'Audzubillahi minasyaithoonirrajiim.'
Bacaan taawuz disusul dengan basmalah yang begitu merdu nyaris membuat Syifa menghentikan langkahnya, tepatnya di depan halaman masjid. Perempuan itu sedikit mengintip dari arah pintu masjid yang terbuka. Di shaf barisan para ikhwan, di sana rupanya ada seorang lelaki yang tengah melantunkan bacaan ayat suci Al-Qur'an.
Lantunan demi lantunan terdengar di telinga Syifa. Seperti halnya kemarin pada saat mendengar lantunan yang dibacakan Kiai Faizan, kali ini hati Syifa turut bergetar ketika mendengarkan.
"Merdu sekali bacaannya." Syifa bermonolog seorang diri. Posisi lelaki itu yang tengah membelakanginya, membuat Syifa tidak bisa mengenali siapa gerangan.
Bergegas, Syifa terlebih dahulu melepas sandal dan merapikan sejenak pashminanya. Dia kemudian melangkah dengan penuh kehati-hatian masuk ke dalam masjid.
Tanpa mengeluarkan suara atau sepatah kata, Syifa langsung duduk dengan sopan di belakang lelaki yang masih terus saja melanjutkan bacaan Al-Qur'an. Nada dan iramanya begitu pas hingga membuat Syifa semakin hanyut dalam ketenangan.
Tepat pada penutup bacaan Al-Qur'an, Syifa bergegas bangkit dengan niatan mau keluar, tetapi ucapan salam dari lelaki itu nyaris mengurungkan niatnya.
"Assalamu'alaikum."
Syifa memejam erat sejenak. Dia merutuki dirinya dalam hati. 'Kenapa bisa ketahuan, sih,' batinnya.
"Wa--waalaikumussalam." Syifa menjawab. Bersamaan dengan Syifa yang kembali membalikkan tubuhnya, dia terkejut ketika baru menyadari lelaki yang tadi membaca ayat suci Al-Qur-an adalah Gus Arfan. Lelaki itu tersenyum kepada Syifa.
"M--maaf, Gus. Saya mengganggu." Syifa gugup.
Gus Arfan menggeleng, pelan. Dia terlebih dahulu mencium mushaf Al-Qur'an berukuran minimalis itu, kemudian beranjak seraya meletakkannya di rak Al-Qur'an yang tengah disediakan.
"Tidak ada yang merasa terganggu. Ada keperluan apa, Asyifa?" tanya Gus Arfan. Dia berdiri di hadapan Syifa. Meski begitu, tentu Gus Arfan tetap menjaga jarak dan pandangannya.
Syifa menggaruk jidatnya yang sama sekali tidak gatal.
"E--eng. S--saya ... tadi tidak sengaja mendengar orang mengaji di masjid."
Gus Arfan mengernyit. "Lalu?"
"Lantunannya yang begitu merdu, membuat langkah saya spontan terhenti. Alhasil ... saya nekat masuk ke dalam agar bisa lebih jelas mendengarkan lantunannya." Syifa menunduk seraya memainkan jemari lentiknya.
"Maafkan saya," sambung Syifa.
Gus Arfan terkekeh. Dia sejenak menghela napas, pelan. "Kamu ini ada-ada saja. Kenapa juga harus minta maaf?"
"Karena saya sudah lancang masuk ke sini."
Ke sekian kalinya Gus Arfan terkekeh mendengar respon Syifa. "Ini masjid, rumah Allah, siapa pun boleh masuk ke sini. Termasuk kamu."
Syifa bergeming, tidak menyahuti perkataan Gus Arfan. Perempuan itu malah memperhatikan pergerakan Gus Arfan yang tengah melipat sajadah seraya menyandangkan di pundak sebelah kirinya.
"Gus Arfan, habis salat apa jam segini?" Syifa bertanya sembari mengernyit ketika selesai melihat lelaki itu tengah menyandangkan sajadah.
Gus Arfan sejenak mengikuti arah pandang Syifa di pundaknya. Lelaki itu kemudian tersenyum simpul. "Duha, Asyifa," jawabnya. "Asyifa juga mau menunaikan salat duha?" tanya Gus Arfan.
Syifa menggeleng, pelan. Dia bahkan sendiri belum mengetahui apa itu salat Duha dan bagaimana tata cara melakukannya.
"Saya tidak tahu apa itu salat duha. Gus Arfan mau menjelaskan?" sahut Syifa.
Ke sekian kalinya Gus Arfan tersenyum simpul. Dia mengangguk, pelan. "Salat Duha ialah salat yang dikerjakan pada waktu matahari sedang naik. Jumlah rakaat dalam salat ini ; sekurang-kurangnya dua rakaat, boleh empat rakaat, enam rakaat, atau juga delapan rakaat."
Syifa terdiam sejenak. Mencoba mencerna dan memahami setiap penjelasan yang baru saja dijelaskan Gus Arfan.
"Memang harus banget melakukannya?" tanya Syifa dengan polos.
Gus Arfan menggeleng. "Tidak ada kewajiban, tetapi ada anjuran untuk melakukan. Salat Duha ini hukumnya sunah, tidak wajib. Jadi, apabila dikerjakan, maka hal itu insyaa Allah akan bernilai pahala, sedang apabila tidak dikerjakan, maka tidak akan mendapatkan dosa atau tidak mendapat nilai apa-apa."
Syifa ber-oh ria. Setidaknya dengan ini dia bisa sedikit tahu perihal hal yang selama ini belum diketahuinya. Memang Syifa akui, selama di pesantren, Syifa belum sepenuhnya bisa beradaptasi dengan lingkungan ini. Mengerjakan kewajiban saja Syifa masih ogah-ogahan.
"Memang apa manfaatnya, Gus?" Syifa bertanya lagi. Pasalnya, dari yang Syifa ketahui ketika dia turut mengikuti kegiatan pembelajaran di pesantren ini, katanya segala yang diperintahkan Allah pasti insyaa Allah akan ada manfaatnya, begitu juga sebaliknya.
"Dari HR. Turmudzi, Rasulullah SAW bersabda ; siapa saja saja yang mengerjakan salat Duha dengan langgeng, maka akan diampuni dosanya oleh Allah, sekalipun dosa itu sebanyak busa di lautan."
Syifa terpaku mendengar jawaban Gus Arfan. Perempuan itu turut membayangkan perumpaan busa di lautan yang ada dalam hadis tersebut. Bahkan hal itu membuat ingatannya perihal banyak sekali dosa di masa silam kembali terngiang, bersamaan dengan wejangan Kiai Faizan kemarin yang mengatakan bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
"Allah baik banget." Spontan kalimat itu keluar dari mulut Syifa.
Gus Arfan mengangguk seraya membenarkan ucapan Syifa.
"Gus. Syifa mendadak ingin sekali belajar lebih dalam tentang agama islam."
"Wah, masyaa Allah. Bagus, sekali." Gus Arfan menyahuti dengan raut bahagia.
"Tapi, Gus ...." Syifa menggantungkan kalimatnya. Dia menunduk.
Gus Arfan mengernyit. "Tapi? Apa yang membuatmu ragu, Asyifa?"
Perempuan yang ditanya itu perlahan mendongak. "Apakah saya masih berpeluang untuk belajar agama? Sedang saya sangat bodoh dan hanya sedikit mengerti tentang itu semua."
Memang, apa yang dilontarkan Syifa benar adanya. Sejak dia bisa melihat dunia dan sudah berada di panti asuhan, di sana hanya diajarkan kewajiban dalam agama Islam ; salah satunya adalah perihal adanya rukun islam serta rukun iman. Hanya pembelajaran dasar yang Syifa ketahui dari bekal semenjak dia berada di panti.
"Laa Asyifa. Tidak ada kata terlambat dalam menuntut ilmu. Usia tua, muda, anak kecil, orang dewasa, semuanya itu ada peluang dalam belajar. Bukankah agama sudah menegaskan bahwa menuntut ilmu itu wajib bagi orang muslim atau muslimah? Bahkan, ada juga pepatah yang berkata menuntut ilmu sampai di negeri china. Kebayang tidak itu jauhnya?"
Syifa mengangguk. Tentu sangat kebayang bagaimana jauhnya negeri Indonesia yang Syifa tinggali menuju ke negeri China seperti apa yang dikatakan Gus Arfan tadi.
"Jadi kembali lagi ke kalimat awal, Asyifa. Tidak ada kata terlambat."
"Tapi, Gus. Tentu saya akan sangat kesusahan jika belajar dari awal. Bukankah seperti pisau tajam yang ketika tidak pernah digunakan, maka tentu perlahan akan tumpul? Begitu juga saya. Saya sudah sangat lama sekali tidak belajar tentang agama, pasti saya akan susah menerima pelajaran tersebut."
Kesekian kalinya Gus Arfan tersenyum. "Asyifa, di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan. Dan perihal pisau yang kamu katakan tadi, maka, kita harus bisa terus mengasahnya agar pisau itu kembali tajam. Bahkan, kalau bisa harus lebih tajam dari sebelumnya."
Syifa terdiam dengan menatap Gus Arfan.
"Tetap semangat. Allah mengetahui segala niat dan usaha hamba-Nya," sambung lelaki itu. Dia kemudian berpamitan kepada Syifa seraya beranjak keluar dari masjid. Sedang Syifa, pandangannya tidak teralihkan ke mana saja, dia terus saja menatap kepergian Gus Arfan yang semakin lama semakin menjauh dari jangkauan.