webnovel

Si Pengertian

"Bosan" gumam Kallista, menghela nafas dan memperhatikan ke sekitar.

Setelah setelah selesai menyantap sarapan bersama, Kallisra segera merapihkan piring dan peralatan makan yang kotor dan hendak mencucinya. Namun Gavin melarangnya dan mengatakan, biar dia saja yang melakukan hal itu. Lalu ia menyuruh Kallista untuk duduk di ruang keluarga dan bersantai di sana.

Karena tidak ingin berdebat, Kallista terpaksa menuruti perintah pria itu yang telah menjadi suaminya. Tetapi kini ia merasa bosan dan tidak tahu harus melakukan apa. Sedangkan Gavin, ia sedang sibuk membersihkan rumah seorang diri.

Sebelum menikah dan masih menjadi seorang model, Kallista tidak pernah merasa bosan seperti itu. Karena hampir setiap hari selalu ada jadwal pemotretan, lalu saat malam hari ia akan pergi ke klub malam untuk bersenang-senang. Apalagi saat ia masih berpacaran dengan Samuel, hari-harinya tidak pernah terasa membosankan sedikitpun. Karena pria itu selalu membuat harinya jadi lebih berwarna.

Namun tiba-tiba ia kembali teringat dengan mantan kekasihnya itu yang telah membuat hatinya terasa begitu sakit. Sebenarnya kesalahan yang dilakukan oleh Samuel tidak terlalu fatal, dan masih bisa dimaafkan jika Kallista mau. Tetapi sayang, ia sudah terlanjur emosi sehingga tidak bisa memaafkan yang telah dilakukan oleh Samuel. Lagipula dalam kamusnya, tidak ada kata 'Maaf' untuk sebuah pengkhianatan. Apalagi jika itu dalam suatu hubungan.

"Hey"

Ia langsung terperanjat saat mendengar suara tersebut, dan dapat ia lihat Gavin yang entah sejak kapan sedang berdiri di dekat sofa yang ia duduki.

"H-Hai" ucap Kallista sedikit terbata-bata dan tersenyum canggung.

"Kok kamu melamun?" tanya Gavin mendudukkan tubuhnya di sebelah Kallista.

"Aku merasa bosan" jawab Kallista menundukkan kepala.

"Bosan?" tanya Gavin yang terlihat bingung dengan dahi yang mengerut. "Kenapa tidak menonton televisi?"

"Sudah, tapi tidak ada acara yang seru" jawab Kallista menoleh ke arah suaminya. "Maka dari itu aku merasa bosan. Ditambah aku tidak tahu ingin melakukan apa."

"Kalau begitu sekarang kamu tidak perlu merasa bosan lagi, karena aku akan menemanimu" ujar Gavin, menatap wanita itu dengan senyum yang terukir di wajahnya.

"Terima kasih" ucap Kallista kembali menundukkan kepala dan tersenyum tipis

"Oh ya, apakah kamu tahu?" tanya Gavin membuat Kallista menoleh ke arahnya. "Sekarang aku baru sadar, kalau ternyata yang kamu katakan itu benar. Hasil jepretanku selalu bagus" ujarnya, menatap Kallista dengan senyum yang terukir di wajahnya. "Bahkan bukan hanya kamu saja yang berkata seperti itu, tapi bos sekaligus sahabatku juga mengatakan hal yang sama."

"Jadi selama ini sewaktu kita kerja bersama, kamu tidak percaya dengan perkataanku itu?" tanya Kallista, menatap suaminya dengan satu alis yang terangkat.

"Bukan tidak percaya" Gavin tertawa canggung dan menundukkan kepala. "Hanya saja aku merasa kalau kamu cuma memujiku, agar aku merasa senang."

"Benar, aku memang memujimu" Kallista mengganggukkan kepala dan beralih menatap ke depan. "Namun apa yang aku katakan sesuai dengan kenyataan, bukan hanya sekedar memujimu agar kamu merasa senang. Bahkan hasil jepretanmu bukan hanya bagus tapi juga memuaskan. Dan kuyakin, Pak Logan pasti merasa kecewa saat mengetahui bahwa dirimu memutuskan untuk mengundurkan diri dari perusahaannya."

Gavin langsung terkekeh dan menggelengkan kepala setelah mendengar yang dikatakan oleh istrinya. "Kalau begitu aku ucapkan terima kasih untuk pujiannya" katanya. Lalu ia menoleh ke arah Kallista. "Tapi bagaimana tanggapan Pak Logan saat kamu mengatakan, kalau kamu ingin berhenti menjadi model?"

"Ia sempat melarangku, dan aku yakin ia pasti juga merasa kecewa. Walaupun ia tidak mengatakannya secara langsung. Tapi aku dapat melihat dari raut wajahnya" jawab Kallista dengan lesu dan menundukkan kepala. "Dan sebenarnya, aku menyayangkan hal tersebut. Karena bekerja sebagai seorang model itu menyenangkan."

"Aku tahu hal itu" Gavin mengganggukkan kepala dan mengalihkan pandangan. "Bahkan aku sangat tahu, kalau kamu mencintai profesimu itu" ujarnya. Lalu ia menoleh dan menatap Kallista. "Oleh sebab itu, aku mengizinkan kamu untuk kembali bekerja sebagai seorang model, tapi kalau kamu sudah melahirkan" ia melanjutkan dan mengukirkan senyuman.

"Benarkah? Aku boleh bekerja menjadi model lagi?" tanya Kallista yang terlihat terkejut dan juga tidak percaya.

"Iya benar" jawab Gavin mengganggukkan kepala. "Selama itu dapat membuatmu merasa senang, maka kamu boleh melakukannya dan aku tidak akan melarang. Lagipula kebahagiaanmu adalah yang utama bagiku." lanjutnya, dengan senyum yang masih terukir di wajahnya.

"Asyik! Terima kasih!" ucap Kallista bersorak gembira dan melompat ke pelukan suaminya.

Segera Gavin membalas pelukan wanita itu, mengusap punggungnya dan mengukirkan senyuman. "Iya sama-sama sa– Maaf, maksudku Kallista" katanya terkekeh canggung.

"Apakah kamu ingin mengatakan sayang?" tanya Kallista, melonggarkan pelukannya dan menatap Gavin dengan dahi yang mengerut.

"Iya, tapi aku takut kalau kamu tidak suka atau mungkin merasa tidak nyaman dengan panggilan tersebut" jawab Gavin menundukkan kepala dan mengukirkan senyuman yang terpaksa.

"Tidak apa-apa" Kallista menggeleng pelan dan tanpa melepaskan pandangan dari suaminya. "Kamu bebas ingin memanggilku dengan panggilan sayang atau apa pun, selama kamu menyukainya" ujarnya dengan senyum yang terukir di wajahnya.

"Tapi apakah kamu tidak merasa risih?" tanya Gavin dengan dahi yang mengerut.

"Tentu saja tidak" jawab Kallista menggelengkan kepala dan kembali tersenyum.

"Baiklah, kalau begitu mulai sekarang aku akan memanggilmu 'Sayang'." ucap Gavin menatap istrinya dan mengukirkan senyuman.

Namun Kallista hanya tersenyum, menatap suaminya tanpa mengatakan apa-apa. Tapi tiba-tiba ia teringat dengan sesuatu yang ingin ia katakan. "Oh ya, untuk makan siang nanti biar aku saja yang masak" ujarnya.

"Tidak perlu" Gavin menggeleng dan tersenyum, membuat Kallista mengerutkan dahi dan merasa bingung. "Karena siang ini aku berencana untuk memesan makanan melalui delivery order. Jadi kita tidak perlu memasak."

"Ya sudah, kalau begitu nanti sore aku akan memasak untuk makan malam" ucap Kallista mengganggukkan kepala dan beralih menatap ke depan. "Karena jika terus-menerus memesan makanan melalui sistem delivery order maka akan boros."

"Dan aku akan membantumu" ujar Gavin menatap Kallista dari samping.

"Tidak perlu! Biar aku saja" Kallista menggeleng cepat dan menoleh ke arah suaminya. "Lagipula tadi kan kamu sudah memasak untuk sarapan, jadi nanti sore giliran aku yang memasak untuk makan malam" katanya.

Karena tidak ingin berdebat Gavin mengganggukkan kepala dan mengalihkan pandangan. "Oh ya, bagaimana kalau nanti malam kita jalan-jalan?" ujarnya, menoleh ke arah Kallista.

"Jalan-jalan? Ke mana?" tanya Kallista yang terlihat penasaran dan menatap Gavin dengan dahi yang mengerut.

"Ke salah satu jalan yang berada di kota ini" jawab Gavin dengan senyum yang terukir di wajahnya. "Setahuku setiap malam di sana banyak pedagang kaki lima yang menjual berbagai macam makanan. Atau bisa dikatakan itu tempatnya 'Street Food'." sambungnya. "Bagaimana? Apakah kamu mau?" tanyanya, menatap Kallista dengan satu alis yang terangkat.

"Boleh" Kallista menggangguk dan tersenyum. "Dan sepertinya hal itu akan menyenangkan. Karena dapat berburu makanan pada malam hari. Atau sebut saja sebagai Wisata Kuliner" katanya.

"Benar" Gavin menggangguk dan terlihat setuju dengan yang dikatakan oleh istrinya. "Kalau begitu nanti setelah makan malam kita akan pergi ke sana" ujarnya, dan Kallista hanya menggangguk sambil tersenyum.