Siswa/i SMA Nusa Bangsa berlari berhamburan menuju lapangan besar sekolah. Beberapa ada yang berlari tergopoh-gopoh karena mereka berlari sambil memasang atribut upacara.
Topi, dasi, ikat pinggang harus menempel lengkap di seragam putih yang di kenakan. Logo di saku kanan tak luput dari pengawasan, dan bagi siapa pun yang tidak memakai atribut dengan lengkap siap-siap berhadapan langsung dengan Bu Lisa, guru BP yang kalau sudah marah bisa melebihi petinju Mcgregor.
Seorang gadis nampak kelimpungan, ia berlari kesana kemari mencari petugas upacara yang katanya sedang bersiap. Namun ia tidak dapat menemui salah satu di antaranya. Peluh mulai membasahi wajah cantik gadis itu. Nafasnya juga sudah mulai tersengal karena ia sama sekali tidak menjeda waktu untuk beristirahat.
Gadis itu semakin di landa panik setelah di lihatnya semua siswa/i sudah berkumpul di lapangan, berbaris rapih sesuai dengan tingkatan kelas dan jurusan.
Brugh...
Diva yang panik tidak karuan berlari hingga menabrak bahu seseorang yang baru saja ia lewati dari arah berlawanan. "Maaf..."
Orang itu yang tak siap, terhuyung setelah ditabrak oleh bahu Diva. Ia langsung mencekal tangan gadis itu menahan nya. "Lu kenapa?"
"Eh!" Diva berbalik dan mendapati Arsen memegang tangan nya. Ternyata Arsen lah yang tadi ia tabrak. "I-ini kak, aku gak bawa topi. Aku mau pinjem sama anak petugas upacara."
Diva memberontak, berusaha untuk melepas cekalan tangan Arsen. Ia harus cepat mendapatkan topi itu sebelum upacara di mulai.
"Lepasin, kak."
"Petugas upacara lagi ganti seragam di toilet. Lo gak bakal sempet kesana. Gua tadi liat ada Bu Lisa juga disana."
Diva memucat. Dia menghembuskan nafas kasar seraya mengacak rambutnya frustasi. Rasanya ia ingin menangis saja saat ini, ia tidak mau di hukum lagi. "Terus gimana dong?" Ucapnya pada diri sendiri.
Arsen yang tak tega melihat Diva langsung mencari cara agar dapat membantu gadis itu.
"Ikut gua!" Arsen menarik Diva menuju lapangan yang sudah di penuhi oleh seluruh siswa/i SMA Nusa Bangsa.
Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata tajam yang memperhatikan interaksi kedua nya dari kejauhan. Mata itu memicing tidak suka terhadap mereka. Tangan nya terkepal kuat menampilakn urat-urat di tangan nya.
Diva yang pasrah hanya mengikuti langkah Arsen dengan lemas. Ia sudah menyerah, pasrah dengan keadaan. Entah hukuman apa lagi yang ia dapat. Entah berapa poin lagi yang akan terhias di buku poin atas nama dirinya. Tangan gadis itu juga masih setia Arsen genggam, hal itu menimbulkan rasa hangat di tangan nya yang menjalar ke tubuhnya.
Arsen membawa Diva menuju barisan kelas nya. Barisan anak lelaki tepatnya. Sudah ada Hilman, Chocky, dan Farel yang sudah berbaris rapih berbentuk dua banjar. Hilman berdampingan dengan Chocky sementara di samping Farel kosong belum di tempati.
"Lo baris disini!" Arsen menempatkan Diva tepat di samping Farel. Sementara Arsen baris di belakang nya.
"Tapi, kak. Ini bukan kelas aku," Kata Diva. Dia semakin cemas, bagaimana kalau ada guru yang mengetahui ia baris tidak sesuai dengan kelas nya?
"Ssst! Udah diem," Ucap Arsen menenangkan Diva.
"Lah? Lu ngapain, Div?" Tanya Farel yang terkejut mengetahui Diva yang sudah baris tepat di sampingnya.
"I-itu, kak. Anu..." Diva menunduk meremas ujung pakaian nya, gugup.
"Gua yang bawa. Udah tenang aja," Tukas Arsen.
Mendengar ada keributan sontak Hilman dan Chocky membalikkan badan. Mereka juga cukup terkejut mengetahui Diva yang berada bukan di barisan yang semestinya. Namun, Arsen langsung memberikan penjelasan kepada tiga teman nya.
"Nyari mati nih, anak!" Ucap Chocky membatin. Bagaimana kalau Fabian tahu, jika Arsen melakukan ini? Beruntunglah Fabian sibuk membimbing junior nya, sehingga lelaki itu tidak baris bersama mereka.
Akhirnya, mereka bertiga serempak berniat membantu Diva untuk bersembunyi karena tidak memakai atribut lengkap. Posisi mereka juga lumayan menguntungkan. Karena barisan mereka berada di sudut lapangan, dan berada di akhir barisan yang jarang terekspos guru.
Pengumuman bahwa upacara segera di mulai pun berkumandang, sontak Chocky dan Hilman yang berada di depan Diva merapatkan barisan menutupi tubuh mungil Diva yang berada di belakangnya. Sedangkan Farel memposisikan diri untuk menutupi Diva dari samping.
Ada rasa terharu yang dirasakan gadis itu. Mendapati sahabat dari kekasih nya yang sangat baik padanya. Ia sangat berhutang budi kepada mereka.
Namun, tak dapat di pungkiri juga kalau rasa cemas masih melanda nya. Dalam hati ia merapal kan doa agar tak ada siapapun yang menyadari kehadiran nya di tengah barisan yang tidak semestinya.
"Tenang, lu aman disini," Bisik Arsen tepat di belakang tengkuknya. Ia mencium gelagat gadis itu yang masih cemas.
Seketika bulu di tengkuk nya meremang mendengar suara berat Arsen dari jarak yang sangat dekat. Diva mengangguk kaku sambil meremas erat rok yang ia kenakan.
Upacara pun berlangsung. Siswa/i yang baris di depan nampak tenang, berbanding terbalik dengan siswa/i yang kebagian baris di belakang. Entah sedang kebetulan atau sebuah keberuntungan tidak ada guru atau anak Osis yang berpatroli di belakang.
Selama kurang lebih 45 Menit upacara berlangsung, akhirnya pembina upacara mengumumkan upacara telah usai. Di sambut tepuk tangan ramai oleh semua siswa/i di lapangan yang senang karna sudah menunggu terlalu lama, terutama pada saat amanat upacara. Padahal yang di bahas tak jauh dari kesiapan siswa/i kelas akhir menghadapi ujian juga kesediaan siswa/i menjaga kebersihan.
Diva mengadah kan kepala bernafas lega. Akhirnya, 45 menit waktu yang menegangkan baginya telah usai. Ternyata benar, bersembunyi di tempatnya saat ini memang aman. Menguntungkan pula bagi nya tinggi podium pembina upacara yang tak terlalu tinggi. Serta tubuh tinggi menjulang Hilman dan Chocky yang berhasil menutupi tubuhnya.
Namun hal selanjutnya berhasil membuat gadis itu kembali berpacu.
"Bagi siswa/i yang merasa tidak memakai atribut lengkap, harap memisahkan diri di pinggir lapangan!" Ucap Bu Lisa mengambil alih microphone dengan intonasi suara tegas tak terbantahkan. Serta serangkaian pengumuman lain nya di sampaikan oleh guru berkaca mata itu.
Jantung Diva kembali berdegup kencang. Kedua tangan nya mulai terasa dingin dan tubuhnya mulai bergerak gelisah. Ia langsung menoleh ke arah Arsen, kembali meminta bantuan.
"Kak, gimana dong?" Mata gadis itu mulai berkaca-kaca.
"Jangan nangis. Tenang, gua bantuin kok." Ucap Arsen memegang kedua bahu Diva dengan sedikit mengusap nya pelan.
Hilman berbalik, mendekat ke arah Diva. "Lu pake topi gua aja nih! Ntar gua gampang lah nyelip pas bubar barisan." Tawar Hilman sembari melepas topi nya.
"J-jangan kak. Hm, aku mau misahin diri aja." Diva tertunduk lesu.
"Eh! jangan!" Chocky ikut menimbrung. "Kita tunggu sampe ada aba-aba bubar barisan. Nanti lo ikut kita, biar kita tutupin lagi."
"Nah, betul tuh." Ucap Farel menyetujui. Di ikuti oleh kedua teman nya yang lain.
Tak lama pengumuman yang mereka tunggu pun terdengar. "Tanpa penghormatan, bubar barisan jalan!"
"Ayo, Div!" Arsen kembali memegang tangan Diva. Mencari sudut keramaian dan bergabung didalam nya. Di ikuti oleh Chocky, Hilman, serta Farel di setiap sisi gadis itu mencoba menutupi nya.
"Nunduk, Div." Tangan Arsen sedikit mendorong tengkuk gadis itu agar menunduk saat dilihat nya ada seorang guru yang tengah memeriksa atribut siswa/i yang tengah bubar dari barisan.
Ternyata bukan hanya Diva saja yang tidak memakai atribut lengkap. Bukti nya di pinggir lapangan, sudah ada beberapa belas siswa/i yang berdiri membentuk barisan. Mereka yang sadar diri dengan menyerahkan diri berbaris sesuai instruksi Bu Lisa.
Bahkan ada beberapa yang terang-terangan mencoba melarikan diri seperti Diva. Namun naas, ada di antara mereka yang ketahuan oleh guru yang mengawasi tapi ada beberapa pula yang berhasil lolos.
Senyum Diva perlahan mulai terbit, mengetahui ia lolos dari guru yang tengah mengawas. Dalam hati ia mengucapkan syukur karena ia menjadi salah satu siswi yang berhasil lolos. Ini adalah hari keberuntungan nya.
"Diva Ishara Arshaki."
Deg
Jantung Diva seketika berhenti berdetak. Langkah nya terhenti, begitu pula ketiga teman Fabian. Nama Diva terdengar jelas dari balik suara microphone itu.
"Mencoba untuk melarikan diri ya?"
"Sial! Sial! Sial!" Rutuk Diva dalam hati.
Itu
Suara
Fabian
Sontak Diva, Chocky, Arsen dan Hilman menoleh ke sumber suara. Benar, Fabian berdiri di balik podium dengan microphone di tangan nya. Lihat lah tatapan pria itu, menatap tajam lurus kepada Diva dan jangan lupakan seringaian lelaki itu yang tercetak jelas di bibir tipis nya.
TBC
Buat yang udah nunggu-nunggu adegan Diva bales dendam ke Fabian beberapa part kedepan bakal di suguhin kok sesuai dari banyak request kalian. Tp bakal di selingi sama Jenisa yang muncul, tahan emosi ok?
See you next chapter