webnovel

RABU DAN SELASA

Happy Reading *** Namanya Rabu Sore Hari, seorang pelukis jalanan yang 'katanya' sangat pemalas, tidak punya gairah hidup sama sekali dan selalu kelaparan. Kelebihannya satu, sangat percaya diri dan cerewet. Note : Kelaparan disini memang si pelukis kita ini malas sekali kalau disuruh makan— kalau sudah benar-benar lapar baru kelabakan ke tempat lukis untuk bekerja. Rabu selalu menyebut tempat itu, Jalan Art Place— dimana semua seniman jalanan yang tak punya profesi tetap berkumpul disitu. … Namanya Selasa Langit Malam, seorang Model Papan Atas Internasional yang 'lagi' mengalami nasib sial. Note : sial disini memang si model cantik kita ini baru saja mengalami kecelakaan serius. Selasa sebelum mengalami kecelakaan, ia selalu bermimpi bisa berjalan di runway— di seluruh perhelatan akbar Fashion Show dunia. Taraaaa … salah satu mimpi itu tercapai namun, bentuk dari kesuksesan mimpinya itu harus dibalas dengan kelumpuhan kakinya. No!! Disaat Selasa kehilangan harapannya, disitulah muncul sebuah harapan baru, yaitu Rabu Sore Hari— pria antah berantah yang super cerewet dan tidak tahu datang darimana dan iya… Itu semua adalah pertemuan yang tidak di sengaja! Iya, semua diawali dengan pertemuan seperti itu. Kalau tidak sengaja, mereka tidak akan bertemu. Yang jadi pertanyaannya… Apakah dibalik pertemuan yang tidak sengaja itu ada perasaan yang spesial diantara keduanya? Jika mereka punya perasaan spesial, apakah mereka bisa menjadi pasangan sempurna dan saling melengkapi? Dan, apakah mereka berdua bisa saling memberi dukungan supaya kehidupan mereka berdua bisa lebih baik lagi? Apakah Rabu bisa berubah menjadi orang yang tidak pemalas dan selalu giat bekerja supaya bisa menjadi Pelukis Profesional yang bisa mengadakan Pameran Tunggalnya sendiri? Apakah Selasa bisa mengembalikan lagi rasa percaya dirinya untuk bisa merasakan kembali kakinya melangkah di runway dengan segala keterbatasannya? Yukk… ikuti kisah receh perjalanan Rabu dan Selasa. Si Pelukis Jalanan yang pemalas dan super cerewet dan Si Model Papan Atas yang kehilangan kepercayaan dirinya. Follow sosial media saya… Instagram : @galuhlinan ... Cover by CANVA *** Salam Galuh

Galuhlinanti · Urbano
Classificações insuficientes
35 Chs

Bab 36

22/5/22

Happy Reading

***

Selasa dengan ragu-ragu mencoba mengusap tombol panggilan, setelah tersambung ia mendekatkan ponsel Rabu ke telinganya dan …

"Hallo, Rabu!! Wahhh ... akhirnya kau mau—"

Tek!

Selasa langsung mematikan teleponnya.

Hah, apa-apaan ini? Ternyata itu benar-benar suara Jum'at, ya?

Bagaimana mungkin mereka berdua bisa saling kenal satu sama lain? 

Disaat Selasa sedang berkutat dengan berbagai pertanyaan yang tidak ada jawabannya, tiba-tiba saja ada beberapa chat masuk dan itu dari Jum'at. 

[Aku sangat senang kau mau mengangkat teleponku, Rabu.]

[Tapi kenapa langsung dimatikan?]

[Semalam aku datang. Kenapa kau tidak mau membukakan pintu untukku?]

[Kau sudah membaca pesanku.]

[Setidaknya balas pesanku, Rabu.] Ada emoticon orang menangis sedih disana.

Eh?

Heuh, semalam Jum'at datang kemari?

Selasa melihat Rabu. Matanya berkedip bingung melihat wajah Rabu yang benar-benar sangat tenang saat tidur, dan untuk sejenak otak cantiknya itu tidak bisa diajak untuk berpikir akan situasi yang membingungkan ini. 

Selasa yang penasaran jadi melihat riwayat pesan chat Jum'at yang ditujukan untuk Rabu— yang ternyata tidak pernah dibalas oleh Rabu.

Riwayat chat ini ada sejak satu tahun yang lalu.

"Hah?" Selasa sampai pusing sendiri melihat banyaknya chat yang dikirimkan Jum'at untuk Rabu dan satu pun tidak ada yang dibalas oleh Rabu.

Heuh, ada apa ini? Kenapa Rabu cuek sekali pada Jum'at? Padahal isi chatnya romantis-romantis, kok. 

Ini cinta bertepuk sebelah tangan atau bagaimana, sih? Kok, sepertinya Jum'at agresif sekali jadi cewek. "Aku tahu kau suka pada Rabu, tapi … tapi, setidaknya sebagai wanita kau agak jual mahal dikit bisa, kan, Jum'at. Kau itu model papan atas, sedangkan Rabu itu hanya pelukis jalanan. Astaga! Sampai segitunya, kau mengejar Rabu." Ia sampai gregetan sendiri membaca chat Jum'at.

"Kalau kau tahu aku ada disebelahnya sekarang. Apa yang akan kau lakukan padaku, hah?" Selasa hanya bisa tertawa geli saat membaca satu persatu chat Jum'at yang … eum, hampir setiap hari dikirim. 

[Hei, Rabu. Apa yang sedang kau lakukan sekarang?]

[Kau sudah makan? Aku baru saja selesai syuting, Rabu.]

[Aku sangat merindukanmu.]

[Eh, Rabu hari ini sudah lihat berita belum?]

[Hari ini aku akan pergi ke Paris Fashion Week menggantikan salah satu model yang sedang bermasalah itu. Kau tahu kasusnya, kan? Huh, dia sangat merepotkanku, Rabu.]

"Ini pasti aku," gumam Selasa memanyunkan bibirnya. "Iyaa, aku memang sangat merepotkan!!"

Selasa kembali membaca chat Jum'at.

[Rabu, bisa kita bertemu? Aku ingin melihatmu.]

[Aku tadi ke Distrik A dan ke Art Place, Sabtu bilang hari ini kau tidak datang. Ada apa? Kau sakit?]

[Kau sudah makan? Mau makan malam bersamaku?]

[Kau dimana?]

[Hari ini aku tidak ada jadwal. Aku membuatkan makanan kesukaanmu. Boleh aku ke flatmu?]

[Rabu hari ini aku sangat lelah. Boleh aku menginap di tempatmu? Aku baru selesai pemotretan. Boleh, ya?]

[Aku sedang diperjalanan.]

[Tunggu aku.]

[Aku ada didepan, Rabu.]

Selasa menempelkan ponsel Rabu di dadanya yang berdebar sangat kencang.

Riwayat chat terakhir Jum'at adalah tadi malam, pukul dua malam.

[Kau dimana? Aku sudah ada didepan flatmu. Aku ingin melihatmu, sekali saja. Buka pintunya, Rabu.]

[Kalau tidak aku akan berteriak!]

Ohh, jadi Jum'at benar-benar datang kemari, ya?

Selasa masih menscroll chat Jum'at. Ternyata Jum'at pun mengirimkan dua buah foto untuk Rabu.

Selasa memperhatikan dengan detail foto Jum'at yang sepertinya, "Kau mabuk, ya?" gumamnya dengan sangat lirih. "Kenapa kau berpakaian seseksi ini, Jum'at? Kalau ada orang jahat yang melecehkanmu bagaimana? Kau kemari bersama managermu, kan?" Ia sangat iba dengan Jum'at yang terlihat sangat berantakan itu. "Rabu tidak akan membalas chatmu. Semalam dia tidak tidur, ada banyak lukisan yang harus diselesaikannya semalam," gumamnya semakin merasa kasihan.

"Ahh, iyaa!!" Selasa menepuk dahinya sekali. Semalam karena terlalu lelah, ia sampai tidak mendengar apa-apapun. Mungkin saja semalam Jum'at mengetuk pintu, tapi Rabu tidak mau membukakan pintunya.

Huh, dasar pria aneh!

Selasa jadi memanyunkan bibirnya. "Jum'at itu wanita yang sangat cantik Rabu. Dia supermodel papan atas. Kenapa kau tidak menyukainya, hem? Paling tidak balas pesannya atau sesekali angkat teleponnya. Kau ini!! Dasar pelukis menyebalkan." Ingin rasanya, ia menyentil dahi Rabu. 

"Dasar cowok belagu!!" Selasa gemas sendiri melihat lubang hidung Rabu yang mekar-mekar. Ingin rasanya ia menutup dua lubang hidung Rabu supaya tidak bisa bernapas.

"Lihat saja, aku akan tanyakan ini padamu nanti." 

Entah kenapa Selasa jadi emosi sendiri. Walau satu agensi dan tidak terlalu dekat dengan Jum'at— hanya sebatas kenal saja— tapi tetap saja, biar bagaimanapun Jum'at juga seorang wanita, kan!

Patut dihargai!

"Dasar, Rabu!!"

*

*

*

Pukul setengah sebelas lewat sepuluh menit.

"Hah!! Harusnya dulu dibuat lift saja." Rabu menggerutu sepanjang jalan menuruni anak tangga. Napasnya lumayan bersengalan karena menggendong Selasa di belakangnya.

"Katanya aku tidak berat," ucap Selasa tak kalah bersuara dibelakang Rabu. Kedua tangannya berpegangan kuat di pundak Rabu.

"Memang tidak berat, sih. Tapi kau terlalu kaku, Sel. Jadi seperti tambah beban. Bisa santai saja tidak? Supaya aku tidak canggung menggendongmu, lagian badanmu itu kurus. Tidak ada empuk-empuknya."

Plak!

"Auhh!" Rabu hanya bisa meringis saat bahunya dipukul gemas oleh Selasa.

"Hish, kau ini!" Selasa jadi melingkarkan tangannya dileher Rabu. Ia mencoba serileks mungkin dalam gendongan Rabu. "Lagian kita baru kenal. Tidak mungkin kan aku nempel-nempel padamu seperti ini. Aku takut kau tidak nyaman."

"Hahahah!" Rabu malah tertawa. "Sudah kubilang, bagian depanmu sama sekali tidak empuk … jadi, iya santai saja padaku."

Selasa hanya bisa mengerucutkan bibirnya. Ia meletakkan dagunya di bahu Rabu dengan malas. "Dikit lagi, tuh!"

"Yaaa …." Rabu sedikit mempercepat langkahnya, setelah sampai …

"Okeee." Ia mendudukkan Selasa pada kursi rodanya. "Sudah nyaman nonaku?"

"Thank you." 

Entah kenapa Rabu sama sekali tidak keberatan mendorong kirsi roda Selasa hingga keluar flat.

.

.

.

Mereka langsung menuju stasiun.

Dan, dalam perjalanan menuju stasiun Rabu membelikan beberapa makanan untuk Selasa.

"Sangu dikereta," kata Rabu saat meletakkan satu paper bag berisi satu buah hamburger dan sandwich berisi buah-buah beserta minumannya di pangkuan Selasa. 

"Memangnya aku anak kecil, hah!"

Rabu hanya tersenyum. "Pulang dari galeri kita makan siang setelah itu kita membeli perlengkapan, ok?!"

Selasa mengangguk. "Terima kasih sudah meminjamkanku pakianmu."

"Tidak gratis."

"Ya, aku tahu."

"Hem ... eh, Sel.'

"Ya?!"

"Kalau tidak ada kau biasanya aku akan memakan makanan seadanya," kata Rabu. Kalau dipikir-pikir, biasanya jam segini ia belum makan karena tidak punya uang membeli makanan atau paling tidak ia akan memakan sisa nasi kemarin dicampur kecap karena sangking malasnya keluar— kalau sudah begadang semalam biasanya ia akan memilih tidur daripada pergi.

Hem!

"Maksudnya?" tanya Selasa yang berkedip bingung.

"Tidak ada maksud apa-apa," kata Rabu yang menahan tawanya melihat wajah Selasa yang ditekuk seperti itu.

"Kau ini, ya …."

Sepanjang perjalan menuju stasiun, mereka berdua tidak ada hentinya mendebatkan sesuatu yang tidak penting. Ada saja pembahasannya, sampai mereka sudah didalam kereta pun masih mempersoalkan … pantat itu sebenarnya ada dua atau satu!

"Hemm!" Rabu mendesah. Lelah juga berdebat dengan Selasa. Apalagi mereka sudah jadi tontonan seperti ini. "Kau makanlah," ucapnya, menarik kursi roda Selasa untuk dekat dengannya— supaya tidak menghalangi orang lewat.

"Eh, Sel?"

"Hemm?" Selasa baru saja akan memakan hamburger yang diberikan Rabu.

"Kantor polisi, yuk?!" Rabu cengar-cengir tanpa dosa.

Selasa mengerucutkan bibirnya. Baru saja diam, ehh, udah ngajak ribut lagi!!

"Kita turun di stasiun berikutnya bagaimana?"

***

Salam

Galuh