webnovel

Bab 9 Bersemi Kembali

Genap satu jam menunggu namun belum ada pemberitahuan tentang jadwal penerbangan yang terbaru. Pada pukul 17.00 Wita akhirnya pesawat kamipun siap untuk lepas landas, aku duduk pada kursi 18C, pramugari menjelaskan pengarahan keamanan. Aku mencoba mendistraksi pikiranku dengan memperhatikan pramugari yang sedang menjelaskan pengarahan. Setelah take off semua baik-baik saja, setelah 10 menit berlalu terlihat ada awan mendung dan pesawat mulai goyah serta terdengar suara gaduh seolah ada yang menyentuh badan pesawat. Itu terjadi tiga sampai empat kali, pesawat di perkirakan akan sampai di provinsi sekitar 18.10 Wita, muncul rasa takut dalam diriku tentang apa yang akan terjadi pada pesawat kami.

Demi mengurangi rasa takut dan menghemat energy ku pejamkan mataku selama perjalanan. Sesekali kesadaranku menghilang, aku terbangun karena laju pesawat yang terasa kasar namun tetap tidak berani membuka mata. Aku merasa ini sudah lebih dari satu jam pesawat melaju, namun belum ada pemberitahuan pesawat akan mendarat. Merasa ada yang tidak beres, akupun melihat jam pada handphoneku rupanya sudah pukul 19.00 Wita. Rupanya sudah dua jam kami berasa diatas awan, namun situasi saat itu masih kondusif, sesekali aku mendengar ada yang membaca doa dan sholawat. Dari penumpang yang duduk disampingku, aku mendapatkan informasi bahwa saat ini sedang terjadi hujan badai, sehingga pesawat belum berani menuju ke bandara Provinsi sambil menunggu arahan, kapan pesawat boleh mendarat.

Syukurlah pada pukul 19.50 Wita, pramugari memberi informasi bahwa pesawat dalam 5 menit kedepan akan mendarat. Saat menuruni pesawat hampir semua penumpang mengucap syukur, sungguh suasana perjalanan kami sangatlah tegang, kami seolah dihadapkan hidup dan mati. Keluar dari bandara menggunakan taxi, ku putuskan untuk langsung menuju dermaga. Saat berada di tempat pembelian tiket kapal, aku masih saja teringat tentang kejadian di pesawat, sungguh tidak terbayang apa yang akan terjadi. "Kak, kita mau pesan tiket kemana?" ucap petugas tiket memecah lamunanku. Setelah membeli tiket kapal, aku langsung memasuki kapal dan menyantap mie gelas yang sudah ku pesan.

Pikiranku seperti kosong, seolah tak mampu memproses apa yang sedang terjadi. Pertanyaan yang selalu terbesit dalam pikiranku adalah "apa yang harus aku lakukan setelah ayah tiada?, pertanyaan itu seolah terus berputar-putar di atas kepalaku. Aku sekilas dibuat terkejut sebab seolah melihat sosok Ija yang lewat di depanku, namun setelah ku tamatkan lagi ternyata itu bukanlah dia. Aku sudah tidak mampu lagi menahan tangisku, aku butuh dukungan saat ini, namun disisi lain aku harus tegar agar kedua adikku juga tetap tegar. Ruangan kapal yang sangat penuh, tentu membuatku tidak berani untuk menangis kencang, tanpa suara hanya ku basuh air mata di pipi yang terus mengalir. Tissu ditangan sudah terpakai semua lalu, ku coba mencari persediaan tissue yang berada dalam ransel. "Kita mau pigi dimana?" kata seorang ibu yang berada di sampingku, ku jawab bila aku akan ke desa Goa.

Beliau menawariku sebungkus roti, namun ku tolak sebab aku juga sudah membeli roti. Setelah itu aku langsung bersiap tidur, mengingat masih banyak hal yang akan aku kerjakan setibanya di rumah nanti. Aku urung untuk tidur sebab notifikasi pada handphoneku, rupanya ada pesan dari FBku. "Assalamualaikum Lis, bagaimana kabarnya?" sebuah pesan masuk dari akun yang bernama Fauzan Sanjaya, sebelum ku balas pesan itu, terlebih dahulu ku pastikan siapa pemilik akun FB itu, apakah orang yang aku kenal ataukah hanya orang yang iseng saja. Ketika ku buka profilnya disana kulihat foto Ija, rupanya itu pesan dari Ija. Tanpa ragu-ragu lagi ku balas pesan itu, lalu ia kembali membalas pesanku "sa turut berduka cita nah, atas meninggalnya bapaknya kita" ucapnya. Aku hanya membalas dengan ucapan terimakasih, kapal yang sudah semakin menjauh dari dermaga membuat sinyal seluler menghilang tanpa jejak. Ku simpan handphoneku dan bergegas tidur demi mengumpulkan tenaga.

Tepat pada pukul 04.00 Wita kapal sudah bersandar di dermaga, aku putuskan untuk beristirahat satu jam lagi. Keluar dermaga aku langsung menerima tawaran dari ojek yang menawariku, sebab hari sudah semakin terang. Waktu sudah menunjukkan pukul 05.30 Wita namun waktu masih masih remang-remang. Aku langsung membuka pintu gerbang, tidak ada yang menyambut kedatanganku. "Assalamualaikum Bu" ku ucapkan salam, Dewi membukakan pintu untukku, ibuku juga menyambut kedatanganku. Seketika ku peluk Dewi dan ibu. Dimas dan Bowo belum kembali dari masjid, kami bertiga duduk di ruang dapur, disana ibu menceritakan situasi terakhir Ayah. "Beberapa hari sebebelum ayahmu meninggal, dia sudah aktivitas seperti biasa, menyapu halaman rumah, kasih makan kambing, memasak, sempat juga dia pangkaskan rambutnya Dimas" cerita ibu. Ketika ibu menceritakan Ayah terlihat Dewi kembali menangis pilu, tak kuasa ku lihat tangisnya. Agar suasana tidak semakin sedih, aku meminta makanan untuk disantap sebab sedang kelaparan. Syukurlah Dewi bisa tersenyum karna bercandaanku.

Setelah makan bersama, ibu langsung membuat adonan kue Geroncong, ku cuci piring dan perabotan yang kotor. Tak lama tetangga dan kerabat berdatangan untuk membantu ibu mempersiapkan masakan untuk acara tiga hari meninggalnya ayah. Belum sempat ku buka pesan dalam handphone, sejak berangkat dari provinsi ke rumah. Kakak Mei yang ikut datang membantu, mengajakku ke ruang tengah untuk beristirahat. "kamu tidak usah sedih mi adikku, Ayahmu pernah cerita ke kakak, katanya Ayahmu Lilis sudah banyak membantu keluarga" ucap kak Mei. Kak mei adalah anak dari sepupu ibu, yang sering menjaga aku dan Bowo sedari kecil. Disela percakapan kami, ada seorang tetangga yang ikut berkupumpul "sudah adami rencanamu untuk menikah kah?" ucapnya. Di luar dari konteks berduka, namun tetap ku jawab dengan template andalanku "sa masih cari cuan dulu kak". Hal itu sudah menjadi senjataku untuk membungkam orang-orang yang menanyakan tentang masa depanku.

Setelah percakapan itu baru bisa membuka pesan yang ada di ponselku, ada puluhan ucapan bela sungkawa dari teman sekolah, kuliah, teman kerja dan sanak-saudara yang berada di pulau jawa. Ku balasi semua pesan yang ku terima melalui WA, ku lihat kembali pesan yang ada pada aplikasi FB. Aku hanya terfokus pada pesan baru dari Ija "kita sudah sampai mi kah di rumah?" pesan darinya "Lilis?" tambahnya lagi. "Maaf sekali bela, sa sudah sampai di rumah tadi pagi, tapi belum sempat sa buka ponselku" ku balas pesannya. Kak mei kembali menceritakan terakhir kali bertemu dengan almarhum Ayah, percakapan kami terhneti sebab banyak kegiatan yang harus di selesaikan di dapur.

Aku melanjutkan membuat geroncong, sebab ibu harus menemui tamu yang datang takziah. Ku buka lagi ponsel yang kembali bergetar "kita ada di rumah ini?" pesan dari Ija, "iya sa ada di rumah ini" jawabku dengan sigap " sa ada di depan rumahnya kita ini sekarang" jawabnya lagi. Ku minta bantuan dari Dewi untuk menggantikankku sebentar, aku langsung menuju ruang tamu rupanya Ija menungguku di teras rumah bersama dengan sahabatku Selma dan juga Wilda. Kedua sahabatku langsung memelukku erat, mencoba menguatkanku dan menyampaikan bela sungkawa atas kepergian Ayah, ditambah lagi ayah juga sangat baik pada sahabat-sahabatku. Ija hanya terdiam, seolah terwakili oleh kedua sahabatku itu. Saat hendak undur diri, Ija memilih untuk pulang terakhir, sebelum keluar dari rumah ia berkata "InsyaAllah besok sa datang lagi untuk belah kayu" tanpa sadar ku jawab "Iyam kita hati-hati di jalan nah". Ku lihat senyum mengembang di wajahnya, setelah Ija berlalu baru ku sadari bahwa jawabanku akan menimbulkan kesalah pahaman diantara kami berdua.

Hari ini adah ketiga hari meninggalnya ayah, sudah ku siapkan teko berisi Kopi panas dan teh panas beserta gelas di bangsal. Ku dengar suara sepeda motor mendekat, rupanya itu adalah Ija "kenapa pagi sekali dia datang?, ingka belum ada yang datang" ucapku dalam hati. Ia parkirkan sepeda motor tepat di samping kiri bangsal, langsung ku hampiri ia

"rajin sekali kita, belum ada yang datang belah kayu" ucapku padanya.

"tidak apa-apa juga, barangkali bisa dapat makan gratis" guraunya padaku,

"belum ada masakan kasihan" balasku menimpali gurauannya.

"Sebenarnya sa datang pagi-pagi ini memang ingin bicara sama kita, kemarin selain tidak ada kesempatan dan sa rasa bukan waktu yang tepat juga" ucapnya terdengar serius.

"apa itu ?, sepertinya penting sekali" tanyaku.

"sebenarnya sudah dari kapal itu, tapi sa merasa kita seperti capek sekali, tapi sekarang sa pikir sekarang ini saatnya, karena sa tidak yakin bisa ketemu dengan kita lagi" ucapnya.

"sejak kita SMP itu sa sudah merasa dekat dengan kita, tapi sepertinya kita hanya mau focus sekolah, di tambah lagi setiap sa Tanya kita, kita selalu menjawab kalau kita ini hanya sebatas teman saja, dan lagi kondisiku waktu itu susah sekali" tambahnya.

"maksudnya kita, kita benar ada rasa suka dengan saya begitu" timpalku tegas, aku takut orang-orang akan mulai berdatangan.

"iya betul, mungkin kita dulu kira sa hanya bergurau dengan kita, tapi sampai sekarang tetap hanya kita yang sa pikirkan, jujur kita jawab bagaimana perasaannya kita" ucapnya.

"waktu itu sa juga ada rasa dengan kita dan benar juga kalau waktu itu, sa masih focus belajar bahkan sekarang sa masih usahakan biar adikku bisa sekolah sampai sarjana" jawabku padanya.

"terimakasih nah kita sudah mau jawab, semoga itu tulus dari hatinya kita yang paling dalam, kalau kita sudah ada waktu luang boleh ya kita ketemuan ?" ucapnya.

"iya insyaAllah, nanti sa kabari kalau acara tujuh harinya Ayah sudah selesai" ucapku padanya.

Aku segera masuk rumah sementara Ija mempersiapkan balok kayu yang akan di belah-belah menjandi kayu bakar. Ku abaikan jantungku yang sedari tadi berdegup kencang, namun aku benar-banar bersyukur sebab di masa sulitku ini banyak sekali orang yang member dukungan padaku.