Dengan santainya sosok itu berjalan mendekat. Aku yang sudah muak berniat untuk meninggalkan tempat itu, tapi kembali teringat mengenai tujuanku datang kemari. Jika aku pergi, maka bukan sikap professional hanya karena bertemu orang menyebalkan di masa lalu.
"Mbak, dia calon suami saya. Kenalkan namanya Bima," ucap perempuan itu mengenalkan kami berdua. "Dan Bima, ini mbak yang punya toko bunga."
Lelaki itu hanya mengangguk singkat tanpa menatapku. Aku yang diperlakukan seperti itu mencoba bersikap maklum. Toh, sejak dulu lelaki bernama Bima itu memang bukan orang yang ramah.
Selama sesi permbicaraan yang memakan waktu satu jam itu, akhirnya pasangan suami istri yang akan menikah itu sepakat menyerahkan masalah bunga pada toko kami. Aku mengucapkan terima kasih ketika mereka berpamitan.
Aku meminta maaf pada sopir karena menunggu terlalu lama, tapi sopir itu hanya tersenyum menanggapi ucapanku. Selama perjalanan itu aku terus memikirkan Johan, bayangan yang tadinya sempat pudar muncul kembali.
Keesokan harinya aku mendapat kunjungan tidak terduga dari Bima. Laki-laki itu mendatangi toko dengan alasan memastikan persediaan bunga untuk pernikahannya tidak kurang sedikitpun. Kebetulan aku yang berniat makan siang tidak bertemu laki-laki itu dan hanya mendengar dari salah satu pekerja mengenai kedatangannya kemari.
Sore harinya Bima kembali datang bertepatan dengan aku yang baru menutup toko. Tidak bisa menghindari pertemuan dengan laki-laki itu, aku hanya melewatinya tanpa berkata apa-apa. Namun, ucapannya membuatku menghentikan langkah.
"Gimana kabar lo, Molly?"
Kabarku sangat baik setelah bercerai dengannya. Alih-alih menjawab aku melangkah menuju jalan raya. Semoga saja ada taksi hingga tidak perlu membiarkan Bima berlama-lama di sini. Namun, dewi fortuna tidak berpihak padaku karena setengah jam menunggu, tidak ada taksi yang melintas.
"Lo butuh tumpangan pulang?" Bima berdiri di sampingku ikut memperhatikan jalanan yang ramai.
"Nggak perlu," jawabku acuh.
"Lo masih marah sama gue, Mol?" tanyanya belum menyerah.
Aku menggeleng. "Nggak, kok."
"Terus kenapa muka lo jutek banget ketemu sama gue?"
Ya, bayangkan saja bertemu mantan suami setelah yakin tidak akan pernah melihatnya di muka bumi. Siapa juga yang tidak kesal?
Aku tidak menyangka bahwa Bima tinggal di Jogja setelah sekian lama aku hidup di sini pasca bercerai darinya.
"Gue nggak percaya lo sekarang buka usaha sendiri, apa karena Johan?"
Aku tidak suka berbasa-basa terlebih urusan itu menyangkut Johan dan alasanku tinggal di Jogja. Jika Bima tidak segera pergi dari tempat ini, maka aku yang akan pergi.
Tanpa mempedulikan sekitar, aku menyeberang jalan menuju halte. Lalu lintas yang ramai menyebabkan langkahku sedikit sulit mencapai seberang. Belum lagi aku memiliki trauma hebat yang berhubungan dengan kendaraan beroda empat. Untuk alasan itu juga aku tidak pernah mengemudi sendiri hingga saat ini.
"Molly!"
Aku mendengar teriakan Johan, tapi memilih terus melangkah. Hanya saja aku terlambat menghindar saat sebuah motor menyerempet lenganku menyebabkan tubuhku terjatuh. Hampir saja aku terlindas mobil jika tidak ada tangan yang menarikku menjauh.
Jantungku berpacu lebih cepat begitu juga keringat mengalir deras di keningku. Napasku tidak normal dan aku ingin menangis keras mengingat kejadian tadi.
Aku bahkan tidak merasakan sikuku yang terluka. Namun, Bima telah menggendong tubuhku dan kembali ke toko bunga.
***
"Lo masih ceroboh kayak dulu," komentar Bima setelah selesai mengobati lukaku.
Aku menatap laki-laki itu sekilas kemudian beralih pada perban di sikuku. Untungnya hanya luka ringan karena aku benci meninggalkan bekas luka di kulitku.
"Lo masih sering melamun kalau lagi nyebrang jalan, lain kali hati-hati biar kejadian tadi nggak terulang lagi."
Aku mengangguk singkat untuk alasan kesopanan. Bagaimanapun juga Bima penolongku, jika laki-laki itu tidak ada di sana, entah apa yang akan terjadi padaku.
"Gue anter lo pulang, kebetulan searah sama tempat kerja Marline," ucap Bima lantas mengulurkan tangannya berniat membantuku berdiri.
Aku menatap tangannya dan teringat dengan kejadian dulu. Tidak ada alasan bagiku melakukan kontak fisik dengan mantan suami terutama Bima.
"Nggak usah, gue bisa minta tolong Johan jemput gue di sini," tolakku.
"Lo masih bergantung sama Johan?"
Nada suara Bima berubah, aku hapal dengan temperamennya. Menjadi istrinya selama satu tahun, aku tidak bodoh dengan kebiasaan laki-laki itu.
"Urusan gue sama Johan nggak ada hubungannya sama lo," ucapku ketus.
Aku mengeluarkan ponsel untuk menghubungi Arsa. Ternyata laki-laki itu menghubungiku sejak tadi, pantas saja aku merasakan getaran dari dalam tas.
Mengabaikan keberadaan Bima, aku memilih berbicara dengan Arsa melalui sambungan ponsel. Selama aku berbicara dengan Arsa, Bima tidak pergi dari sisiku. Lima menit kemudian aku mengakhiri sambungan itu kemudian menatap laki-laki itu tajam.
"Gue punya privasi, apa lo nggak bisa pergi?"
"Gue kira lo nggak keberatan gue di sini," ucap Bima santai.
"Makasih udah obati luka gue, tapi lo udah nggak dibutuhkan di sini."
"Lo ngusir gue setelah minta pacar lo datang ke sini." Bima berdecak. "Dari dulu lo nggak pernah berubah, selalu aja libatkan orang lain setiap kali berurusan sama gue."
"Lo nggak perlu bahas masa lalu," ucapku dingin.
"Gue udah minta maaf setelah kita resmi cerai, kenapa lo masih dendam sama gue, Mol?"
Aku tidak dendam hanya mencoba untuk melupakan pernikahan tidak menyenangkan saja. Selebihnya aku tidak peduli jika Bima berkoar tentang masa lalu.
"Gue capek harusnya lo pulang sekarang," usirku.
"Gue nggak akan pulang sebelum lihat pacar lo datang ke sini."
Sudahlah, percuma saja mengusir Johan dengan segala sikap keras kepalanya. Selama menunggu Arsa datang, aku memilih bermain game di ponsel. Lumayan membunuh waktu tanpa perlu terlibat obrolan dengan Bima.
Hanya saja laki-laki itu tidak mencari kesibukan seperti halnya diriku. Yang dilakukan Bima justru memperhatikanku secara intens. Aku yang risih mulai tidak nyaman dengan perlakuan itu.
"Lo kenapa, sih?!" sentakku kesal.
"Gue perhatikan lo sekarang berubah, nggak seperti Molly yang dulu gue kenal," ucapnya.
"Gue udah tiga puluh tahun," tegasku mengingatkan barangkali Bima mengira aku masih bocah labil.
"Lo tambah cantik."
Aku terdiam, tapi Bima beringsut mendekat. Wajahnya hanya terpaut beberapa senti dari wajahku.
"Gue nggak nyangka bisa ketemu di sini. Molly yang pernah gue sakiti ternyata nggak selemah yang gue kira. Tentang sikap gue di masa lalu, gue minta maaf, Mol."
Bima sepertinya terkena syndrome percaya diri kelewat batas. Aku ingin sekali tertawa keras melihatnya seperti orang tolol. Di masa lalu laki-laki itu terlalu percaya diri dengan mengatakan aku hanya perempuan sampah yang tidak pantas dinikahi.
Mendadak aku kasihan terhadap perempuan yang akan laki-laki itu nikahi.
Sebelum Bima melakukan sesuatu pada wajahku, ponselku berbunyi. Ternyata Arsa sudah tiba dan memintaku untuk segera keluar. Karena tidak mau mengganggu acaraku dengan seseorang.
Tunggu!
Arsa melihatku bersama Bima?
Aku mendorong tubuh Bima kemudian melangkah cepat menuju pintu keluar. Di sana aku melihat Arsa sedang menatap lurus ke arahku. Lebih tepatnya pada orang yang berdiri di belakangku.
Sial sekali!
***