webnovel

Perjanjian Ketiga

Perjanjian Ketiga adalah cerita fiksi horor berlatar belakang tradisi masyarakat Jawa. Bercerita tentang sebuah perjanjian kuno dan keramat di balik tradisi bancakan dan sesajen. Perjanjian yang dilakukan oleh Simbok atau Mbok Sum dengan baurekso Wewe Gombel ini telah mengorbankan istri pertama dan anak pertama Ndoro Sastro. Siapakah Mbok Sum? Akankah terjadi korban selanjutnya pada perjanjian yang ketiga ini? Bersiaplah jika kamu adalah anak pertama atau cucu pertama dalam keluargamu. Karena perjanjian ini selalu mengorbankan 'yang pertama' ....

bomowica · Terror
Classificações insuficientes
26 Chs

Ular Tunggon

Sejenak Wibi melepas lelah dan menghempaskan tubuhnya di kursi tamu sambil menikmati beberapa potong pisang goreng yang masih ada di atas meja.

Pikirannya melayang mengingat kembali kejadian-kejadian yang telah menimpa keluarganya semenjak insiden Hari Selasa Kliwon dahulu.

Memang benar apa yang telah diucapkan Simbok bahwa kejadian di kehidupan ini sudah ada hitungannya sendiri-sendiri. Bahkan daun yang jatuh dan debu yang tertiup angin pun ada hitungannya. Setiap kejadian merupakan bagian dari sebuah puzzle kehidupan yang lebih besar. Setiap kejadian akan mengakibatkan kejadian berikutnya begitu terus sambung-menyambung.

Mungkin saja kejadian jatuhnya cecak tersebut merupakan pertanda kelanjutan dari dilanggarnya pantangan bepergian pada Hari Selasa Kliwon beberapa bulan yang lalu. Dan akan membawa akibat pada kejadian-kejadian berikutnya di kehidupan rumah tanggaku kelak. Lambat laun pikiran Wibi mulai tersugesti dengan peran lelembut yang masuk dalam kehidupannya.

Tiba-tiba Wibi mendengar teriakan Ratri dari dalam kamarnya. Segera Wibi meninggalkan pisang goreng yang baru separuh dimakannya di atas meja dan berlari menuju ke kamarnya. Wibi mendapati Ratri dengan ekspresi ketakutan berdiri bersandar pada tembok kamar. Kedua tangannya mendekap baju daster yang belum sempat dipakainya di depan dada. Pandangan matanya ke arah tempat tidur. Sementara jendela kamar di samping tempat tidur sedikit terbuka.

"Ada apa, Rat? Ada yang mau mengganggumu?" tanya Wibi ketika sudah masuk ke dalam kamar. Ratri tidak bisa menjawabnya karena rasa ketakutan itu masih mencengkeram jiwanya.

Dengan hati-hati Wibi berjalan mendekati jendela dan menengok ke arah luar. Tidak ada siapa-siapa di sana. Bahkan tanda-tanda bekas seseorang pun tidak ditemuinya. Wibi menoleh ke arah Ratri. Dia melihat Ratri menunjuk dengan tangan kirinya.

"Bu ..., bukan ..., di jendela, Mas. Tapi di ..., di atas bantal itu!" kata Ratri dengan gugup.

Wibi mengalihkan pandangannya ke arah tempat tidur. Betapa terkejutnya Wibi saat melihat seekor ular berukuran sedang melingkar di atas bantalnya. Ular berwarna coklat kekuningan itu seperti menatap Wibi dan perlahan-lahan mengangkat kepalanya. Terlihat lidahnya bercabang dan menjulur-julur keluar.

Ada yang aneh dengan bentuk dan warna kepala ular itu. Dari kejauhan, kepala ular berwarna kuning keemasan itu seperti memakai mahkota. Sorot matanya berwarna merah memancarkan amarah. Wibi merasa merinding ketika beradu pandang dengan ular tersebut. Dan semilir angin berembus pelan, ular itu mendesis mengeluarkan aura mistis ke sekitarnya.

Ular adalah simbol kejahatan. Jika masuk rumah menandakan adanya kekuatan gaib atau lelembut yang akan mengganggu penghuninya. Sedikit banyak Wibi mulai mempercayai apa yang telah diucapkan oleh Mbok Sum. Kejadian ini dan kejadian-kejadian sebelumnya memberi tanda pada Wibi bahwa lelembut itu memang ada dan selalu mengikuti ke mana pun Ratri dan anaknya berada.

Tak lama kemudian Mbok Sum menyusul ke kamar Ratri karena mendengar jeritan Ratri. "Ada apa, Nduk?" tanya Mbok Sum.

"Ee ... itu, Mbok. Ada u ..., ular di atas bantalku!" jawab Ratri dengan nada gemetar.

"Ular ...?" Raut muka Mbok Sum berubah ketika memperhatikan ular berwarna coklat kekuningan itu. Mbok Sum segera keluar kamar dan tak lama kemudian kembali dengan membawa potongan bambu dan garam.

"Itu ular tunggon)*! lelembut yang akan mengganggu anakmu! Masih tidak percaya juga dengan firasat Simbok tentang kejatuhan cecak?" tanya Mbok Sum sambil memandang Ratri. Ratri hanya diam. Sementara ketakutan masih membayang di wajahnya.

Mbok Sum segera menyebarkan garam di lantai kamar dekat dengan tempat tidur agar ular tersebut tidak mendekat ke arah Ratri. Kemudian Mbok Sum memberikan potongan bambu kepada Wibi.

"Cepat usir ular itu ke jendela dengan bambu ini! Usir saja karena kamu tidak akan bisa membunuhnya. Itu ular tunggon, lelembut yang menguasai kebon belakang rumah kita!" kata Mbok Sum gugup. Ular itu sepertinya mengingatkan Mbok Sum akan janjinya yang belum terpenuhi pada baurekso penunggu kampungnya.

"Apa Mbok ...? Ular tunggon ...? Salah satu lelembut yang muncul di alam manusia dan aku harus berhadapan langsung dengannya?" Wibi terheran-heran dengan kejadian itu.

Dia memperhatikan ular itu lagi. Bagi Wibi ular itu terlihat nyata karena ada lekukan ke dalam pada bantal tempat ular itu berada. Ular itu menatap Wibi dengan tajam dan mengikuti gerak-gerik Wibi seolah-olah mengerti jalan pikirannya. Sesekali ular itu menoleh ke arah Ratri. Wibi khawatir ular itu akan mendekatinya dan melukainya.

Segera Wibi menjulurkan potongan bambu pemberian Mbok Sum dan berusaha mengayunkan bambu itu untuk mengusir ular tersebut ke arah jendela. Tetapi ular tunggon itu bisa berkelit menghindari ayunan bambunya.

Berkali-kali Wibi mengayunkan bambunya selalu saja ular itu bisa berkelit bahkan sempat menggigit bambu itu kuat sekali. Begitu gigitannya terlepas segera Wibi menjulurkan lagi bambunya mengenai tubuh ular itu dan berhasil mengangkatnya. Dengan sekali ayun Wibi melemparkan tubuh ular itu ke arah jendela.

Tetapi di luar dugaan Wibi, ular tunggon itu malah meloncat dan terbang ke arah Ratri.

Gusti Alloh! Ular itu bisa terbang! Benarkah ular ini lelembut? Wibi dibuat penasaran dengan kejadian itu.

Wibi segera mengarahkan bambunya mengikuti ular itu dan memukulnya dengan sekuat tenaga. Tetapi ular itu bergerak melayang sangat cepat sehingga bisa menghindar dari pukulan Wibi.

"Awas, Rat ... cepat keluar! Ular itu meloncat ke arahmu!" teriak Wibi sambil berusaha mengejarnya.

Ratri benar-benar terkejut dan tidak tahu harus berbuat apa. Begitu pula dengan Mbok Sum. Mereka berdua bagai terhipnotis sehingga hanya bisa tertegun memandangi ular tersebut yang terus bergerak melayang mendekati Ratri sambil mengeluarkan cahaya tipis kuning keemasan yang menyelubungi tubuhnya. Dengan mulut terbuka lebar ular tersebut meluncur dengan sangat cepat bagaikan anak panah terlepas dari busurnya menuju perut Ratri.

"Ratri ...!!!" Teriakan Wibi berhasil menyadarkan Ratri dan secara refleks Ratri melemparkan baju daster yang belum sempat dipakainya. Lemparan itu tepat mengenai tubuh ular tunggon dan menutupinya.

Tetapi diluar dugaan Ratri, cahaya kuning keemasan itu dapat menembus baju daster dan terus meluncur mengenai perutnya. Dia melihat cahaya itu merambat mengelilingi perutnya sendiri membentuk suatu ikatan yang kuat. Begitu kuatnya ikatan itu menyebabkan rasa sakit pada perutnya.

Sementara itu baju daster yang dilempar Ratri jatuh di atas butiran-butiran garam yang berserakan di lantai. Wibi tidak menyadari apa yang sedang terjadi pada diri Ratri. Dia tidak melihat cahaya itu sehingga dengan cepat dan berkali-kali Wibi memukulkan bambunya pada baju daster yang tergeletak di lantai.

Tetapi dia merasa pukulan bambunya hanya mengenai lantai saja dan tidak terasa ada sesuatu di dalam sana. Segera Wibi menghentikannya dan mengangkat baju daster yang tergolek dilantai dengan bambunya.

Kosong ...!

Tidak ada seekor ular pun di sana. Wibi menengok ke arah Ratri. Betapa terkejutnya Wibi ketika melihat Ratri yang hanya mengenakan pakaian dalam saja sedang berdiri bersandar pada tembok kamar dengan ekspresi wajah ketakutan menahan sakit. Tangan kiri Ratri memegangi perutnya. Dia melihat ke arah Wibi sambil menjulurkan tangan kanannya agar Wibi bisa meraihnya.

"Mas Wibi, tolong aku ...!" kata Ratri dengan suara lemah.

Wibi segera berlari mendekatinya. Tetapi langkahnya terhenti ketika melihat cahaya kuning keemasan masih melilit di perut Ratri dan bergerak-gerak bagai seekor ular. Wibi tidak tahu harus berbuat apa. Sejenak dia hanya bisa menahan nafas melihat kejadian itu.

"Duh, Gusti Alloh ... apa yang harus aku lakukan? Berikanlah keselamatan pada Ratri," Wibi berdoa dalam hati.

Wibi melihat tubuh Ratri semakin lemah dan kedua kakinya sudah tidak kuasa lagi menopang beban tubuhnya. Terlihat tubuhnya semakin melorot ke bawah. Dan tangan itu masih menjulur berusaha agar Wibi meraihnya.

*****

Catatan :

Ular tunggon : lelembut/makhluk halus berujud ular yang penunggu tempat tertentu.