seperti itu. Kalau tidak sengaja, mereka tidak akan bertemu. Yang jadi pertanyaannya… Apakah dibalik pertemuan yang tidak sengaja itu ada perasaan yang spesial diantara keduanya? Jika mereka punya perasaan spesial, apakah mereka bisa menjadi pasangan sempurna dan saling melengkapi? Dan, apakah mereka berdua bisa saling memberi dukungan supaya kehidupan mereka berdua bisa lebih baik lagi? Apakah Rabu bisa berubah menjadi orang yang tidak pemalas dan selalu giat bekerja supaya bisa menjadi Pelukis Profesional yang bisa mengadakan Pameran Tunggalnya sendiri? Apakah Selasa bisa mengembalikan lagi rasa percaya dirinya untuk bisa merasakan kembali kakinya melangkah di runway dengan segala keterbatasannya? Yukk… ikuti kisah receh perjalanan Rabu dan Selasa. Si Pelukis Jalanan yang pemalas dan super cerewet dan Si Model Papan Atas yang kehilangan kepercayaan dirinya. Follow sosial media saya… Instagram : @galuhlinan ... Cover by CANVA *** Salam Galuh

Galuhlinanti · Urbano
Classificações insuficientes
35 Chs

MINGGU DIUSIR

(Lanjutan)

1/3/22

Happy Reading

***

Selasa hanya diam saja diperlakukan seperti itu oleh Minggu.

Detik berikutnya … Ia segera melepas genggaman tangan Minggu dan menunjuk koran yang dipegangnya. Memperlihatkan artikel yang memuat nama Minggu dan Senin.

"Ini apa?!" Selasa bertanya namun suaranya terbenam didalam. "Ini apa! Bapak bisa jelaskan pada saya?" tanyanya memberi isyarat dengan mata terbuka lebar. Jari telunjuknya menunjuk-nunjuk kasar highlight berita itu.

"Tidak hanya satu artikel dalam satu koran, saya lihat ada empat artikel dan itu … kompak menjelek-jelekkan kalian berdua. Anda dan Senin, Pak!"

Minggu masih mencoba bersikap tenang melihat isyarat mata Selasa yang mempertanyakan banyak hal sambil membuka dan menunjuk beberapa artikel yang tadi dibacanya juga.

"Aku akan pulang setelah menghabiskan secangkir kopi ini. Boleh?" Minggu mencoba mengalihkan pembicaraan, dan mau mengambil koran itu lagi namun ....

Srak!!

Selasa menggeram, menepis tangan Minggu dengan kasar.

"JAWAB!!!" Selasa berteriak dalam hati.

"Diammu kuanggap iya … Terima kasih," kata Minggu beranjak dari duduknya, kemudian ia menyeruput kopinya dengan sesantai mungkin.

Minggu melirik Selasa yang menantang matanya untuk menjelaskan semua artikel-artikel itu.

Jangan terpancing, Minggu!

"Sehatkan dirimu, Sel."

"Bapak!!" Kedua mata Selasa berkedip marah. "Aghhh!!" Kali ini ia mencoba berteriak, untuk mengeluarkan suaranya yang selama dua bulan ini tidak dikeluarkannya.

Setelah sekian lama akhirnya Minggu bisa mendengar suara Selasa yang terdengar sangat serak itu, hatinya benar-benar teriris mendengar suara Selasa yang kesakitan seperti itu.

"Aku yakin kau pasti bisa jalan lagi, Sel." Minggu meletakan cangkirnya diatas meja lagi. "Jangan khawatirkan apapun. Aku sudah menyelesaikan semuanya. Semua sudah beres hingga ke akar-akarnya. Yang perlu kau lakukan hanya satu, kau fokus saja pada kesembuhan kakimu."

"Agh … agh!!"

Minggu tidak memperdulikan teriakan Selasa dibelakangnya ini. Jemarinya mengerat sedih di tepi meja. Ia tidak tega mendengar Selasa yang berteriak histeris itu.

"Aku sudah memanggil dokter kejiwaan untuk memeriksa kesehatan mental mu," lanjut Minggu. "Dan, setiap satu minggu empat kali akan ada ahli terapi kaki yang akan membantumu untuk cepat pulih. Kau tidak perlu takut, ahli terapi ini adalah yang terbaik di negara ini. Ok!!"

"Agh … agh!!" Selasa tidak mau mendengar Minggu yang bicara panjang lebar seperti itu. Ia fokus berteriak untuk mengeluarkan suaranya. Ia ingin bicara juga.

"Arghhh!!" teriak Selasa. Memukul-mukul koran kekakinya sendiri, untuk menarik perhatian Minggu supaya mau membalik badannya dan menatap matanya.

"Bapak!" teriaknya berulang kali.

Minggu tidak bergeming.

"Aku tidak mau terus-menerus menjadi beban Anda dan Senin. Bapak pergi saja! Pergi!" Hanya suara dalam hati Selasa saja yang berbicara. "Aku tidak mau membuat repot Pak Minggu terus-menerus. Pergi!! Aku sudah tidak butuh bantuan siapa-siapa lagi. Pergi!!!"

Minggu pada akhirnya berbalik badan karena tidak tega mendengar suara geraman Selasa dan juga pukulan-pukulan koran di kakinya yang lumpuh itu.

"Aku tidak butuh apa-apa! Aku tidak butuh ahli terapi itu! Aku tidak menginginkan dokter kejiwaan itu! Jika aku sudah lumpuh, aku akan lumpuh selamanya. Kaki ini tidak bisa disembuhkan lagi, Pak!!" tandas Selasa dalam hati, menatap tajam mata Minggu.

"Percayalah padaku, Sel. Percayalah." Minggu akan berjalan mendekati Selasa tapi Selasa memundurkan kursi rodanya. "Ini semua demi kebaikanmu. Kau akan sembuh, Sel."

Selasa menggeleng sangat kuat, napasnya memburu marah. Dimatanya, Minggu hanya kasihan dan iba padanya. Tidak lebih, dan lagi ia tidak boleh egois. Dalam hal ini nama baik Minggu dan Selasa akan hancur dalam sekejap.

Selasa memukul pegangan kursi rodanya lalu telunjuknya menunjuk ke arah pintu depan! Ia semakin memundurkan kursi roda itu— menjauhkan diri dari Minggu.

"Keluar!!" teriaknya dalam hati. "KELUAR!!"

"Selasa … Selasa." Minggu yang tahu arti isyarat tangan itu langsung panik.

Ahh, ada dengan Selasaku ini. Kenapa jadi rumit seperti ini," batinnya yang menjadi panik, melihat mata Selasa yang merah menyala namun sedikitpun tidak ada air mata yang keluar disana.

"Dengarkan aku sekali lagi." Minggu berjalan maju pelan-pelan, disana Selasa masih memundurkan kursi rodanya. "Ini semua demi kebaikanmu. Aku ingin secepatnya kau pulih. Kau tidak boleh seperti ini, Selasa."

"Arghhhh!" Selasa berteriak. Akhirnya suaranya terdengar walau sangat parau. "Bapak keluar dari rumah saya," ucapnya dengan susah payah, memukul-mukul kedua kakinya sendiri.

"Aku tidak butuh bantuan Bapak lagi!" Tegasnya dengan suara terbata-bata. "Ini masalahku bukan masalah bapak! Bapak sudah terlalu banyak membantuku, dan aku tidak mau jadi beban selamanya."

"Kau tidak jadi bebanku, justru aku sangat senang membantumu dan kau tahu, ini sudah jadi tanggung jawabku untuk membantu karena kau ini adalah—"

"Aku bukan tanggung jawab, Bapak!" Selasa menyela ucapan Minggu.

"Cukup, Pak! Aku ini hanya model diperusahaan, Bapak. Tidak lebih. Bapak tidak perlu bertindak jauh untuk membelaku." Selasa menarik napasnya panjang-panjang.

"Nama baik yang bapak bangun selama ini jadi jelek gara-gara aku. Bapak sudah susah payah membangun Sky Castle dari nol! Jangan gara-gara ingin membelaku bapak jadi kehilangan segalanya."

"Itu tidak—"

"PENTING UNTUKKU!!!"

Selasa berteriak frustrasi.

"Itu penting untukku! Pak Minggu adalah orang yang saya hormati, jadi saya mohon …." Selasa menangkup kedua tangannya didepan muka. "Bapak pergi dari hadapan saya, sekarang," pintanya setengah hati. "Jangan datang ke rumah saya lagi! Anda sudah tidak diterima di rumah ini, Pak Minggu! Selamanya saya tidak akan menerima, Anda."

Deg!

"Ta-tapi, Sel … a-aku …."

Ceklak.

Pintu utama terbuka dengan ucapan selamat pagi yang menyapa riang.

"Hai, selamat pagi …." Senin melambaikan salah satu tangannya kepada Selasa dan Minggu, senyumannya merekah semangat.

Tadi sepulangnya dari membelikan bubur untuk Selasa dan sarapan pagi untuk Minggu … ia bisa melihat dari luar rumah— yang salah satunya berdinding kaca— jika Selasa dan Minggu sepertinya sedang mengobrol dengan sangat asyik dan pikirnya pasti Selasa sudah mau membuka suaranya yang selama ini tidak dikeluarkan, tapi ia baru sadar jika ….

"Lho, ada apa ini?" tanya Senin yang menjadi panik sendiri saat melihat mata merah Selasa yang tidak menangis menatap tajam Minggu dengan tatapan kemarahan, dan disana Minggu pun terlihat amat berantakan sekali.

"Ada apa, Pak, Sel?" tanya Senin pada keduanya yang sudah diam-diaman. Ia berlari ke arah Selasa, jelas sekali terdengar deruan sesak napas Selasa yang tidak beraturan.

"Sel, tenangkan dirimu." Senin mengelus-ngelus dada Selasa yang naik turun tak terkendali. "Tenanglah, ok," katanya lagi sambil melihat Minggu, ingin mendapat penjelasan dari bosnya itu.

"Oke, aku pergi, Sel," ucap Minggu pada akhirnya mengalah.

Senin terkejut, Selasa menggeram bagai orang kesurupan.

"Tapi … aku tidak akan pergi jauh darimu," lanjut Minggu. "Aku tetap akan mengawasimu selama 24 jam penuh. Terserah kau mau terima atau tidak. Aku akan tetap melakukan apapun yang terbaik untukku. Aku hanya ingin kau cepat pulih." Minggu mengambil jas dan tasnya yang tergeletak di sofa.

"Aku pergi! Jaga dirimu baik-baik," kata Minggu berlalu meninggalkan Selasa.

"Eh … pak Minggu tidak makan dulu, Pak?" tanya Senin yang bingung sendiri akan situasi ini. Sungguh, ia tidak tahu apa yang terjadi antara Selasa dan Minggu.

Minggu sudah melenggang pergi tidak memperdulikan teriakan Senin.

Sebelum ia benar-benar keluar dari pintu utama langkahnya terhenti sejenak untuk melihat keadaan Selasa sekali lagi setelah puas melihat gadis manisnya itu, ia kembali berjalan lagi.

[Kutinggalkan 15 bodyguardku untuk menjaga mansion ini. Jika ada apa-apa dengan Selasa hubungi aku, secepatnya.]

Itu pesan yang dikirimkan Minggu pada Senin.

***

Salam

Galuh