webnovel

Pulau Ajaib

----TAMAT---- Aquila Octavi, Putri Mahkota dari Kerajaan Gisma dijodohkan dengan seorang pendatang di Kerajaannya. Akibat penolakan darinya, istana menjadi dalam keadaan genting. Inti batu itu dicuri oleh seorang penyihir. Namun, ada juga sisi baiknya dari kejadian itu. Karenanya, ia dapat menemukan sahabat yang sudah lama menghilang tanpa kabar. Ia juga bisa mengenal seorang pria yang kelak menjadi suaminya. Jangan lupa rate, vote, dan comment ya! . Baca juga novel author lainnya dengan judul "Kisah SMA"

AisyDelia · Fantasia
Classificações insuficientes
38 Chs

Keadaan Aquila (2)

Aquila tiba-tiba menghirup udara dalam-dalam, wajahnya kembali memerah. Dadanya mulai naik-turun seiring dengan keluar-masuknya udara. Tangannya yang kaku mulai bisa digerakkan sedikit demi sedikit. Matanya mengerjap-erjap, silau akibat penerangan lampu. Lalu, mulai bisa menggerakkan lehernya, menatap satu per satu orang-orang yang berada di sana. Menyebutkan pelan nama mereka satu per satu dan tersenyum tipis.

Peter spontan mendekap Aquila erat-erat. Tabib segera mendekat setelahnya. Ia duduk di tepi kasur, menggantikan Peter yang sudah menyingkir.

"Bagaimana perasaan Tuan Putri sekarang?" tanya tabib itu.

"Lebih baik, Bi." ucap Aquila lemah. Keadaannya masih jauh dari sehat. Setidaknya, ia masih bisa berbicara, walau suaranya masih lemah.

Tabib memeriksa Aquila dengan meletakkan tangannya di atas tubuh Aquila dengan keadaan mengambang. Lalu, ia memejamkan mata, berkonsentrasi penuh. Wajahnya terlihat kaget setelah itu. Tubuh Aquila telah terbebas dari kutukan itu, entah bagaimana caranya.

"Tuan Putri Aquila sudah terbebas dari kutukan itu." kata tabib pelan, cukup didengar oleh mereka semua.

Mendengar itu, isakan Ratu langsung terhenti. Ia menatap tabib itu dengan mata sembap, perasaannya separuh lega, separuh tidak percaya. Pandangannya beralih ke Aquila yang tersenyum tipis. "Benarkah?" nada suaranya bergetar.

"Benar, Yang Mulia Ratu. Putri Aquila hanya perlu beristirahat dan mengonsumsi makanan untuk memulihkan kondisinya. Saya akan mengambil obat untuk Putri Aquila minum sebelum makan." kata tabib itu. Kemudian, ia beranjak pergi meninggalkan ruangan itu.

"Aquila, kamu baik-baik saja? Apa kamu haus? Lapar?" kata Ratu mendekat, membalas senyuman putrinya. Sekarang, beliau duduk di tepi kasur. "Panggilkan pelayan! Suruh mereka menyiapkan bubur!Bawakan juga air putih!" kata Ratu bahkan sebelum Aquila sempat menjawab.

"Ibu, tenanglah! Aku baik-baik saja." kata Aquila lemah.

"Ibu mencemaskanmu, sayang." kata Ratu lembut, menatap Aquila lamat-lamat.

"Maafkan aku, Aquila! Ini salahku. Seharusnya aku tidak menanamkan kutukan pada boneka yang kuciptakan. Jadi, saat kamu menariknya, kamu akan tetap baik-baik saja." kata Augusta. Ia betul-betul merasa bersalah. Air matanya perlahan mengalir di pipi kirinya.

"Ini bukan salahmu, Augusta. Saat itu, kamu tidak tahu-menahu tentang kebenarannya. Jangan menyalahkan dirimu!" jawab Aquila lirih.

"Aelia, Aurel, Milla, Luci, kalian baik-baik saja?" tanya Aquila pelan. Mereka berempat serempak mengangguk pelan.

"Ayah? Pasti susah menenangkan Ibu yang terus menangis." gurau Aquila sambil tertawa pelan.

Raja tersenyum dan berkata, "Ayah baik, Aquila. Yah, memang sedikit susah menenangkan Ibumu." jawab Raja, juga tertawa pelan. Ratu tidak protes, ia hanya tersenyum.

"Peter, kau baik-baik saja?" Aquila menatap Peter. Ia mengangguk pelan sambil tersenyum haru.

Ruangan itu lengang sejenak. Semuanya hanya menatap Aquila seakan takut Aquila menghilang begitu saja jika mereka mengalihkan pandangan. Sementara itu, Aquila hanya menatap langit-langit kamarnya.

"Apa aku merusak pestanya?" tanya Aquila memecah hening. Pandangannya tidak beralih.

"Tentu tidak, sayang. Pestanya memang sudah selesai." jawab Ratu.

"Belum. Pestanya belum selesai saat aku pingsan. Apa aku merusak pestamu, Augusta?" Aquila berkata datar, ia masih menatap langit-langit.

"Tidak, Aquila. Pestanya memang akan selesai. Kamu tidak merusaknya." Augusta menjawab sambil menggeleng pelan menatap Aquila yang tidak balik menatapnya.

"Iya, aku merusaknya. Maaf! Seharusnya, pesta itu berjalan lancar. Andaikan aku tidak pingsan saat itu, semuanya pasti baik-baik saja. Tidak akan ada air mata saat ini." Aquila tetap menyalahkan dirinya sendiri. Ia tidak mendengar perkataan Ibunya, maupun Augusta.

"Jangan menyalahkan dirimu! Bukankah itu yang kamu katakan padaku? Kamu tidak tahu bahwa kamu akan pingsan saat itu." Augusta berkata dengan sedikit jengkel.

"Ya, aku memang tidak tahu. Tapi, itu tidak akan terjadi jika saat itu aku tidak membantumu. Aku rasa, aku tidak cocok menjadi 'Putri Mahkota'. Aelia lebih baik dariku, dia lebih pantas menjadi Ratu nantinya." Aquila masih tidak menatap orang-orang di sekitarnya. Ia takut menatap wajah-wajah itu. Ia takut mereka semua akan membenci dirinya. Ia takut semua hal itu.

"Apa maksudmu, Aquila?" tanya Raja tidak paham. Namun, Aquila tidak menjawab. Mendadak, lidahnya kelu. Tidak berani berucap.

"Jika kau tidak membantuku saat itu, kita tidak akan pernah bisa seperti ini. Semuanya akan selalu ada hikmahnya, Aquila. Kita harus mengambil sisi baiknya." kata Augusta memberi pandangan lain.

"Tapi, aku tetap tidak pantas mendapat gelar 'Putri Mahkota'. Aku ingin menyerahkan gelar itu pada Aelia, dia lebih pantas, bukan?" kata Aquila. Terdengar kesedihan dari nada suaranya. Kini, matanya menatap Augusta lamat-lamat.

"Apa maksud kakak? Tentu saja kakak lebih pantas daripada aku." Aelia lebih dulu protes, menghentikan Augusta.

"Kamu tidak tahu hal ini, Aelia. Jika kamu tahu, kamu pasti akan setuju dengan perkataanku." jawab Aquila datar, menatap adiknya yang protes.

"Aquila, itu sudah berlalu. Biarkan hal yang sudah berlalu. Pikirkanlah masa sekarang! Kamu pantas mendapat gelar itu. Kamu sudah menebus kesalahanmu dengan mengorbankan hidupmu, walau kamu tidak mengetahuinya. Saat kamu melawanku, saat kamu menarik kutukan pengendali itu, kamu sudah mengorbankan hidupmu." Augusta berkata lembut.

Aquila hanya terdiam, tidak bisa berkata. Ia kembali menatap langit-langit, memikirkan perkataan Augusta. Merenungkannya.

"Apa yang kalian bicarakan?" tanya Raja membentak.

Namun, percakapan itu harus terhenti. Salah satu pelayan masuk, membawa nampan berisi mangkok dengan bubur, segelas air putih, dan juga beberapa botol kecil berisi cairan, mungkin obat.

"Maaf menggaggu, Yang Mulia! Ini bubur dan air putihnya. Tabib juga menitipkan obat untuk Tuan Putri Aquila minum sebelum makan. Tabib itu juga berpesan agar Tuan Putri Aquila segera beristirahat setelah makan." kata pelayan itu dengan sopan. Ia meletakkan nampan itu di sebuah meja kecil, lalu pergi. "Saya undur diri, Yang Mulia."

"Aquila, cepat minum obatmu agar kamu cepat pulih." kata Ratu lembut seakan-akan tidak terjadi apa-apa sebelumnya.

Aquila juga bereaksi seperti tidak ada apa-apa tadi, begitu juga yang lainnya. Ia beranjak duduk dibantu Augusta. Ibunya menyerahkan botol kecil itu, Aquila menerimanya tanpa berkata apa pun dan meminumnya. Setelah itu, Ratu menyerahkan segelas air putih itu dan mulai menyuapi Aquila bubur putih. Suasana terus lengang hingga bubur di mangkok habis. Pembicaraan tadi membuat semuanya menjadi canggung.

"Istirahatlah, Aquila! Kami akan meninggalkanmu di sini dengan Augusta. Augusta, pastikan Aquila beristirahat!" kata Ratu membawa nampan lengkap dengan isinya keluar.

Raja menyusul istrinya tanpa perlu bicara dengan Aquila lagi, yang lainnya juga mengikuti. Hanya ada dirinya, Augusta, Aelia, dan Peter sekarang. Aquila yang masih duduk di atas tempat tidurnya menatap kekasih dan adiknya dengan datar.

"Aku memang tidak tahu apa yang kakak dan Kak Augusta bicarakan, tapi aku yakin bahwa kakak memang pantas dengan gelar itu. 'Putri Mahkota' cocok untuk kakak dan kakak juga yang akan menjadi Ratu setelah Ayah dan Ibu." kata Aelia mantap. Sejenak dia menatap Aquila yang tidak berekspresi, lalu pergi.

Sekarang Aquila menatap Peter yang berdiri di samping tempat tidurnya. Menatapnya dengan datar, tanpa ekspresi. Terlihat samar matanya sudah berkaca-kaca, berusaha menahan tangis.

"Aquila, jangan menyalahkan dirimu atas apa yang sudah terjadi! Semuanya pasti memiliki alasan yang baik di baliknya. Istirahatlah, Aquila! Tenangkan dirimu! Aku pergi dulu. Semoga kamu cepat pulih!" kata Peter. Ia memeluk Aquila sebelum pergi. "Aku akan segera melamarmu. Jadi, cepatlah pulih!" Peter berbisik saat mereka berpelukan. Lalu, ia pergi sambil melambaikan tangan dan menghilang di koridor.

Augusta menutup pintu. Saat ia berbalik, Aquila sudah berurai air mata. Kedua tangannya terus mengusap air mata yang tidak henti-hentinya mengucur.

"Jangan menangis, Aquila! Kamu adalah seorang Putri yang kuat. Aku tahu betul itu. Kamu tidak perlu takut dengan kejadian saat itu. Mereka tidak akan membencimu setelah mendengarnya justru sebaliknya, mereka akan menyemangati dan memelukmu. Berhentilah menangis! Jangan membuat kondisimu semakin buruk!" kata Augusta penuh perhatian. Ia sudah duduk di samping Aquila.

Aquila menatap Augusta dengan mata sembap. Tatapannya seolah mengatakan 'Benarkah?'. Augusta seakan paham dengan maksud tatapan itu, ia mengangguk perlahan.

Adakah pemikiran tentang kisah saya? Tinggalkan komentar dan saya akan menmbaca dengan serius

Apakah kamu menyukainya? Tambahkan ke koleksi!

AisyDeliacreators' thoughts