webnovel

Rasa Penasaran

Kallista terdiam, berfokus menatap layar televisi yang sedang menayangkan sebuah film. Namun tiba-tiba ia teringat dengan sesuatu yang mengganjal di hatinya dan ingin menanyakannya pada Gavin.

"Bolehkah aku bertanya sesuatu?" ucap Kallista yang akhirnya mengeluarkan suara, setelah sedari tadi ia hanya terdiam dan sibuk menatap layar televisi.

"Tentu" Gavin menggangguk dan menatap layar laptop yang berada di depannya. "Kau bisa menanyakan apa pun yang ingin kau tanyakan"

"Sebenarnya aku ingin menanyakan hal ini sejak lama, sebelum kita menikah dan masih menjadi teman" ujar Kallista. Lalu ia menoleh dan menatap Gavin yang duduk di sebelahnya. "Sebenarnya apa yang waktu itu membuatmu sampai mabuk berat, dan–"

"Tidak sengaja menidurimu?" Gavin menyela. Lalu ia menghela nafas, menundukkan kepala dan membuat Kallista merasa bingung. "Waktu itu aku sedang merasa kacau, karena gadis yang aku cintai, lebih tepatnya kekasihku memilih untuk menikah dengan seorang pria yang lebih kaya dariku. Dan pria itu adalah pemilik perusahaan di tempatnya bekerja. Padahal kami sudah cukup lama berpacaran, dan aku berniat untuk melamarnya suatu hari nanti. Tapi ia malah mengecewakanku dan pergi demi pria lain hanya karena harta" jelasnya.

"Maaf" ujar Kallista, membuat Gavin menoleh ke arahnya. "Aku tidak bermaksud membuatmu kembali teringat dengan mantan kekasihmu itu"

"Tidak apa-apa sayang" Gavin menggeleng dan mengukirkan senyuman. "Aku tahu kau begitu penasaran dan ingin mengetahuinya. Karena waktu itu saat kau tiba di klub malam aku sudah dalam keadaan mabuk, sebab terlalu banyak meminum minuman beralkohol. Sehingga kau tidak bisa bertanya padaku. Justru aku malah merepotkanmu karena mabuk berat sampai tidak sadarkan diri. Dan aku ingin minta maaf karena aku telah menidurimu sebelum kita menikah, walaupun saat itu aku sedang tidak sadarkan diri. Tapi aku merasa begitu menyesal dan tidak berhenti menyalahkan diriku karena sudah melakukan hal yang tidak terpuji itu padamu. Bahkan saat mengetahui bahwa kau sedang mengandung, aku sempat berpikir mungkin itu adalah anakkku."

"Tidak apa-apa, aku tidak mempermasalahkannya" jawab Kallista menggelengkan kepala dan tersenyum. "Lagipula saat itu kau sedang dalam pengaruh alkohol, sehingga kau tidak sadar melakukan hal itu" ia melanjutkan. Lalu ia beralih menatap perutnya. "Dan soal anak yang berada di dalam kandunganku ini, aku yakin ia bukanlah anakmu melainkan anak mantan kekasihku. Karena saat berpacaran kami sering melakukan hubungan Bahkan hampir setiap hari"

Gavin langsung terdiam, menatap Kallista dengan raut wajah yang langsung berubah dalam seketika.

"Maaf, aku tidak bermaksud menyakiti perasaanmu" tambah Kallista beralih menatap Gavin. "Tapi memang itu kenyataannya."

"Kau tidak perlu meminta maaf sayang" ucap Gavin, memeluk bahunya Kallista dan mengukirkan senyuman. "Karena aku tidak marah sedikitpun, walaupun aku akui kalau aku memang sempat merasa sakit hati saat mendengarnya. Namun tidak apa-apa itu tidak masalah"

"Aku benar-benar minta maaf" ucap Kallista, menatap Gavin dengan dalam. "Dan tidak seharusnya kau jatuh cinta pada seorang wanita yang seperti diriku, karena–"

Ucapannya Kallista langsung terhenti saat Gavin menaruh jari telunjuk pada bibirnya.

"Berhentilah menilai dirimu seperti itu, karena bagiku kau adalah seorang wanita yang sangat istimewa. Kau cantik, baik, pengertian, dan tidak banyak menuntut. Bahkan kau tidak merasa keberatan saat aku memboncengmu dengan menggunakan motor. Berbeda jauh dengan mantan kekasihku itu, karena ia sering mengeluh dan menyuruhku segera membeli mobil agar ia tidak lagi merasa kepanasan dan kehujanan" jelas Gavin. "Dan aku merasa begitu beruntung karena memiliki seorang wanita seperti dirimu" sambungnya dengan senyum yang terukir di wajahnya.

Sebuah senyuman langsung terukir di wajahnya Kallista setelah mendengar yang dikatakan oleh suaminya. "Terima kasih, kau membuatku merasa begitu dicintai" katanya, memeluk Gavin dan menyandarkan kepala pada bahu pria itu.

"Sama-sama sayang" Gavin menggangguk, membalas pelukannya Kallista dan tersenyum. "Sudah seharusnya aku melakukan hal itu, karena aku adalah suamimu. Dan aku berjanji akan berusaha menjadi suami dan Ayah yang baik untukmu dan bayi yang berada di dalam kandunganmu"

"Aku percaya kau bisa melakukannya" Kallista tersenyum dan tanpa melepaskan pelukannya.

Namun Gavin hanya tersenyum dan mengusap kepalanya Kallista. "Kalau begitu sekarang ayo kita tidur, karena ini sudah malam" ujarnya.

Segera Kallista melonggarkan pelukannya dan menatap Gavin. "Ayo" ia menggangguk. "Tapi apakah pekerjaanmu sudah selesai?" tanyanya mengangkat satu alis.

"Sudah" jawab Gavin mengganggukkan kepala dan mengukirkan senyuman. "Bahkan aku juga sudah mengirimkan hasil jepretanku hari ini pada Felix"

"Ya sudah kalau begitu ayo kita tidur" ucap Kallista memeluk lengan suaminya.

"Tapi tunggu sebentar" ujar Gavin membuat Kallista merasa bingung dan mengerutkan dahi. "Aku matikan laptopku dulu" katanya, menatap Veeka dan tersenyum.

"Baiklah, aku akan menunggunya" Kallista menggangguk.

Gavin hanya tersenyum dan beralih menatap layar laptopnya.

Sedangkan Kallista, ia memperhatikan pria itu dari samping tanpa mengatakan apa-apa. Namun di dalam hati ia tidak bisa berhenti merasa bersyukur karena memiliki seorang suami yang sempurna seperti Gavin. Bahkan ia tidak bisa membayangkan, bagaimana dengan nasib dirinya jika saat itu Gavin tidak datang ke apartemennya dan bersedia untuk bertanggung jawab. Mungkin saat ini ia sudah menggugurkan bayi yang berada di dalam kandungannya. Karena ia tidak mau mengandung anak dari seorang pria yang telah mengkhinatinya.

"Sudah" Gavin menoleh dan tersenyum, membuat Veeka tersadar dari lamunannya. "Sekarang ayo kita tidur" katanya.

Namun Kallista hanya menggangguk, bangkit dari sofa yang didudukinya dan hendak membalikkan tubuh.

"Tunggu"

Ia langsung menoleh saat merasakan Gavin yang menahan tangannya.

"Ada apa? Apakah ada yang tertinggal?" tanya Kallista, menatap Gavin dengan satu alis yang terangkat.

"Tidak ada" Gavin menggeleng dan mengukirkan senyuman. Lalu ia segera mengangkat Kallista dan menggendongnya, membuat wanita itu terkejut. "Tapi aku akan menggendongmu sampai ke kamar, sehingga kau tidak perlu berjalan dan menaiki anak tangga" katanya.

Kallista langsung terkekeh, menggelengkan kepala dan memeluk lehernya Gavin. "Baiklah, tapi bagaimana jika kau merasa keberatan? Karena kini beratku jadi bertambah" ucapnya.

"Tidak masalah, aku tidak akan merasa keberatan" jawab Gavin, menggelengkan kepala dan tersenyum. Lalu ia berjalan, menaiki anak tangga sambil menggendong Kallista.

Kallista hanya terdiam, menatap pria itu dengan senyum yang terukir di wajahnya. Ia benar-benar merasa begitu senang, karena memiliki seorang suami seperti Gavin, yang bisa menerima kekurangannya dan tidak peduli dengan keadaannya yang sedang mengandung anak dari pria lain.

"Sepertinya ada yang sedang terpesona denganku, sampai senyum-senyum sendiri seperti itu" ujar Gavin membuat Kallista terperanjat dan tersadar dari lamunan.

"T-Tidak" Kallista menggeleng dan berbicara sedikit terbata-bata. "Aku tidak senyum-senyum. Lagipula aku tidak sedang memperhatikanmu" bantahnya.

"Tidak usah berbohong, akui saja bahwa suamimu ini memang tampan dan mempesona" Gavin tersenyum jahil.

"Tunggu, sejak kapan kau menjadi percaya diri seperti ini tuan Gavino?" ujar Kallista mengangkat satu alisnya.

Gavin hanya terkekeh dan terus berjalan menaiki anak tangga untuk menuju kamar mereka yang berada di lantai dua rumah tersebut.