webnovel

Pulau Ajaib

----TAMAT---- Aquila Octavi, Putri Mahkota dari Kerajaan Gisma dijodohkan dengan seorang pendatang di Kerajaannya. Akibat penolakan darinya, istana menjadi dalam keadaan genting. Inti batu itu dicuri oleh seorang penyihir. Namun, ada juga sisi baiknya dari kejadian itu. Karenanya, ia dapat menemukan sahabat yang sudah lama menghilang tanpa kabar. Ia juga bisa mengenal seorang pria yang kelak menjadi suaminya. Jangan lupa rate, vote, dan comment ya! . Baca juga novel author lainnya dengan judul "Kisah SMA"

AisyDelia · Fantasia
Classificações insuficientes
38 Chs

Marah Besar (2)

"Ke istana Cornelia." jawab Aquila pendek tanpa melirik Ayahnya sedikit pun.

"Tunggu, Aquila!" cegat Ayahnya yang sekarang sudah berdiri di depan Aquila dengan jarak yang sangat dekat.

"Ada apa?" tanya Aquila dengan tatapan dingin pada Ayahnya.

"Untuk apa kau ke sana?" tanya Sang Raja dengan tegas.

"Seperti yang aku bilang tadi. Membuktikan bahwa firasatku benar." jawab Aquila malas sambil memutar kedua bola matanya.

"Kau tidak serius dengan ucapanmu, kan?" tanya Raja memastikan.

"Aku serius," jawabnya mulai dengan nada tinggi, "jangan halangi aku!" sambungnya kesal, lalu lanjut berjalan.

"Kau gila? Tinggal bersama musuh?" bentak Raja. Ia membalikkan badannya menatap Aquila yang terhenti.

"Cornelia adalah temanku, bukan musuhku! Berapa kali lagi aku harus bilang padamu?" geram Aquila yang menolehkan kepalanya pada Ayahnya. Ia kembali berjalan tanpa menunggu jawaban dari Ayahnya.

"Cegat dia!" perintah Sang Raja kepada pengawal yang ada di sekitar sana. Dengan segera, 4 pengawal itu pun langsung menghalangi jalan Aquila yang tampak kesal.

"Jangan halangi jalanku! Menepi dariku sekarang juga." bentak Aquila kepada 4 pengawal yang sedang menghadang dirinya.

"Mohon maaf, Tuan Putri, kami tidak bisa!" ucap salah satu pengawal itu.

Sementara itu, Sang Ratu sedang mencari suaminya di sekitar bagian luar istana. Saat ia menuruni tangga, tak jauh dari tempatnya berdiri, ia melihat suaminya serta putri sulungnya juga beberapa pengawal. Dengan segera ia menuruni anak-anak tangga itu dan berlari menuju tempat suaminya berdiri.

"Ada apa, Valens?" ucap Sang Ratu yang sudah berada dekat suaminya.

"Herminia?" ucap Raja kaget sambil menoleh ke arah datangnya suara yang sudah dikenali olehnya. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Raja yang tubuhnya sudah sempurna menghadap istrinya dan memegang kedua bahu wanita di depannya.

"Ada apa, Valens?" tanya Ratu mengulangi. yang sedang menatap mata suaminya.

"Tidak ada apa apa, Herminia," jawab Raja, "Sebaiknya kau kembali ke kamar, Hermi." bujuk Raja yang matanya sama sekali tidak berpaling dari mata Ibunda Aquila.

"Jika tidak ada apa apa, kenapa sampai membawa pengawal?" tanyanya lagi. Matanya sudah mulai berkaca-kaca hendak mengeluarkan air mata. Sang Raja hanya diam tak bergeming. "Minggir, Valens!" serunya. Sang Raja pun menepi darinya, tubuhnya kembali mengarah ke tempat Aquila berdiri.

Herminia mendekati Aquila yang sedang berdiri diam memunggunginya. Matanya semakin berkaca-kaca melihat koper yang dibawanya, juga karena Aquila sama sekali tidak peduli padanya. Menoleh saja pun tidak.

"Kamu mau ke mana, sayang? Bukan ke tempat Cornelia, kan?" tanya Ibundanya yang sekarang memegang kedua pundak putrinya dari belakang.

"Lepas!" jawab Aquila ketus sambil menyingkirkan tangan Ibunya dari tubuhnya. "Memang ada masalah jika aku tinggal dengannya?" tanya Aquila malas tanpa melirik Ibunya.

"Kamu ingin tinggal dengannya, sayang?" tanya Ratu lagi. Kini, ia sudah menangis tanpa suara karena sikap kasar anaknya.

"Iya." ketus Aquila.

"Kenapa, sayang?" tangisannya semakin deras karenanya.

"Tidak perlu tahu." jawabnya ketus, masih dengan membelakangi Ibunya.

"Jika kamu ingin membuktikan hal itu, apa perlu sampai tinggal dengannya?" tanya Herminia lagi. Kali ini suaranya bergetar kerena tangisannya.

"Tentu saja! Jika tidak, bagaimana lagi caranya?" Aquila masih tidak mengacuhkan Ibundanya.

"Apa tidak bisa dia yang kemari? Agar Ayah dan Ibumu setidaknya tidak khawatir dengan kondisimu." bujuk Herminia. Tangisannya mulai mereda. Ia kembali memegangi salah satu pundak putrinya.

"Tidak bisa. Di sini banyak pengawal. Dia harus berpikir dua kali jika ingin melukaiku. Satu-satunya cara adalah aku tinggal di sana." Aquila masih teguh dengan pendiriannya.

"Biarkan dia pergi, Herminia!" seru Raja.

Aquila dan Sang Ratu menoleh kepadanya. Terlihat ekspresi senang pada wajah Aquila, lalu segera berubah datar. Sementara istrinya justru kaget dengan keputusan suaminya. Baru dia ingin berbicara, suaminya sudah berbicara terlebih dahulu.

"Biarkan dia pergi! Jika dia dilukai oleh wanita jahat itu, biarkan saja!" kata Raja tenang. Berbeda dengan sebelumnya.

"Valens, bagaimana kau bisa bilang begitu?" ucap Ratu tak percaya.

"Dia harus belajar dari pengalamannya sendiri, Herminia. Agar dia bisa mengimbangi firasatnya dengan logika. Biarkan dia pergi, pengawal!"

Para pengawal yang awalnya mencegat Aquila segera menyingkir dan kembali ke tempat semula mereka dengan cepat, tanpa memasang muka heran. Karena para pengawal itu telah pergi, tidak ada lagi yang menghambatnya. Dia mulai melangkah kembali tanpa berkata sepatah kata pun kepada Ayah dan Ibunya.

"Jangan, Aquila! Jangan pergi ke sana!" larang Herminia pada putrinya. Ia mengejar putrinya yang berjalan dengan santainya.

"Biarkan dia pergi, Herminia! Dia akan baik baik saja." ucap Raja yang sedang mencegah istrinya semakin jauh mengejar Aquila.

"Valens, cegah dia. Suruh dia kembali ke sini, Valens." mohon Ratu sambil silih berganti menatap suaminya yang tidak menatapnya balik dan punggung Aquila yang kian lama tidak terlihat. Tepat saat keberadaan Aquila tidak terlihat, Herminia menangis histeris. Suaminya hanya bisa memeluknya untuk menenangkan istrinya.

"Aquila....." teriak Sang Ratu di sela-sela tangisannya.

"Ayo, kita kembali ke kamar! Tenangkan dirimu, Herminia!" kata Raja sambil menuntun istrinya yang masih menangis. "Pelayan, tolong ambilkan air dan bawa ke kamar saya!"

Di lorong kamar, terlihat Lucia yang baru saja keluar dari kamarnya. Betapa terkejutnya dia melihat Ibunya menangis sesenggukan. Tanpa berlama-lama, ia langsung mendekati Ibu dan Ayahnya yang baru hendak masuk ke dalam kamar mereka.

"Ayah, Ibu kenapa?" tanya Lucia dengan wajah khawatir.

"Tidak ada apa-apa, Luci. Sebelum kamu tidur nanti malam, temui Ayah di kamar terlebih dahulu. Ada yang mau Ayah bicarakan. Beri tahu juga kakak-kakakmu yang lain, kecuali Aquila!"

"Kenapa Kak Aquila tidak diberi tahu?"

"Aquila pasti masih marah dengan Ayah. Biarkan dia menenangkan dirinya dulu untuk malam ini saja." bohongnya.

Lucia hanya mengangguk. Lalu, Ayah dan Ibunya masuk ke dalam kamar. Lucia masih diam di tempatnya selama beberapa saat memikirkan sesuatu. Namun, pikirannya menjadi buyar karena suara kakaknya, Camilla.

"Ada apa, kak?" jawab Lucia gelagapan karena terkejut.

"Kenapa, Luci?" tanya Camilla mengulangi.

"Tidak, kak. Tadi, Ayah menyuruh kita semua menemuinya sebelum tidur nanti malam."

"Untuk apa?"

"Entahlah, kak." jawabnya sambil mengangkat kedua bahunya.

"Kalau begitu, kita harus beri tahu Kak Aquila dan yang lainnya." ajak Camilla.

"Kak Aquila tidak usah, kak. Kata Ayah biarkan Kak Aquila menenangkan dirinya malam ini."

"Ee.... Baiklah. Ayo, kita beri tahu Kak Aelia dan Kak Aurel!" Lucia hanya mengangguk pelan, lalu mengikuti langkah kakaknya, Camilla menuju kamar kakak kembarnya.

Kebetulan saja, mereka bertemu di depan pintu kamar Aelia dan Aurelia. Saat, Camilla hendak mengetuk pintu, pintunya terlebih dahulu terbuka memperlihatkan Aelia dan Aurelia yang tampak terkejut.

"Kak, Ayah menyuruh kita menemuinya sebelum tidur nanti malam. Tapi, jangan beri tahu Kak Aquila! Biarkan Kak Aquila menenangkan dirinya malam ini." jelas Camilla rinci.