webnovel

I Will Do Everything!

Selesai pertemuannya dengan calon atasannya yang menyebalkan itu, Mila ingin segera bertemu dengan mamanya. Mila tidak akan menceritakan kejadian buruk yang dialami, apalagi tentang tawaran gila calon bosnya. Namun, Mila membutuhkan penghiburan dari sang Mama.

"Mama! Mila pulang!"

Mila baru menginjakkan kakinya di rumah sekitar pukul sebelas siang. Biasanya mamanya sedang sibuk menyiapkan makan siang.

Maka dari itu, Mila segera menuju meja makan, tetapi tidak ada tanda-tanda kehadiran mamanya di sana. Bahkan Mila sudah mencari di dapur juga tidak ada.

"Mama kemana sih?! Tumben banget pergi nggak bilang sama aku. Biasanya selalu telpon, atau paling nggak whatsapp." Mila sibuk mengotak-atik ponselnya untuk menghubungi mamanya.

Namun sebelum berhasil menghubungi, Mila bergumam, "Yahhh ... HP pakai acara lowbat segala lagi. Hmmm coba aku tanya tetangga aja deh!"

Setelahnya, Mila segera keluar dari rumah dan berjalan ke rumah tetangga sebelahnya. Kebetulan juga orangnya sedang ada di depan rumah.

"Selamat sore Bu Narsih. Maaf Bu, Mila mau tanya. Ibu tahu mama Mila kemana ya, Bu? Karena Mila cari di rumah kok nggak ada. Siapa tahu Ibu lihat atau mungkin tahu mama pergi kemana."

"Oh iya Nduk. Ibumu tadi pingsan, terus anak ibu langsung telpon ambulance!" Mila terkejut sekaligus merasa panik. Takut terjadi sesuatu pada ibunya.

"Terus mama Mila dibawa ke rumah sakit mana Bu?"

"Kalau tidak salah ke rumah sakit harapan kasih Nduk. Iya harapan kasih!"

"Baik, Bu. Terima kasih ya, Bu. Mila pamit dulu ke rumah sakit."

"Iya hati-hati, yang sabar ya, Nduk!"

Mila hanya bisa mengangguk sebagai balasan atas perkataan Ibu Narsih barusan, karena pikirannya sudah tersita penuh oleh keadaan ibunya.

***

"Mbak, pasien atas nama Daisy Isabella yang baru datang sekitar satu jam yang lalu, sekarang ada di ruang mana?" Mila bertanya pada bagian administrasi terkait keberadaan ibunya.

"Pasien saat ini masih berada di IGD, tetapi untuk ruang – eh eh Mbak!" Sebelum perkataan bagian administrasi selesai, Mila segera berlari ke arah IGD. Dia harus secepatnya melihat keadaan ibunya.

Mila berjalan dengan gusar, tangannya membuka satu per satu gorden yang menjadi pembatas pasien di IGD.

Saat dia berhasil menemukan ibunya, Mila segera mendekat, memposisikan dirinya duduk di kursi yang ada di dekat ranjang kemudian berkata, "Maafin Mila, Ma. Nggak seharusnya Mila ninggalin Mama sendiri di rumah."

Tidak ada jawaban dari Daisy, karena kondisinya memang sedang tidak sadar.

"Keluarga dari Nyonya Daisy?" Salah seorang dokter menyapanya, membuat Mila berdiri dari tempat dan menghampirinya.

"Iya, saya, Dok. Bagaimana keadaan mama saya sekarang?"

Dokter itu menerbitkan senyum, lalu berkata, "Keadaan mama kamu sudah jauh membaik. Beruntung beliau segera dilarikan ke rumah sakit, karena jika tidak, bisa saja nyawanya tidak terselamatkan."

Mila bernapas lega mendengarnya, setelah ini dia harus benar-benar mengucapkan terima kasih kepada para tetangganya yang sudah peduli dengan mamanya.

"Tetapi ..."

Mila kembali mengalihkan perhatiannya pada dokter itu. "Ada apa, Dok?"

"Dari pemeriksaan jantung yang sudah kami lakukan, sepertinya ibu Daisy membutuhkan penanganan lebih lanjut. Beliau harus melakukan operasi transplantasi jantung segera. Apa sebelumnya kamu sudah pernah mendaftarkan antrian di lembaga organ untuk mama kamu?"

Mila mengangguk, dia sudah melakukan itu 6 bulan lalu saat tiba-tiba kondisi ibunya menurun drastis.

"6 bulan yang lalu, saya mendaftarkan antrian atas nama mama dok, namun dari informasi yang saya dapatkan, jantung untuk mama saya mungkin baru tersedia sekitar enam bulan lagi. Apa tidak ada cara lain selain transplantasi donor jantung, Dok?"

"Ada. Sementara kita bisa memasangkan ring pada jantungnya selama kita menunggu antrian untuk mendapatkan donor jantung."

"Lalu, kira-kira berapa biaya operasi yang dibutuhkan untuk itu, Dok?"

Dokter itu terdiam sejenak, sedikit tidak nyaman dengan pertanyaan Mila, karena masalah administrasi seperti ini, seharusnya tidak menjadi bahasan dokter dan pasien.

"Untuk masalah itu, kamu bisa mendapatkan rincian pastinya di bagian administrasi, tetapi biasanya untuk operasi seperti ini, melihat kondisi mama kamu yang bisa dibilang cukup parah, untuk biaya operasinya saja sekitar 200 juta atau lebih."

Mila tertegun di tempat. Meski dia sudah sempat mengetahui ini sebelumnya, Mila tetap terkejut saat mendengarnya.

200 juta? Itu bukan nominal yang kecil.

"Kapan mama saya harus menjalani operasi ini, Dok?"

"3 hari. Setelah melewati waktu itu, jika operasi tersebut tidak dilaksanakan, maka saya tidak bisa menjamin bahwa kondisi Ibu Daisy akan tetap baik-baik saja."

Saat itu juga, pikiran Mila terasa kosong entah karena alasan apa. Sekarang, bagaimana dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu hanya dalam waktu tiga hari?

***

Mila duduk di kursi dekat ranjang ibunya.

Sejak pembicaraan dengan dokter tadi, Mila terus menggenggam tangan ibunya, berharap agar ibunya bisa cepat sadar, agar Mila bisa sedikit lebih tenang.

"Ya Tuhan, aku harus bagaimana sekarang? Dari mana aku mendapatkan uang sebanyak itu?" Mila bermonolog dalam hati, tidak ingin jika ibunya akan mendengar keluhannya.

Kata orang, sekalipun dalam keadaan tidak sadar, pasien terkadang masih bisa mendengar suara di sekitarnya.

"Sayang."

Suara itu. Mila mendongakkan kepala, menatap ibunya dengan sendu. Ingin rasanya Mila menangis sekarang, tetapi dia tidak mungkin melakukannya. Dia tidak ingin menangis di depan ibunya.

"Kok kamu di sini? Bukannya kamu ada interview hari ini, Sayang?"

Mila mengangguk atas pertanyaan ibunya. "Iya, Ma. Tapi sudah selesai kok. Tadi kebetulan cuma ketemu sama atasannya aja. Gak banyak tesnya."

"Terus gimana hasilnya? Anak mama yang cantik ini keterima kerja enggak?"

Untuk pertanyaan ini, bagaimana Mila harus menjawabnya? Kan dia sendiri yang sudah menolak tawaran kerja atau lebih tepatnya tawaran menikah kontrak dengan bosnya itu.

"Hasilnya baru keluar minggu depan, Ma. Mama kenapa bisa pingsan? Mama tahu nggak, Mila takut banget waktu tahu dari Bu Narsih kalau mama pingsan. Mama kenapa nggak dengerin Mila sih, Ma? Mila kan udah bilang kalau mama nggak boleh kecapean!"

"Sayang, mama nggak papa kok," ujar Daisy, sebelah tangannya mengusap surai hitam milik putrinya.

"Nggak papa tapi kenapa bisa pingsan? Mama pasti mengerjakan sesuatu yang berat-berat 'kan? Makanya mama jadi kecapean."

"Enggak kok sayang. Beneran deh. Mama tadi cuma membersihkan halaman depan sama buat masakan untuk anak mama yang cantik ini."

"Mama! Mila sudah pernah bilang nggak perlu membersihkan halaman, biar Mila aja. Pokoknya ini terakhir kali Mila dengar Mama membersihkan halaman ya! Mama cuma boleh masak buat Mila. Nggak boleh melakukan hal lain, dan harus banyak-banyak istirahat. Mila nggak mau mama drop lagi kayak gini." Mila ngomongnya mellow banget, dan itu membuat Daisy menjadi tidak tega melihat putrinya.

"Iya iya sayangnya mama yang bawel, mama janji nggak akan kecapean lagi."

"Janji sama Mila kalau mama pasti cepat sembuh?"

"Mama janji Sayang. Mama pasti akan cepat sembuh, dan nggak akan bikin anak mama yang cantik ini khawatir lagi."

Mata Mila mendadak berkaca-kaca karena perkataan mamanya barusan. Mila bisa melihat bahwa ibunya juga memiliki keinginan besar untuk sembuh.

Lalu Mila harus bagaimana sekarang? Hanya ibunya, satu-satunya keluarga yang Mila punya sekarang.

"Yaudah Mama sekarang istirahat ya biar cepat sembuh." Mila bangkit dari duduknya, tangannya terulur untuk membenarkan selimut milik ibunya.

"Makasih ya Sayang. Maaf kalau mama sering buat kamu khawatir. Mama sayang banget sama kamu, Nak!"

Mila memeluk ibunya. Kali ini air matanya benar-benar tidak bisa ditahan untuk keluar, dia menangis dalam diam, karena tidak ingin membuat ibunya sedih saat melihatnya.

Dan juga, Mila sedang berusaha untuk meyakinkan diri sendiri untuk melakukan sesuatu yang mungkin menjadi jalan satu-satunya agar ibunya bisa kembali sembuh seperti semula.

"Mila juga sayang banget sama Mama. Mila janji Mila akan melakukan apapun asal Mama bisa sembuh. Mila janji, Ma."

Sekali lagi, Mila hanya bisa mengatakan itu dalam hatinya, karena mulutnya terlalu kaku meski hanya untuk bicara. Selain itu, jika Mila membuka mulutnya, dia takut jika dia akan mengatakan yang sebenarnya pada ibunya.