webnovel

PHOBIA

Fiona Agatha Helena seorang gadis blasteran yang terkenal cuek, jutek, sombong, dan sok cantik di sekolah. Namun, di balik sikafnya itu terdapat alasan yang membuatnya takut dan sedih.

Riska_fauziah · Adolescente
Classificações insuficientes
18 Chs

Part 5

"Maaf pak". Tiba-tiba Diky muncul mengagetkan beliau.

"Saya mau bilang, kalo Fiona izin untuk pulang karena dia tiba-tiba merasa tidak enak badan". Diky sengaja berbohong karena berusaha membantu Fiona.

"Kalo memang gitu, kenapa Fiona nya enggak bilang langsung kepada saya barusan?, dia malah tidak menghiraukan saya dan lagian kan dia bisa ke UKS, kenapa harus izin pulang?". Tanya Pak guru.

"Iya pak maaf, Fiona nya sudah tak tahan lagi menahan rasa sakitnya makanya dia buru-buru, tadi dia sudah ke UKS tapi Fasilitas di UKS kan masih belum lengkap makanya saya suruh pulang saja pak".

"Oh gitu, iya juga sih, UKS kita masih belum memadai dari pada kenapa-kenapa mending kita suruh pulang saja ya kan?".

Dengan kata ngeles nya Diky akhirnya pak guru percaya padanya.

"Nah itu dia pak, jadi gimana pak? Fiona di izinkan apa tidak pak?" tanya Diky.

"Ya mau gimana lagi, lagian anaknya sudah keluar". Ujar pak guru.

Diky mengehelakan nafasnya karena ia berhasil meyakinkan wali kelasnya itu.

"Terus kamu kenapa masih disini?" tanya pak guru pada Diky.

"Eh iya pak maaf, saya permisi balik lagi ke kelas pak". Diky tersenyum getir.

"Loh kok balik ke kelas sih?"

Dahi Diky berkerut, bingung. "Jadi pak?"

"Ya kamu susul Fiona nya lah. Kamu pasti'in dia enggak kenapa-kenapa sampai di rumahnya. Itu tanggung jawab kamu sebagai ketua kelas".

"Hah... I... I... Iya pak, baik pak". Diky tercengang.

"Ya sudah apa lagi, nanti Fiona nya keburu jauh". Beliau mengusirnya.

"I... Iya pak, iya pak, saya permisi dulu ya pak". Diky berlari menyusul Fiona yang sudah keluar gerbang bersama mobilnya.

Diky berusaha mengejar mobil Fiona yang sudah berada jauh. Diky mengendarai mobilnya dengan kecepatan maximum agar bisa tersusul. Dalam waktu setengah jam kini mereka berada di daerah yang nampak sunyi dan sedikit kumuh. Diky melihat Fiona menghentikan mobilnya ke pinggir jalan lalu turun dari mobilnya, ia berjalan menuju satu gedung tua nan menyeramkan. Diky pun ikut turun menyusul dirinya dari belakang dengan mengendap-endap. Ia berjalan menyusuri ke dalam gedung tua itu sembari melihat sekeliling tempat yang begitu usang, gelap dan menyeramkan. Diky mengikuti kemana Fiona berjalan, hingga akhirnya mereka berada di teras paling atas gedung tersebut.

"Jangan-jangan dia mau bunuh diri...?" matanya terbelalak melihat Fiona sudah berada di pinggir bibir atap gedung.

Fiona tidak punya rasa takut berada di tempat yang cukup menyeramkan itu, baginya tidak ada apa-apanya di bandingkan dengan hidupnya. Fiona menghelakan nafas sembari melihat langit begitu terik yang dapat membakar kulitnya yang putih. Tetapi Fiona tidak menghiraukan nya. Fiona mengingat masa lalu nya pada saat ia duduk di kelas bangku kelas 6 SD.

Fiona mengayuhkan kursi roda nya untuk memasuki ke kelas nya.

"Eh Dinda kok loe mau sih berteman sama Fiona?" Tanpa sengaja Fiona mendengar pertanyaan itu dari dalam kelas, sentak membuat ia berhenti dari balik pintu sembari mendengar kelanjutan nya.

"Ya... mau gimana lagi... Abis nya aku di paksa sama Mama aku. Lagian aku temanan sama dia itu karena kasihan juga sama dia karena dia enggak ada temannya, kalian kan tahu kondisi nya yang cacat. Walau pun aku malu sih sebenarnya berteman sama dia tapi aku harus tahan malu aku karena kata Mama ku, dia itu anak nya pintar terus kaya lagi, karena aku berteman sama dia, bisnis Papa ku jadi maju berkat Papa nya".

"Ouhh gitu, kirain kamu emang beneran mau berteman sama dia".

"Ya enggak lah, kalau bukan karena dia pintar dan anak orang kaya, aku sih enggak mau berteman sama orang cacat kaya dia, ha ha ha".

"Ha ha ha... Iya yah kasihan banget".

Dari balik pintu Fiona meneteskan air matanya mendengar pembicaraan seorang yang dia anggap sahabat itu. Fiona tak menyangka bahwa mereka terutama Dinda mendekati nya karena memiliki tujuan yang tertentu. Dan sejak saat itu Fiona tak lagi mempercayai apa itu pertemanan atau persahabatan, baginya itu semua adalah sampah.

Seketika ia mengingat masa itu, seketika itu juga ia berteriak sekencang mungkin. "Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarggghh... "

Diky bersembunyi dari balik tiang yang sedkit berlumut, lalu mengintip Fiona yang berjalan ke pinggir bibir teras sembari berteriak. Mata Diky terbelalak ketika ia melihat Fiona sudah berjalan semakin di ujung.

"Jangan-jangan dia mau bunuh diri lagi, gawat".

Dengan gerak cepat Diky berlari mendekati Fiona lalu menyergap tubuhnya dari belakang sembari menjauhkan nya dari pinggir gedung.

Sontak membuat Fiona kaget terkejut tiba-tiba seseorang menyeret tubuhnya, lalu ia meronta-ronta.

"Apa-apaan ini? Lepasin gue, lepasin". Sekuat tenaga ia melepaskan tangan Diky yang ada di pinggang nya dan sekuat tenaga juga ia memukuli tangan Diky.

"Enggak, gue enggak mau ngelepasin elo asal kan elo janji sama gue enggak bakal bunuh diri". Diky semakin mengencangkan tangannya, menahan rasa sakit pukulan dari Fiona.

"Apa?" kesabaran Fiona sudah di ujung batas dan sudah mengetahui siapa orang tersebut, sekuat tenaga ia menarik tangan Diky, setelah berhasil lalu ia mengeluarkan keahlian tae kwondo nya, ia membanting badan Diky hingga jatuh pingsan.

Awalnya Fiona tidak memperdulikan nya, namun ia melihat Diky sudah tak berkutik dengan cukup lama. Fiona menyenggol tubuh Diky dengan menggunakan kaki nya, namun Diky tidak merespon nya.

"Heh... Heh... Heh... "

"Heh... Bangun... Enggak usah pura-pura lu. Heh bangun lu..."

Fiona mulai panik karena Diky masih tidak merespon. Secara perlahan Fiona mendekati Diky. Ia membungkukkan badannya, tangan Fiona gemetar saat ia ingin mengecek nadi dan nafas Diky. Fiona mendekatkan telinganya pada dada Diky lalu merasakan detak jantung Diky berdetak dengan normal.

"Gue yang hampir pingsan, kok jantung loe yang dag dig dug". Diky membuka matanya sembari menahan tawanya. Sentak membuat Fiona berdiri dan benar-benar marah.

"Ha ha ha ha" Diky tertawa puas karena telah berhasil mengerjain Fiona.

Dengan sepontan Fiona melayangkan tinju nya ke wajah Diky.

#Baaaammmm...

"Adoooooooooiiiii..." rintihnya sembari memegang pipinya yang terkena bogem mentah dari Fiona, lalu ia pergi meninggalkan Diky.

"Fi.... Fi.... Fiona... tunggu...." Diky berlari mengejar Fiona dengan wajah nya yang sudah lebam.

"Fi... Loe mau kemana?. Sorry gue cuma becanda tadi, Fi... " Diky menarik tangan Fiona, dengan spontan tangan Fiona menepis tangannya, mata Fiona memerah menatap Diky.

"Don't touch me". Fiona membentak Diky, tangan Fiona bergetar hebat namun ia langsung menyembunyikan kedua tangannya di balik badannya.

"Oke, oke, oke, Sorry gue enggak akan nyentuh lu sorry". Diky mengangkat kan kedua tangannya.

"Sorry... Gue enggak ada maksud buruk ke elo, sebelum loe bertanya dan mungkin loe enggak mungkin bakalan nanya kenapa gue bisa ada disini juga, jadi gue ke sini memang ngikutin elo karena gue di suruh sama pak Toni. Pak Toni ngeliat loe tergesa-gesa keluar dari sekolah padahal baru mulai jam belajar, makanya pak Toni minta gue mastiin loe enggak kenapa-napa. Ya... Walaupun gue enggak di suruh sama pak Toni, gue bakal tetap ngikutin elo, karena gue khawatir sama loe setelah kejadian loe sama Anna di kelas pagi ini. Gue enggak tahu mau bilang apa, gue mau cuma bilang ke loe, elo harus sabar menjalani semua ini, dunia ini memang keras tapi elo harus yakin elo pasti bisa melembutkan dunia, dan loe harus percaya bahwa masih banyak orang yang bisa menerima loe apa adanya". Diky merasa enteng karena bisa memberi suport pada patung hidup yang satu ini.