webnovel

RABU DAN SELASA

Happy Reading *** Namanya Rabu Sore Hari, seorang pelukis jalanan yang 'katanya' sangat pemalas, tidak punya gairah hidup sama sekali dan selalu kelaparan. Kelebihannya satu, sangat percaya diri dan cerewet. Note : Kelaparan disini memang si pelukis kita ini malas sekali kalau disuruh makan— kalau sudah benar-benar lapar baru kelabakan ke tempat lukis untuk bekerja. Rabu selalu menyebut tempat itu, Jalan Art Place— dimana semua seniman jalanan yang tak punya profesi tetap berkumpul disitu. … Namanya Selasa Langit Malam, seorang Model Papan Atas Internasional yang 'lagi' mengalami nasib sial. Note : sial disini memang si model cantik kita ini baru saja mengalami kecelakaan serius. Selasa sebelum mengalami kecelakaan, ia selalu bermimpi bisa berjalan di runway— di seluruh perhelatan akbar Fashion Show dunia. Taraaaa … salah satu mimpi itu tercapai namun, bentuk dari kesuksesan mimpinya itu harus dibalas dengan kelumpuhan kakinya. No!! Disaat Selasa kehilangan harapannya, disitulah muncul sebuah harapan baru, yaitu Rabu Sore Hari— pria antah berantah yang super cerewet dan tidak tahu datang darimana dan iya… Itu semua adalah pertemuan yang tidak di sengaja! Iya, semua diawali dengan pertemuan seperti itu. Kalau tidak sengaja, mereka tidak akan bertemu. Yang jadi pertanyaannya… Apakah dibalik pertemuan yang tidak sengaja itu ada perasaan yang spesial diantara keduanya? Jika mereka punya perasaan spesial, apakah mereka bisa menjadi pasangan sempurna dan saling melengkapi? Dan, apakah mereka berdua bisa saling memberi dukungan supaya kehidupan mereka berdua bisa lebih baik lagi? Apakah Rabu bisa berubah menjadi orang yang tidak pemalas dan selalu giat bekerja supaya bisa menjadi Pelukis Profesional yang bisa mengadakan Pameran Tunggalnya sendiri? Apakah Selasa bisa mengembalikan lagi rasa percaya dirinya untuk bisa merasakan kembali kakinya melangkah di runway dengan segala keterbatasannya? Yukk… ikuti kisah receh perjalanan Rabu dan Selasa. Si Pelukis Jalanan yang pemalas dan super cerewet dan Si Model Papan Atas yang kehilangan kepercayaan dirinya. Follow sosial media saya… Instagram : @galuhlinan ... Cover by CANVA *** Salam Galuh

Galuhlinanti · Urbano
Classificações insuficientes
35 Chs

BERDEBAT

3/3/22

Happy Reading

***

Ah, itu pasti Senin.

"Selamat siang, Selasa."

Tuh, kan!

Selasa buru-buru membenarkan posisi kursi rodanya.

"Bagaimana tidurmu semalam?"

Senin membuka pintu kamar. Ia sedikit terkejut saat melihat Selasa yang sudah duduk dikursi rodanya. Tapi, "Ah, iya Selasa kan wanita kuat. Pasti susah sekali duduk disana tanpa bantuan siapapun," ucapnya dalam hati.

Selasa berdehem lirih, melihat keadaan sekitar.

"Gelapnya … hem, oke baiklah," gumamnya tanpa sadar lalu berjalan pelan menuju Selasa yang hanya diam saja disana.

"Pagi-pagi sekali aku mau membangunkanmu untuk jalan-jalan. Tapi, aku tidak tega membangunkanmu, Sel."

Seperti biasanya kamar ini selalu gelap dan sangat suram. Tidak ada lagi canda tawa keceriaan dikamar yang sangat luas ini.

Dan, lihatlah disana, di depan dinding kaca yang tertutup gorden warna coklat— Selasa ada disana, duduk di kursi rodanya seperti mayat hidup.

Senin benar-benar tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukannya untuk membuat Selasa kembali ceria seperti dulu, membuatnya tidak diam saja jika diajak bicara, dan setidaknya Selasa mau menggerakkan badannya walau hanya menggoyang-goyangkan kakinya saja.

Kata dokter, kaki Selasa harus sering digerakkan tapi … hem, bahkan kadang, ia pun tidak diizinkan menyentuh kaki indah Selasa.

"Selasa, aku membawakanmu makan siang," kata Senin sangat bersemangat membawa sebuah nampan berisi satu mangkuk bubur ayam lengkap dengan teh hangat dan air putih. Ia membawanya dengan satu tangan yang ditopang ringan dengan tangan lainnya yang patah tulang.

"Selasa, ini aku yang buat sendiri," ucap Senin dengan bangga. "Aku lihat di Utube tadi. Kalau aku bilang sih, enak, hehe," cengirnya sedikit tidak percaya diri. "Tapi, entah denganmu, semoga saja kau suka iya," lanjutnya, berjalan hati-hati di tengah kegelapan.

Selasa hanya diam saja. "Iyaa, aku akan makan bubur buatanmu untuk yang terakhir kalinya, Sen," ucapnya dalam hati.

Rencana bunuh diri belum lenyap juga dari pikirannya.

Tapi … kalau aku bunuh diri?

Hish!

Apalagi yang kau pikirkan, Sel. Mantapkan hatimu, ok! Kau sudah lumpuh, karirmu sudah hancur, dan kau pembunuh! Tidak ada yang mau menerimamu lagi didunia ini!

"Makan iya, Sel?!"

Selasa sama sekali tidak menggeleng atapun mengangguk. Kedua matanya hanya berkedip-kedip lemah, dan isyarat kedipan itu, sedang merencanakan bunuh diri yang matang.

"Lampunya kunyalakan boleh?" tanya Senin, yang pada akhirnya menyerah berjalan di kegelapan. "Ohh, atau kalau tidak … em, bisa tolong buka gordennya, sedikit saja," kata Senin mengiba.

Selasa tetap menggeleng. Isyarat gelengan kepala itu artinya siapapun tidak boleh membuka gorden itu.

"Astaga, ayolah. Gelap, Sel," rajuknya. "Kalau aku tersandung bagaimana? Terus makanannya jatuh. Sia-sia dong, aku memasak ini dari pagi buta sampai sesiang ini, hem?"

Hem, Selasa menghela napas. Lihat, jiwa pemaksa Senin sudah muncul. Kalau tidak dituruti pasti...

"Selasa Langit Malam yang paling cantik di seluruh dunia…"

Oke, baiklah!

Selasa menunjuk saklar lampu dengan malas.

"Akhirnya." Senin mendesah lega, saat bisa melihat siluet tangan Selasa yang menunjuk saklar lampu. "Terima kasih, cantik."

Pufhhh, selain tidak bisa menolak sifat pemaksa Senin, sebenarnya ia juga penasaran sekarang jam berapa— supaya ia tahu jam berapa saja gadis menyebalkan nan menggemaskan itu akan datang ke kamarnya.

Ctak!!

Lampu menyala ...

Senin hanya menyalakan satu lampu yang otomatis membuat kamar seluas ini jadi terkesan remang-remang.

"Jam 12.45, ok," batin Selasa berkedip sendu saat berhasil melihat jam yang tergantung didinding itu.

Senin langsung berjalan mendekati Selasa yang hanya duduk diam saja. Selasa sama sekali tidak mau merespon apapun yang dikatakan dan ditanyakannya.

"Kumohon, bicaralah sesuatu, hem?" Senin mengiba dalam hatinya.

Selasa bisa melihat bayangan Senin yang terus mendekatinya. "Hah, bisa saja ini pertemuan terakhir kita, Sen. Aku akan bersikap sebaik mungkin padamu," batinnya tertawa pilu.

"Gordennya dibuka sedikit, iya?" Selasa menanyakan sesuatu hal yang mustahil

Selasa menggeleng.

"Cuacanya sangat cerah," kata Senin selalu bersemangat. "Kau tahu, tadi ada banyak burung merpati yang nyasar datang ke danau itu," tunjuknya keluar.

Oh, pantas saja, tadi diluar sana sangat berisik dengan kepakan burung. Ternyata itu penyebabnya.

"Diluar juga hanya ada bodyguardnya Pak Minggu. Tidak ada siapa-siapa selain mereka," lanjut Senin mencoba menyakinkan Selasa.

Dokter selalu menyarankan jika Selasa harus diberi sinar matahari supaya aliran darahnya tidak membeku.

Lihatlah keadaan Selasa sekarang, wajahnya sangat pucat, tatapan matanya kosong, rambut indahnya yang panjang mulai mengusut dan tubuhnya yang dulu sangat ideal dan menjadi idaman banyak wanita mulai mengurus.

Selasa tetap menggeleng, kali ini gelengannya sangat kuat.

Sekali tidak iya, tidak!!

Senin dan Minggu berulang kali mengatakan jika mansionnya ini sudah dijaga ketat oleh beberapa orang suruhan Minggu.

Jumlah mereka ada 15 orang dan mereka semua bertugas menjaga setiap sudut mansionnya supaya tidak ada yang menerobos masuk.

Tapi … tapi? Bukan tidak percaya pada mereka, hanya saja ia belum yakin 100% untuk semua keadaannya ini.

Selasa masih takut!

"Oke, baiklah." Senin mengalah. "Kau makan dulu, iya?"

Selasa diam saja.

"Ayolah." Senin meletakkan nampan itu di atas nakas. Ia menarik kursi roda Selasa supaya berhadapan dengannya dan ia sendiri pun duduk di salah satu kursi. "Kalau kau tidak makan, kau tidak akan gemuk-gemuk," ucapnya mengambil sendok untuk mengaduk bubur itu.

"Minum ini dulu sebelum makan," lanjut Senin meraih obat, dan menyerahkannya pada Selasa. "Ini minumnya," katanya tersenyum tulus, memberikan segelas air putih.

Sambil menunggu Selasa meminum dua butir obat yang diberikannya, Senin mengaduk-aduk bubur ayam itu supaya cepat dingin.

Setelahnya ....

"Ayoo … aaaa." Senin mengarahkan sendok yang sudah terisi bubur kearah mulut Selasa yang menutup rapat. "Aaaaaa … ayolah, nilai masakanku," ucapnya, dengan kedipan mata memohon.

Oke, baiklah! Ini makanan yang akan terakhir ku makan darimu. Setelah itu aku tidak akan merepotkanmu lagi, Sen.

"Aemm ...." Selasa dengan terpaksa menerima suapan bubur ayam itu.

"Enak?" tanya Senin sangat girang saat Selasa mau makan.

Selasa mengangguk— padahal mulutnya tidak merasakan apapun, alias mati rasa. "Hem, maafkan aku, Senin," ucapnya dalam hati.

"Yah, syukurlah. Aku bisa buka restoran bubur ayam setelah ini."

Kudoakan usahamu lancar, Sen.

"Kau pasti sembuh, Sel." Senin mengelus rambut kusut Selasa dengan sayang. "Kau akan baik-baik saja, ok? Kalau kau makan banyak pasti kau akan cepat pulih."

Selasa tetap tidak merespon apapun.

Iyaaa, aku akan sembuh tapi kesembuhku akan terjadi saat aku sudah ada di alam kubur. Dan, kau tidak perlu repot-repot merawatku seperti ini lagi, Senin.

"Semangatlah, hem?" Senin menyuapkan bubur itu lagi. "Jangan menyerah, ok?"

Iyaa, aku tidak akan menyerah untuk bunuh diri. Aku akan mati dengan tenang, Senin.

Tanpa terasa karena terlalu asik menyuapkan bubur itu … tiba-tiba dahi Senin berkerut heran, senyum yang sejak tadi sangat bersemangat mendadak surut saat melihat bubur itu tinggal satu suapan terakhir.

Entah mengapa, perasaannya jadi tidak enak melihat bubur yang sudah mau habis ini.

"Harusnya aku senang karena Selasa mau makan banyak," batin Senin melihat Selasa yang sedang mengunyah sesuatu, mungkin daging ayam. "Tapi, tumben sekali Selasa mau menghabiskan makanannya. Biasanya satu suap pun dia tidak mau makan," batinnya mengangkat satu sendok terakhir, lalu melihat Selasa yang tatapannya tetap kosong seperti itu.

"Aaaaa …." Selasa membuka mulutnya dengan wajah tanpa ekspresi. "I-itu tinggal satu suap, kan?" tanyanya dengan suara patah-patah.

Selasa jadi susah bicara karena terlalu banyak diam selama ini.

Deg!

"Hah?!"

Selasa bicara? Senin benar-benar mengerjap kaget.

"Heuh?" Selasa berpura santai, saat melihat ekspresi Senin yang nano-nano itu.

"I-iya …," ucap Senin kelabakan. "Kau hebat sekali bisa menghabiskan bubur ini," pujinya merasa aneh. "Besok-besok seperti ini, iya?"

"Em, te-terima kasih, Se-Senin. I-ini sangat e-enak."

Hah? Ini benar-benar suara Selasa iya? Senin semakin dibuat terkejut dengan sikap manis Selasa barusan.

"O-obat ku," kata Selasa meminta obatnya.

"E-eh, o-obat, iya?!" Kedua mata Senin berkedip tidak percaya. "Aish, maaf," kata Senin memukul bibirnya sendiri karena jadi ikut-ikutan gagap seperti itu.

Tapi, ini aneh! Tidak biasanya Selasa meminta obatnya lebih dulu, biasanya Selasa harus dipaksa dulu baru mau minum obat.

"Emm." Selasa mengangguk mantap, mengulurkan tangannya.

"Iyaa …," ucap Senin dengan gugup memberikan obat-obat itu untuk Selasa.

Setelahnya .…

"Terima kasih, Senin."

"I-iyaa," jawab Senin kikuk.

Detik berikutnya …

Hening mendadak menyelimuti mereka berdua.

"Ada apa? Kok, diam saja, Sen?" Selasa bertanya duluan karena suasana ini terlalu senyap.

"Kau sudah tidak apa-apa?"

"Aku baik," jawab Selasa tanpa ragu.

"Kau kenapa?"

Salah satu alis Selasa terangkat, heran. "Memang aku kenapa?"

"Jangan memikirkan hal gila apapun, Sel," kata Senin menatap curiga kedua mata Selasa yang kosong itu. Ah, andai saja ia dulu jadi kuliah di jurusan Psikologi— mungkin ia bisa membaca pikiran Selasa saat ini.

"Hal gila?"

"Ya."

"Contohnya?" Selasa balik bertanya.

"Bunuh diri, misalnya?"

Deg!

Bagaimana Senin bisa tahu? Memangnya gerak geriknya terlihat iya?

Selasa tertawa samar. "Kau yang gila, Sen."

Eh?! Diseperti itukan oleh Selasa justru membuatnya semakin curiga dengan sikap sahabatnya ini.

"Iyaa." Senin menjawab asal. Tidak mau memikirkan yang tidak-tidak. "Aku memang gila, dan kau tahu semua kegilaanku," ucapnya tetap mengamati mimik wajah Selasa.

Selasa tersenyum. "O-iya, jika aku tidak bunuh diri, apa yang harus aku lakukan sekarang, Sen?"

"Heuh?" Dahi Senin mengernyit bingung.

Tuh, kan! Perasaan jelek ini, ah, jangan sampai Selasa benar-benar memikirkan hal itu.

Kalau saja keadaannya tidak seperti ini, ia akan dengan bebas menjawab pertanyaan Selasa dengan gurauan.

"Jawab, dong?" Selasa terkikih. "Apa yang harus kulakukan, hem?"

"Sudah kubilang berulang kali, tidak perlu melakukan apapun, ok!" tegas Senin.

"Memikirkannya juga tidak boleh?

Senin lagi-lagi menggeleng tegas. "Jangan memikirkan apapun! Fokus saja dengan kesehatanmu. Sehat itu lebih baik, ok?!"

"Aku sehat, Sen. Lihat aku." Selasa tertawa. "Bagian mana saja dari diriku yang tidak sehat? Coba sebutkan?"

Senin menghela napas panjang, walau sakit tetap saja kalau urusan debat mendebat Selasa memang juaranya.

"Iyahh, kau memang sehat, Sel. Tapi—"

"Apa?" Selasa memotong ucapan Senin dengan cepat.

"Astaga, sudahlah!" Senin menggaruk kepalanya yang tidak gatal, ia tidak sengaja menaikan nada suaranya tadi, setelahnya, "Maaf, huh."

Selasa hanya tertawa melihat ekspresi wajah Senin yang frustrasi itu.

"Diamlah!" Senin meraih tangan Selasa yang saling tertaut satu sama lain.

"Diam?" Selasa berpura mengerucutkan bibirnya.

"Iyaa … jangan lakukan apapun, jangan pikirkan apapun, ok," katanya meremas tangan Selasa. "Yang perlu kau lakukan hanya makan yang banyak, minum obat yang teratur, olahraga yang rutin, kau harus sering berjemur, dan setelahnya kita ikuti saran dokter."

Selasa tetap diam saja namun hatinya yang menangis.

"Terapi … kita lanjutkan terapi itu, bagaimana?"

Selasa mengurai genggaman erat tangan Senin. Ia memundurkan kursi rodanya sejauh mungkin dari Senin.

"Ayolah, jangan seperti ini, Sel," ucap Senin berdiri dari duduknya. Ia jadi ikut frustrasi memikirkan keadaan Selasa, ditambah Selasa memiliki sifat keras kepala yang sangat sulit dibantah.

"Hari ini kau ada jadwal terapi," kata Senin.

Yah, ahli terapi kaki selama dua minggu terakhir ini sebenarnya selalu datang untuk mengobati kaki Selasa. Tapi, Selasa selalu menolak pengobatan itu dan berteriak histeris saat akan mulai pengobatannya.

Pak Minggu juga selalu datang untuk memantau keadaan Selasa tapi … sekali lagi, Pak Minggu dan ahli terapi itu selalu diusir dengan kasar dan Selasa mengancam untuk bunuh diri, dan ancaman bunuh diri itu selalu berhasil membuat mereka pergi.

"Percuma buang-buang uang saja," kata Selasa, mendengus kesal.

"Tidak buang uang sama sekali!!" Senin pada akhirnya berteriak. "Ini semua demi kesehatanmu, Sel!!"

"Hahaha," Selasa tertawa sinis. "Sudah jelas aku tidak bisa jalan, dan kalian selalu memaksaku untuk melakukan ini itu."

"Selasa, ayolah, Sel," ucap Senin memohon dengan sangat. Bagaimana lagi menyakinkan Selasa?

"Oke, dengan terapi aku bisa jalan lagi, tidak?" tanya Selasa. Kali ini, rencana bunuh dirinya bukan ancaman lagi. Ia akan melakukannya sungguhan.

Senin mengangguk mantap. "Pasti, Selasa. Pasti," jawab Senin sangat bersemangat. "Kau akan bisa berjalan lagi di atas runway. Kau akan bisa menghadiri perhelatan fashion week di seluruh dunia dan—"

"Kalau tidak?"

Senin langsung terdiam.

"Kalau tidak?" Selasa mengulangi pertanyaannya sekali lagi. Ia menatap mata sahabatnya itu penuh keseriusan.

"Apa, Senin? Apa, hem? Apa!" teriaknya. "Aku lumpuh! Dengar apa kata dokter? Aku tidak akan bisa jalan lagi! Percuma!!"

Mata indah Selasa mulai berlapis kaca. Pegangan kursi roda yang tidak bersalah pun ia pukul-pukul dengan kedua tangannya.

"Jangan membuatku menjadi orang bodoh!! Terapi tidak ada gunanya, Senin! Tidak ada!! Aku akan tetap lumpuh! Lumpuh! Selamanya!! Kau tahu itu kan? Jangan memberikan harapan palsu padaku, Sen!!"

"Tidak … tidak." Senin menggeleng. "Kita belum mencobanya, kan?" Ia berjalan mendekati Selasa dengan hati-hati.

"Tidak akan berhasil," ucap Selasa berpasrah diri. "Aku tahu itu tidak akan berhasil!"

"Pasti berhasil. Percayalah, hem?"

Selasa menggeleng lelah. "Kau pergilah! Aku sudah tidak membutuhkanmu lagi."

Deg!

"Aku akan bersamamu selamanya." Senin berjalan mendekati Selasa. "Jangan bicara seperti itu," katanya lagi, sudah berdiri didepan Selasa.

"Tidak, Senin." Selasa menyerah. "Jangan sia-siakan masa depanmu hanya untuk merawatku. Kau ingin jadi profesional make up artis, kan? Silahkan, kejar mimpimu itu. Aku membebaskanmu."

"Selasa!!" Senin berteriak tidak terima. "Oke, ini tidak akan sia-sia jika kau mau menuruti apa kata dokter."

Selasa mendongak, menatap benci mata Senin.

"Keluar, Sen!"

Alih-alih menuruti perintah Selasa, Senin justru meraih kepala Selasa— ia membenamkan kepala itu keperutnya.

"Oke, tenanglah," ucap Senin yang tidak mau berdebat lagi dengan Selasa. "Maafkan aku, hem?"

Selasa berusaha mendorong Senin yang memeluknya dsngan sangat erat.

"Aku lelah diseperti inikan terus menerus, Sen. Aku sangat lelah. Aku tidak mau menjadi beban kalian selamanya. Kenapa kalian tetap membiarkanku hidup? Kenapa kalian selalu memberikan harapan-harapan palsu itu padaku?"

"Sst … iya, iya, sudah iya." Senin mempuk-puk punggung Selasa penuh kasih sayang. "Tenanglah. Semua akan baik-baik saja, ok. Maafkan aku."

Senin berusaha keras untuk membuat Selasa tidak meronta dalam pelukannya.

"Semua akan baik-baik saja."

Hanya itu yang bisa Senin katakan berulang kali.

Dan, disana diambang pintu … Minggu ternyata sudah datang. Seperti yang sudah-sudah, ia datang dengan ahli terapi kaki Selasa.

Tapi ... belum juga dibujuk untuk melakukan terapi, lagi-lagi ia sudah mendapat penolakan.

Hem, oke baiklah!

***

Salam

Galuh

Terima kasih yang sudah baca sampai bab ini ... :)

Galuhlinanticreators' thoughts