Ba'da Isya', seperti rutinitas kegiatan yang biasa dijadwalkan, malam ini para santri berhamburan menuju tingkatan kelas diniyah mereka masing-masing. Tentu kelas diniyah para santriwan dan santriwati terpisah.
Syifa yang termasuk santriwati baru pun mengikuti langkah para santriwati tingkatan kelas Al-Awwalu, atau yang artinya kelas awal. Kelas tingkatan paling bawah.
Selang beberapa menit, Kiai Faizan sudah memasuki kelas Al-Awwalu diiringi dengan ucapan salam. Sang Kiai terlebih dahulu mengajak para santriwati yang ada di dalam kelas untuk membaca doa sebelum mulai belajar, setelah itu, nadhoman Alfiyah mulai kompak dilantunkan.
Syifa sengaja menempati duduk paling ujung di belakang. Dia bahkan hanya mendengarkan saja lantunan demi lantunan yang terdengar di telinga. Meski lantunan nadhoman itu masih terdengar asing, tetapi nadanya begitu membuat Syifa hanyut dalam kesejukan.
Ting!
Di sela-sela menikmati lantunan nadhom Alfiyah, notifikasi di ponsel Syifa sontak membuat perempuan itu berdecak pelan. Syifa sejenak melirik ponselnya yang sengaja dia taruh di meja. Di layar utama sana, didapatinya nama Albert tengah mengirimkan Syifa sebuah pesan.
Syifa mengernyit. Di benaknya memunculkan tanya perihal ada keperluan apa lelaki itu menghubunginya lagi? Secara, kemarin Syifa sudah menemui Albert dan menyelesaikan masalahnya saat itu juga.
Sejenak, Syifa melihat ke arah Kiai Faizan yang masih sibuk membimbing para santriwati untuk melantunkan nadhom Alfiyah di bait selanjutnya. Bait target hafalan.
"Ada apa lagi, sih?" Syifa bergumam seraya kembali menatap ponselnya. Kedua tangannya dengan ragu-ragu terulur mengambil alih ponsel itu. Kedua jari jempolnya mulai bekerja sama membuka pola ponsel dan memasuki room chat-nya dengan Albert.
[Pilih salah satu di antara dua pilihan, Syifa. Kamu mau Cyntia yang menjadi korban? Atau kamu menemui saya sekarang?]
Syifa mengernyit. Dia tidak mengerti apa arti pesan yang dikirimkan Albert saat ini.
Bergegas, Syifa mulai mengetik balasan untuk Albert.
[Apa maksudmu? Bukankah, sudah saya katakan, jangan bawa-bawa orang terdekat saya dalam urusan kita! Lagipula, bukankah kemarin saya sudah menyelesaikan masalah denganmu? Uang bookingan itu juga sudah saya kembalikan, bukan?]
Send.
Setelah balasan itu terkirim, jari telunjuk kanan Syifa mulai mengetuk-ngetuk meja. Dia mengginggit bibir bawahnya sembari menanti balasan yang akan dikirimkan Albert nanti.
[CK! Kamu pikir semudah itu menyelesaikan masalah dengan saya?]
Ke sekian kalinya Syifa mengernyit. Dia merutuki kebodohannya karena bisa-bisanya Syifa harus mengenal seorang Albert. Lelaki yang rupanya hanya menambah masalah di kehidupannya. Kalau saja Syifa bisa memutar waktu, maka Syifa tidak akan mau mengenal seorang lelaki sialan itu.
[Apa maumu, Albert?!] Syifa sudah kehilangan kesabaran sekarang.
[Wow, kamu bertanya apa mau saya? Bukankah kamu sudah mengetahui, kalau saya mau kamu! Saya sangat merindukanmu, Syifa.]
Syifa terdiam, belum mengetik balasan. Lelaki ini lama-lama semakin tidak waras.
[Jangan buat saya murka! Temui saya saat ini! Jika tidak, maka saya akan melakukan hal yang tidak kamu inginkan! Kamu pikir, saya sedang main-main sama ucapan saya?]
[Atau ... kamu perlu bukti?]
Dua deret pesan dari Albert kembali terpampang di room chat sana. Baru saja Syifa mau menggerakan jari guna untuk mengetik balasan, tetapi Albert sudah terlebih dahulu mengirimkan sebuah gambar.
Niat Syifa untuk mengetik balasan kini teralihkan dengan mengunduh gambar yang dikirimkan Albert.
"Astaga!" Syifa terbelalak sembari menutup mulut dengan tangan kanannya.
Dalam gambar yang dikirim Albert itu, menampilkan Cyntia tengah berada di sebuah gudang dengan ikatan kedua tangan serta kedua kakinya. Bahkan, mulut perempuan itu juga turut dibungkam.
Syifa menggeleng berulang kali. Dia benar-benar tidak bisa memahami jalan pikiran Albert saat ini. Lelaki itu semakin menggila.
Detik berikutnya, Albert mengirimkan sebuah share lokasi keberadaan dirinya sekarang. Syifa segera membuka lokasi itu. Dia mengumpat dalam hati. Lokasi itu sangat jauh dengan pesantren yang dia tepati saat ini.
Ting!
Kembali lagi ponsel Syifa berbunyi. Kedua mata perempuan itu langsung mengarah ke atas layar ponselnya yang tengah memunculkan pesan yang baru saja Albert kirimkan.
[Waktumu tidak banyak, Syifa. Jika dalam pukul sembilan malam kamu belum menemui saya, maka segera ucapkan selamat tinggal kepada sahabatmu tercinta!]
***
Di lain posisi, Albert tersenyum licik mendapati centang dua biru di room chatnya dengan Syifa. Bahkan, terhitung sudah dua menit lamanya, perempuan itu tidak kunjung mengirimkan balasan untuk Albert.
Albert menyeringai kali ini. Dia bisa memastikan kalau saat ini Syifa pasti sedang panik dan beranjak menuju lokasi yang sudah dikirimkan Albert tadi.
"Saya akan mendapatkanmu lagi, Syifa." Albert berujar penuh kemenangan. Dia kemudian kembali memasukkan ponsel di saku celana. Kali ini tatapannya mengarah kepada Cyntia yang masih terus saja meronta. Bahkan, sorot mata perempuan itu menatap tajam ke arah Albert.
Senyuman penuh kemenangan masih terukir jelas di wajah Albert. Lelaki itu kemudian beranjak mendekat ke arah Cyntia yang tengah duduk di kursi dengan ikatan kuat di kedua tangan serta kakinya.
Albert berjongkok, berusaha menyeimbangkan posisinya dengan Cyntia.
"Tenanglah, Cyntia. Sebentar lagi Syifa akan ke mari menyelamatkanmu," ujar lelaki itu dengan memegang dagu Cyntia.
Cyntia semakin meronta. Dia masih terus menatap tajam Albert. Dari pergerakan mulutnya yang tertutup lakban, ketara jelas kalau perempuan itu sedang berusaha mengeluarkan suara.
"Kasihan sekali." Albert terkekeh kemudian melepas dengan kasar penutup mulut Cyntia.
"Argh! Kurang ajar! Bener-bener gila kamu, Albert!" Cyntia berujar dengan intonasi tinggi.
Di dalam gudang ini memang hanya ada dia dan Albert berdua saja. Sedang kedua anak buah Albert ditugaskan mengamankan di depan pintu gudang.
"Sahabat kamu yang membuat saya gila, Cyntia!" sahut Albert dengan intonasi tidak kalah tingginya.
Cyntia berdecak. "Memang pada dasarnya kamu sudah gila dari lahir! Sudah berapa kali Syifa jelaskan, kalau dia sama sekali tidak ada rasa sama kamu! Jadi, jangan terus usik dia! Biarkan Syifa hidup dengan dunia barunya saat ini!"
Albert menatap Cyntia, remeh. "Kamu pikir saya peduli? Saya akan terus berusaha mendapatkan Syifa!" Perlahan, lelaki itu mencondongkan tubuhnya mendekat ke arah Cyntia. Wajah keduanya kini berdekatan hanya selisih satu jengkal saja.
"Jangan dekat-dekat saya!" bentak Cyntia.
Kesekian kalinya Albert menyeringai, perlahan, dia mendekatkan wajahnya tepat mengenai telinga kanan Cyntia.
"Berdoalah, semoga hari ini bukan hari terakhir kamu hidup di dunia," bisik Albert. Lelaki itu kemudian kembali menarik dirinya dan mengeluarkan pistol dari saku celana. "Benda ini sudah lama tidak merenggut nyawa." Albert kembali berujar sembari memainkan pistol itu. Setelahnya, dia beranjak menjauh dari Cyntia.
Degup jantung Cyntia naik turun tidak beraturan. Terlebih lagi ketika mendengar bisikan sekaligus lontaran kalimat yang dilontarkan Albert.
'Saya harus pergi dari sini.' Cyntia bermonolog dalam hati.
Sejenak, Cyntia mengedarkan pandangannya ke segala penjuru arah. Dia mencari benda tajam yang setidaknya bisa membantu Cyntia membuka ikatan kuat di tangannya. Saat pandangannya berhenti di samping kiri, spontan kedua sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman. Di jarak yang tidak jauh dari posisinya, rupanya ada satu pecahan kaca yang tergeletak di lantai gudang.
Cyntia terlebih dahulu menatap Albert yang sedang memeriksa ponselnya. Namun, sesaat, lelaki itu langsung menoleh ke arah Cyntia. Seolah dia mengerti kalau Cyntia tengah memperhatikan dirinya.
"Diamlah di sana!" bentak Albert. Dia kemudian melihat benda yang melingkar di pergelangan tangannya, masih kurang tiga puluh lima menit lagi sudah tepat pukul sembilan malam. Dia sudah tidak sabar melihat kedatangan Syifa ke sini menemui dirinya.