"Kau yang berbuat, kau yang harus bertanggung jawab."
***
Aku terbatuk.
Tubuhku terasa basah di beberapa bagian. Napasku masih tersengal-sengal karena merasakan sakit di area dada. Kepalaku pusing dan mataku mencoba untuk terbuka kesekian kalinya. Hanya buram dan samar-samar melihat dinding retak, jaring laba-laba di ujung ruangan, serta beberapa tumpukan benda tergeletak tidak karuan.
Kosong, aku terbaring di lantai sebuah ruangan.
"Agghh!!" gerutuku. Dada yang terluka terasa menyakitkan ketika bergerak sedikit saja. Bajuku terbuka tanpa kusadari dada hingga ketiak bawahku terbalut kain untuk menutup lukaku, menghentikan aliran darah yang mengalir. Sepertinya ada seseorang yang membalutnya. Di sekitarku juga terdapat kain-kain yang berserakan dengan bercak darah di lantai.
"Yan." Aku menoleh untuk mencari Rayyan yang barusan kuingat. Kami pingsan bersama di balkon atas. Khawatir terjadi apa-apa, aku berusaha berdiri dari posisi duduk. "Hey." Terdengar suara seseorang, sosok pemilik suara itu muncul dari balik pintu, bersandar dan melihatku. Meski ruangan ini remang-remang aku masih bisa melihat postur tubuh tersebut. Dan aku hafal siapa orang itu.
Akmal.
Aku yang berdiri tak jauh darinya hanya bisa mematung melihatnya. Menatapnya, dan mulai kesal.
"Lama nggak ketemu. Bal." Kata Akmal merogoh saku celananya. Mengeluarkan lilin yang tinggal sedikit dan menyalakannya. Kali ini wajah Akmal sepenuhnya terlihat. Ia memegang lilin di tangannya dan dibalik cahaya lilin tersebut aku melihat Rayyan tengah terbaring dengan kain mengikat kepalanya. Rayyan terluka cukup parah. Aku berharap tidak sampai mengancam nyawanya akibat pukulan keras dari Haniyah tepat menghantam pelipis kepala Rayyan.
"Lapo? (Kenapa?)" tanyaku, bangkit dan bergerak maju.
Akmal tidak menjawab pertanyaanku.
"Lapo awakmu nggak bukakno lawange? (Kenapa kamu tidak membuka pintunya?)" tanyaku sekali lagi agar lebih jelas. Tanganku tergenggam erat.
Akmal menghembuskan napas pelan, membuang muka. "Ada alasan tertentu Bal. Lo paham di kondisi gue saat itu-"
"Alasan-alasan matamu!!! Cok!!!" aku berteriak kencang sekali. Berlari dan melayangkan tinju tepat ke wajah Akmal.
Brakkk!!
Akmal tersungkur di lantai. Itu tinju yang lumayan keras menghantam pipinya.
"Awakmu gak ero hah?! Rachel mati gara-gara awakmu Mal!! Kene ngenteni awakmu bukakno lawang tapi nyatane opo? PHP goblok!! Tego awakmu ndelok konco dewe jaluk tulung tapi nggak awakmu tulung? Akibate opo? Rachel Mati cok!!! Aku karo Rayyan melu mati lek Rachel gak nulungi pas iku. Padahal Rachel sekarat, tapi Rachel gelem nulung, gak koyok awakmu jancok!!!. (Lo nggak tau? Rachel mati karena lo!, Mal. Kita nungguin lo buka pintu, tapi kenyataannya apa? PHP goblok!! Tega lo lihat teman minta tolong tapi nggak lo tolongin? Akibatnya apa? Rachel mati!! Saat itu aku dan Rayyan bisa ikut mati kalau Rachel nggak nolongin . Padahal Rachel sekarat, tapi Rachel mau nolong nggak seperti lo, jancok.) " Aku marah sepenuhnya.
Dan pake bahasa jawa.
Suaraku menggema hebat di dalam ruangan.
Lilin yang digenggam Akmal terlempar ke lantai. Akmal memegang pipi dan menatapku. Tatapannya tidak marah akibat ulahku. Jelas, aku menyalahkan Akmal atas kematian Rachel. Jika ia membuka pintu ruangan ini, kejadian menyedihkan malam ini tidak terjadi.
"Sorry." Kata Akmal.
Anjing. Hanya satu kata untuk membalas kemarahanku?
Aku menggigit bibir. Mendatangi Akmal dan menduduki badannya, menghajarnya berkali-kali. Aku tidak peduli lagi dengan luka di tubuhku ini. Kuluapkan seluruh kemarahanku pada pukulan bertubi-tubi ke wajah Akmal.
"Jancok!!"
"Jancok!"
"Jancok!!"
Dan seterusnya. Kata-kata kotor terlontar hanya untuk mencaci Akmal.
Ia tidak membalas perkataanku atau bahkan menghindari pukulanku. Padahal di awal tadi, Akmal bisa saja menghindar bahkan menyerang balik. Tapi ia tidak melakukannya. Aku berpikir Akmal sengaja menerima pukulanku. Hingga saat ini ia masih sengaja membiarkan. Membiarkan diriku meluapkan emosi. Tak peduli babak belur atau tidak Akmal adalah teman dekat saat SMA, ia tahu aku siapa dan mengerti bagaimana menyikapinya. Dan ini adalah yang kuinginkan.
Entahlah. Aku sangat marah kali ini. Pikiranku membabi buta memaksa Akmal jadi samsak untuk tinju tanganku.
Hingga akhirnya kedua tanganku lelah untuk melanjutkan. Berdarah, terasa satu dua tulang jari bergeser. Sangat sakit. Napasku masih tidak karuan. Dahiku dipenuhi keringat hingga menetes ke wajah Akmal yang babak belur. Lihat dia sekarang. Mulutnya mengeluarkan darah mengalir hingga pipinya. Wajah kusam berdebu sedikit kotor dengan luka bakar di pelipis matanya. Bola matanya aku sisakan satu untuk melihat, satunya lagi tidak bisa melihat karena luka lebam yang parah. Terakhir tulang hidungnya kubuat geser tidak berhenti mengeluarkan darah.
Bagus. Sekarang aku membuat satu orang terlihat sekarat.
Dan ini merugikan kedua tanganku. Tidak bisa bergerak sama sekali.
Aku duduk di samping Akmal. Menarik jari manis dan memutarnya kembali. Aku menahan napas berulang kali, berusaha menggeser jari telunjuk karena arah yang tidak wajar dari atas ke bawah. Krek!! Krek!! mmmghh!! sialan,
"Agghh!!!" sakit sekali.
Operasi mandiri membetulkan tulang jari.
"Hah hah. Pukulan lo lumayan juga." Kata Akmal. Saat ia berbicara darah dari mulutnya tidak bisa berhenti keluar.
"Diem. " kataku. Aku menatap Akmal.
Akmal terkekeh.
"Bunuh gue Bal." Katanya kemudian.
Aku tidak menjawab, saat Akmal tiba-tiba berbicara demikian.
"Permainan ini ulahku. Salah gue. Bunuh gue sekarang, Bal. Gua pantes nerima semua ini." Akmal tersenyum.
"Lo emang pantes dibunuh." Jawabku.
"Hah hah. Good. Kalau gitu, cepet lakuin. Gue siap." Tangan Akmal terangkat dan menunjuk sebuah pemotong besi tersandar di dinding. Tangannya bergetar saat menunjuk. Karena cahaya remang-remang dari lilin aku bisa jelas melihatnya. Akmal pasrah sekali saat ini. Mengiyakan perkataanku barusan.
"Semua orang nyalahin gue. Nggak ada lagi yang mau percaya sama gue. Kacau, semua berantakan. Sekarang semuanya ngejar pengen bunuh gue, dan gue cuman bisa bersembunyi di sini. Di ruangan ini."
"Permainan laknat. Hah hah, harusnya saat acara reuni gue langsung cabut pulang. Bukan malah tingkah sok keren ujung-ujungnya sekarang hancur berantakan."
Jelas Akmal.
"Emang Bangsat gue. Udah berapa nyawa hilang karena permainan usulanku."
"Kayaknya lebih baik gue membusuk di neraka." Kata Akmal tersenyum. Ia terbatuk, memuntahkan banyak sekali darah. Tubuhnya kesakitan akibat perbuatanku.
"Diam bodoh." Kataku.
"Emangnya neraka mau nerima elo? Neraka terlalu bagus buat lo."
"Selesaikan permainan ini. Cuman itu kuncinya, nggak ada yang lain."
Akmal sontak tertawa.
"Lo masih nggak berubah Bal. Masih terlalu naif." Akmal mencoba bangun dari tempatnya. Susah payah hingga tubuhnya hampir ambruk kembali. Ia meludah ke samping. Masih terlalu sakit.
"Denger. Permainan ini bisa selesai tepat pukul tiga pagi."
"Yayaya, gue udah tahu."
"Good. Dan kita bakal aman kalau terus sembunyi di sini sampai pukul tiga."
Lagi-lagi pernyataan itu. Yang bertahan hidup hingga pukul tiga maka ia akan menang. Kedengarannya mudah, tapi melakukannya sulit setengah mati.
"Terus teman-teman lo? Lo tinggalin begitu aja?" tanyaku memancing. Lalu tersenyum. Brengsek sekali pemikiran orang ini.
"Gue nggak ninggalin Bal. Gue udah kasih tau mereka caranya buat menang, aturan, larangan, semuanya. Bertahan sampai pukul tiga itu udah lebih dari cukup." Kata Akmal enteng.
Aku langsung bangkit, menarik pakaian Akmal dan melotot tajam sekali. Aku benci orang yang nggak mau tanggung jawab. Dan kali ini Akmal lah orangnya.
"Brengsek lo. Lo yang ngusulin ni permainan, lo buat temen-temen terjebak di luar sana sama penjaga yang setiap saat bisa gorok leher satu persatu. Sekarang lo nggak mau tanggung jawab? maksud lo apaan? lo masih nggak sadar Rachel mati gara-gara elo. Mikir Mal!! mikir!" Kataku dengan nada geram.
Sumpah. Ni orang pengen gue hajar lagi. Gue bonyokin sekali lagi mampus lu, ini tentang nyawa, kampret. Lo biarin mereka di luar sana main petak umpet dengan seorang psikopat? Aku mengurungkan niatku, melepas tarikan kasarku membuat Akmal jatuh ke lantai.
Eh tunggu. Aku teringat sesuatu.
Seorang psikopat. Jika memang permainan ini tidak berhasil dan arwah jadi jadian itu sebenarnya adalah orang beneran. Tentu hanya ada satu tubuh di tempat pertama Haniyah mati, jika benar ada satu tubuh kemungkinan Haniyah yang kulihat di lantai atas adalah orang lain yang menyamar. Di tempat kedua Haniyah mati juga demikian, ada dua jasad yang berada di dalam lubang tersebut, kalau benar ada dua jasad, tidak hilang salah satu. Maka Haniyah yang kulihat adalah satu orang yang sama.
"Gue harus ke sana." Kataku mantab. Pertama-tama aku berencana memastikan jasad Haniyah apakah benar tergeletak di dalam lubang.
"Maksud lo? " tanya Akmal tidak mengerti.
"Gue akan keluar-"
"Goblok." Kata Akmal spontan. Begitu mendengar omongan keluar dari mulutku Akmal langsung tahu aku akan melakukan hal konyol.
"Lo cari mati? Joe di luar sana dan lo mau keluar cuman mengecek kondisi lubang payah itu?"
"Dari mana lo tahu gua mau ke lubang?
"Karena gue juga ngerasain hal yang janggal. Lo pasti pengen ngecek isi lubang itu kan? " tanya Akmal.
"Ya. Gue mau cari tahu kita lagi berurusan dengan siapa sebenarnya malam ini." Aku Meraih pemotong besi milik Akmal. "Gue pinjam." Pintaku pada Akmal masih bersandar di dinding dengan wajah lebamnya.
Tanpa banyak bacot aku langsung mengambil tindakan.
"Gue nggak ikut. Gua stay di sini sama Rayyan." Jawab Akmal. Jalanku terhenti. Ia juga beranjak berdiri, menyingkirkan bangku-bangku yang ditumpuk mem-block pintu masuk.
"Saat lo balik, gue akan bukain pintu. Ketuk pintu dua kali. Itu tandanya. Jangan ketuk berkali-kali kalau lo ngelakuin itu entah itu emang bener-bener lo atau bukan, gue nggak akan bukain." Ucap Akmal. Tubuh besar dengan otot-otot segede gaban mudah saja memindahkan bangku-bangku tanpa menimbulkan bunyi. Kekuatannya luar biasa, memang temanku satu ini katanya sudah terkenal punya tubuh ideal sejak SMP, latihan rutin karena impiannya dari dulu ingin menjadi tentara. Hingga masa SMA tubuhnya terjaga rapi.
"Mungkin gue nggak cuman meriksa lubang tangga, gue ke gedung 1 juga. Ada hal penting yang harus gue lihat."
Firasatku mengatakan besar kemungkinan malam ini memang benar ada psikopat. Nggak mungkin ada dua tubuh di tempat berbeda. Lagi pula aku melihat sendiri Haniyah jatuh di gedung satu. Aneh juga masih bisa melihat Haniyah di gedung dua. Jika memang ada dua Haniyah, aku yakin seratus persen jasad Haniyah yang asli tewas jatuh di gedung satu. Sedangkan Haniyah di gedung dua adalah psikopatnya.
"Satu hal lagi. Gue mau cari teman-teman. Ngumpulin mereka dan kembali ke sini. Jemput lo sama Rayyan" Kataku. Aku merasa kasihan. Kemarahanku perlahan berangsur surut. Mengambil keputusan ini juga beresiko. Tapi mau bagaimana lagi.
Akmal langsung menghentikan gerakannya. Berbalik melihatku. Hanya satu mata, karena wajahnya babak belur.
"Terserah lo Bal. Gue mati di sini juga nggak masalah." Kata Akmal.
Meja terakhir. Pintu terbuka. Suasana lorong terlihat gelap. Aku mengintip sekilas dan mengangguk-angguk. Tanganku masih sakit tapi tidak kupedulikan lagi. Membawa pemotong besi dan satu buah lilin menyala.
Aku berangkat. Akmal menata kembali meja-meja dari dalam. Aku memantapkan langkah, meniup lilin. Suasana sepenuhnya gelap.
Perjalanan dimulai.
Berjalan di lorong gelap tanpa cahaya sedikitpun, hanya indra pendengaran yang kuandalkan mendeteksi tengah berada di mana ada suara langkah atau tidak. Menyusuri lantai tengah, persimpangan jalan, jalan tengah, hingga hampir tersesat aku berhasil kembali ke jalan yang benar.
Menoleh ke setiap sisi kamar aku berhasil menyelinap hingga ujung koridor. Ini kejadian tak terduga. Tepat di tangga menuju lantai dua ada suara tapakan langkah. Berasal dari-
"Dari mana?!" aku memperhatikan sekali lagi kegelapan ini.
Dari anak tangga!
Astaga, di depanku. Aku meraba dinding, melangkah menyusuri sebuah kamar. Ketemu ujung pintu, tanpa pikir panjang aku memasuki kamar tersebut dan bersembunyi di balik dinding.
Terdengar suara langkah seseorang.
Tap!
Tap!
Tap!
Hilang. Suara langkahnya hilang.
Sudah pergi? Secepat itu. Tidak, ia pasti berdiri di anak tangga akhir dan mengawasi sekitar.
Tap!
Tap!
Tap!
Tuh kan. Sudah kuduga. Kutahan napasku untuk menyembunyikan keberadaan diriku. Tubuhku bergidik ngeri. Ini psikopatnya belum mati atau joe benar-benar ada? Kuharap tidak keduanya. Kuharap itu temanku. Tapi keadaan gelap di koridor membuatku tidak bisa melihat apapun yang melintas di depan pintu kamar. Untuk saat ini.
Pemotong besi yang kubawa sudah ku genggam erat. Kalau memang psikopat menyerangku mau tak mau aku harus melawannya.
Tap!
Tap!
Seklibat, tidak terlihat apapun. Hanya hitam. Itu orang. Meski keadaan gelap, aku bisa menebak ada seseorang berdiri di depan ruangan. Kutahan keinginanku untuk menyapanya. Berjaga-jaga demi keselamatan diri. Hampir saja ia menoleh ke arah kamar yang kutempati saat ini. Tapi syukurlah tidak terjadi.
Dirasa bayangan itu menjauh. Aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Menaiki tangga dengan hati-hati, sesekali melihat ke arah belakang. Nggak lucu aja tiba-tiba bayangan tadi muncul dari belakang.
Aku sampai di balkon. Lantai yang dipenuhi daun-daun berserakan, pecahan botol juga berserakan. Tanpa pikir panjang aku melewati tali yang terikat di antara sisi lorong dan menengok ke bawah lubang.
Gelap.
Ah, aku lupa. Lilinnya belum kunyalakan.
Aku merogoh lilin di saku. Menyalakannya dan melemparkan ke dalam lubang. Jujur, aku nggak tega melihat jasad Rachel meninggal dalam kondisi tragis. Mata yang masih terbuka, darah mengalir dari kepala hingga lutut membasahi lantai, wajah Rachel remuk sebagian akibat menghantam lantai, tubuhnya juga remuk, salah satu tulang tangannya terdorong maju hingga menembus kulit memperlihatkan tulang putih berhias darah.
Cukup.
Aku tidak bisa mendeskripsikannya lebih lanjut.
Tubuh Haniyah tidak ada di samping Rachel. Ini sungguh mengejutkanku. Sekali lagi aku mencoba mengingat kejadian Rachel lebih teliti. Rachel jatuh sambil memeluk Haniyah. Jika Rachel mati bersama Haniyah, jasadnya tentu berada di situ. Tapi ini nggak. Haniyah tidak ada di situ.
"Yang di tangga itu artinya." Kataku.
Bayangan itu. Itu Haniyah yang kutemui saat di tangga naik. Astaga. Apa-apaan ini sebenarnya.
Satu hal lagi yang harus kupastikan. Gedung satu.
***