Setelah aku mampu menerima bahwa guru bahasa Latinku
seekor kuda, kami menikmati acara jalan-jalan berkeliling
perkemahan, tetapi aku berhati-hati agar tidak berjalan di
belakangnya. Aku sudah pernah beberapa kali bertugas
membersihkan kotoran di Pawai Hari Thanksgiving dari toko
Macy, dan, maaf saja, aku tak memercayai bagian pantat
Chiron sebesar aku memercayai bagian depannya.
Kami melewati lapangan bola voli. Beberapa pekemah
saling menyikut. Seseorang menunjuk tanduk minotaurus
yang kubawa. Seorang lagi berkata, "Dia orangnya."
Sebagian besar pekemah lebih tua dariku. Teman-teman
satir mereka lebih besar daripada Grover, yang kesemuanya
berlari-lari mengenakan kaus PERKEMAHAN BLASTERAN
warna jingga, tanpa pakaian lain untuk menutupi kaki
belakang gondrong mereka yang telanjang. Aku biasanya
tidak pemalu, tetapi cara mereka menatapku membuatku
rikuh. Aku merasa mereka mengharapkan aku bersalto atau
apa.
Aku menoleh ke belakang, ke rumah pertanian itu. Rumah
itu jauh lebih besar daripada yang sebelumnya kusadari
tingginya empat tingkat, berwarna biru langit dengan
pinggiran putih, seperti sanggraloka tepi laut kelas atas. Aku
sedang memperhatikan gada-gada berbentuk elang
perunggu di atap, ketika sesuatu menarik perhatianku,
sebuah bayangan di jendela teratas di cerucup loteng.
Sesuatu menggerakkan tirai, sedetik saja, dan aku
merasakan kesan kuat bahwa aku sedang diamati.
"Ada apa di atas sana?" tanyaku kepada Chiron.
Dia melihat ke arah yang kutunjuk, dan senyumnya
memudar. "Cuma loteng."
"Ada yang tinggal di sana?"
"Tak ada," katanya tegas. "Tak satu pun makhluk hidup."
Aku merasa bahwa dia berbicara jujur. Tetapi, aku juga
yakin ada yang menggerakkan tirai itu.
"Ayo, Percy," kata Chiron, nadanya yang ringan kini agak
dipaksakan. "Banyak yang harus dilihat."
Kami melintasi ladang stroberi. Para pekemah memetik
berkeranjang-keranjang stroberi sementara seorang satir
memainkan lagu dengan seruling.
Chiron bercerita bahwa perkemahan itu menghasilkan
panen yang lumayan untuk dijual ke restoran-restoran New
York dan Gunung Olympus. "Ini menutupi pengeluaran
kami," katanya menjelaskan. "Dan menanam stroberi ini
hampir tak memerlukan usaha."
Katanya, Pak D berpengaruh baik pada tumbuhan buah
semuanya tumbuh melimpah saat dia ada. Pengaruh itu
paling bagus pada anggur untuk minuman, tetapi Pak D
dilarang menanam itu, jadi mereka menanam stroberi saja.
Aku mengamati si satir bermain seruling. Musiknya
menyebabkan barisan-barisan kumbang meninggalkan petak
stroberi ke segala arah, seperti pengungsi yang melarikan
diri dari api. Aku bertanya-tanya apakah Grover dapat
menyihir dengan musik seperti itu. Aku bertanya-tanya
apakah dia masih di dalam rumah pertanian, disemprot oleh
Pak D.
"Grover nggak akan dihukum terlalu berat, kan?" tanyaku
kepada Chiron. "Maksudku … dia pelindung yang baik.
Sungguh."
Chiron menghela napas. Dia menanggalkan jaket wol dan
menyampirkannya di punggung kudanya seperti pelana.
"Grover punya impian besar, Percy. Mungkin besarnya sudah
tak lagi masuk akal. Untuk mencapai tujuannya, dia
pertama-tama harus menunjukkan keberanian besar, dengan
cara menjadi penjaga yang berhasil, yaitu mencari pekemah
baru dan membawanya dengan selamat ke Bukit Blasteran."
"Tapi dia berhasil kan!"
"Aku mungkin setuju denganmu," kata Chiron. "Tapi bukan
aku yang bertugas menentukan hal itu. Dionysus dan Dewan
Tetua Berkuku Belah yang harus memutuskan. Sayangnya,
mungkin mereka tak akan menganggap tugas ini berhasil
dilaksanakan. Bagaimana pun, Grover kehilangan dirimu di
New York. Lalu ada nasib ibumu yang … eh … tidak terlalu
baik. Belum lagi kenyataan bahwa Grover sedang pingsan
saat kau menyeretnya melewati batas wilayah. Dewan
mungkin mempertanyakan apakah hal ini menunjukkan
keberanian di pihak Grover."
Aku ingin protes. Semua peristiwa itu bukan salah Grover.
Aku juga merasa sangat-sangat bersalah. Andai aku tidak
meninggalkan Grover di stasiun bus, dia mungkin tidak akan
terkena masalah.
"Dia akan mendapat kesempatan kedua, kan?"
Chiron meringis. "Sayangnya, tugas ini adalah kesempatan
kedua Grover, Percy. Dewan sebenarnya agak enggan
memberinya kesempatan ini, setelah peristiwa pada tugas
pertama, lima tahun yang lalu. Sungguh, aku menasihatinya
agar menunggu lebih lama sebelum mencoba lagi. Dia masih
sangat kecil untuk usianya …."
"Berapa umurnya?"
"Oh, dua puluh delapan."
"Apa! Dan dia masih kelas enam?"
"Kecepatan tumbuh satir itu setengah kecepatan manusia,
Percy. Selama enam tahun terakhir, Grover setara dengan
anak SMP."
"Seram sekali."
"Memang," Chiron setuju. "Namun, Grover tetap termasuk
yang pertumbuhannya terlambat, bahkan untuk ukuran satir,
dan belum terlalu mahir sihir rimba. Namun, dia
bersemangat mengejar impiannya. Mungkin sekarang dia
harus mencari karier lain …."
"Itu nggak adil," kataku. "Apa yang terjadi pada tugas
pertama? Memangnya seburuk itu?"
Chiron cepat berpaling. "Mari kita lanjutkan ke tempat
lain."
Tetapi, aku belum siap melepaskan topik itu. Suatu hal
terlintas di kepalaku ketika Chiron berbicara tentang nasib
ibuku, seolah-olah dia sengaja menghindari kata kematian.
Benih gagasan api kecil penuh harap mulai terbentuk dalam
benakku.
"Chiron," kataku. "Kalau dewa-dewi dan Olympus dan
semuanya nyata ...."
"Ya, Nak?"
"Apa itu berarti Dunia Bawah Tanah juga nyata?"
Raut Chiron menggelap.
"Ya, Nak." Dia berhenti sejenak, seolah memilih kata
dengan hati-hati. "Ada tempat yang dituju arwah setelah
kematian. Tetapi sementara ini … sampai kita tahu lebih
banyak … kuanjurkan kau menyingkirkan itu dari benakmu."
"Apa maksud Bapak, 'sampai kita tahu lebih banyak'?"
"Ayo, Percy. Kita lihat-lihat hutan."
Sementara kami mendekat, kusadari betapa besarnya hutan
itu. Hutan itu meliputi setidaknya seperempat lembah itu,
dengan pohon yang begitu rapat dan lebat, kau bisa
membayangkan bahwa tak ada yang pernah masuk ke sana
sejak orang Pribumi Amerika.
Chiron berkata, "Hutan itu dilengkapi pasokan, kalau kau
ingin mencoba peruntungan, tapi jangan masuk tanpa
senjata."
"Pasokan apa?" tanyaku. "Senjata apa?"
"Lihat saja nanti. Permainan tangkap bendera diadakan
malam Sabtu. Kau punya perisai dan pedang sendiri?"
"Sendiri ?"
"Tidak," kata Chiron. "Tentu kau tidak punya. Kurasa
ukuran lima akan pas. Nanti aku ke gudang senjata."
Aku ingin bertanya, perkemahan musim panas macam apa
yang memiliki gudang senjata, tetapi terlalu banyak hal lain
yang perlu dipikirkan, jadi acara keliling itu dilanjutkan. Kami
melihat arena panah, danau kano, istal (yang tampaknya tak
begitu disukai Chiron), arena lembing, amfiteater bernyanyi
bersama, dan arena yang menurut Chiron merupakan
tempat pertempuran pedang dan tombak.
"Pertempuran pedang dan tombak?" tanyaku.
"Tanding antarpondok dan semacamnya," dia
menjelaskan. "Tidak mematikan. Biasanya. Oh ya, itu aula
makan."
Chiron menunjuk sebuah paviliun di udara terbuka, yang
dibingkai tiang-tiang putih bergaya Yunani, di atas bukit
yang menghadap ke laut. Ada selusin meja piknik dari batu.
Tak ada atap. Tak ada dinding.
"Bagaimana kalau hujan?" tanyaku.
Chiron menatapku seolah-olah aku agak aneh. "Kita tetap
harus makan, kan?" Kuputuskan untuk tak melanjutkan topik
itu.
Akhirnya, dia mengajakku melihat pondok. Semuanya
berjumlah dua belas, terlindung pepohonan di tepi danau.
Pondok itu ditata berbentuk U, dengan dua di dasar dan lima
berbaris di kedua sisi. Dan tak pelak lagi, semuanya adalah
kumpulan gedung paling aneh yang pernah kulihat.
Selain kenyataan bahwa setiap pondok dipasangi nomor
kuningan besar di atas pintu (nomor ganjil di kiri, nomor
genap di kanan), semuanya sama sekali tidak mirip. Nomor
sembilan memiliki beberapa cerobong asap, seperti pabrik
mungil. Tembok pondok nomor empat ditumbuhi sulur tomat
dan atapnya terbuat dari rumput sungguhan. Nomor tujuh
tampaknya terbuat dari emas murni, yang begitu berkilau
dalam cahaya matahari sehingga hampir tak bisa dipandang.
Semuanya menghadap ke halaman bersama yang berukuran
sekitar besar lapangan sepak bola, ditebari patung Yunani,
air mancur, petak bunga, dan beberapa keranjang bola
basket (yang lebih cocok dengan seleraku).
Di tengah lapangan terdapat lubang perapian besar yang
bertepi batu. Meskipun udara sore itu panas, perapian itu
membara. Seorang gadis sekitar sembilan tahun menjaga
api, menyodok-nyodok arang dengan tongkat.
Sepasang pondok di ujung lapangan, nomor satu dan dua,
mirip dengan pusara sepasang suami-istri, berupa dua kubus
besar dari marmer putih, dengan tiang-tiang besar di depan.
Pondok satu adalah pondok terbesar dan terluas di antara
kedua belas pondok.
pintu-pintu perunggunya yang mengilat
cemerlang seperti hologram, sehingga dari berbagai sudut
tampak seolah-olah sambaran petir menyambar di
permukaannya. Pondok dua entah bagaimana tampak lebih
anggun, tiangnya lebih ramping, dihiasi dengan buah delima
dan bunga-bungaan. Dinding-dindingnya diukir dengan
gambar merak.
"Zeus dan Hera?" tebakku.
"Benar," kata Chiron.
"Pondok mereka sepertinya kosong."
"Beberapa pondok memang kosong. Benar. Tak ada yang
pernah tinggal di pondok satu dan dua."
Oke. Jadi, setiap pondok memiliki dewa yang berbeda-
beda, seperti maskot. Dua belas pondok untuk dua belas
Dewa-Dewi Olympia. Tetapi kenapa ada yang kosong?
Aku berhenti di depan pondok pertama di sebelah kiri,
pondok tiga.
Pondok itu tidak semewah pondok satu, tetapi panjang
dan rendah dan kokoh. Tembok luarnya terbuat dari batu
kelabu kasar yang dihiasi dengan potongan cangkang laut
dan karang, seolah-olah lempeng-lempeng itu dipotong
langsung dari dasar laut. Aku mengintip ke dalam pintu yang
terbuka dan Chiron berkata, "Sebaiknya jangan!"
Sebelum sempat menarikku mundur, aku menangkap
aroma asin bagian dalam, seperti angin di pesisir di
Montauk. Dinding bagian dalamnya berpendar seperti
abalone
.Ada enam tempat tidur tingkat yang kosong,
dengan seprai sutra terbaik. Tapi tak ada tanda-tanda
pernah ditiduri. Tempat itu terasa begitu sedih dan sepi, aku
lega ketika Chiron meletakkan tangannya di bahuku dan
berkata, "Mari, Percy."
Sebagian besar pondok lain dipenuhi pekemah.
Nomor lima merah cerah catnya benar-benar jelek, seolah-
olah warna itu disiramkan dengan ember dan tangan.
Atapnya dilapisi kawat berduri. Di atas pintu tergantung
kepala celeng liar yang diawetkan, dan matanya seolah-olah
mengikutiku. Di dalam terlihat sekelompok anak yang
bertampang jahat, baik lelaki maupun perempuan, bermain
panco dan bertengkar sementara musik rock membahana.
Yang terlantang adalah seorang gadis yang berusia mungkin
tiga belas atau empat belas. Dia mengenakan kaus
PERKEMAHAN BLASTERAN ukuran XXXL di balik jaket loreng
tentara. Dia melihatku dan menyeringai jahat kepadaku. Dia
mengingatkanku pada Nancy Bobofit, meskipun gadis
pekemah ini jauh lebih besar dan lebih tangguh, dan
rambutnya panjang dan tipis, dan warnanya cokelat bukan
merah.
Aku terus berjalan, berusaha menghindari kaki-kaki
Chiron. "Centaurus lain belum kelihatan," komentarku.
"Tidak," kata Chiron sedih. "Kerabatku itu bangsa yang liar
dan barbar, sayangnya. Mereka biasanya berada di alam liar,
atau di acara olahraga besar. Tapi tak akan terlihat di sini."
"Bapak bilang, nama Bapak Chiron. Apakah Bapak benar-
benar …."
Dia tersenyum kepadaku. "Chiron sungguhan dari cerita-
cerita itu? Pelatih Hercules dan lain-lain? Ya, Percy, itu aku."
"Tapi, bukankah semestinya Bapak sudah mati?"
Chiron berhenti sejenak, seolah-olah pertanyaan itu
memikat perhatiannya. "Aku benar-benar tak tahu soal
semestinya. Sesungguhnya, aku tidak bisa mati. Soalnya,
berabad-abad yang lalu para dewa mengabulkan
permintaanku. Aku boleh melanjutkan pekerjaan yang
kucintai. Aku boleh menjadi guru para pahlawan sepanjang
umat manusia membutuhkan. Aku telah memperoleh banyak
dari permintaan itu … dan telah mengorbankan banyak hal.
Tapi aku masih di sini, jadi aku hanya bisa berasumsi bahwa
aku masih dibutuhkan."
Aku berpikir tentang menjadi guru selama tiga ribu tahun.
Itu tak akan masuk menjadi Sepuluh Hal yang Paling
Kuinginkan.
"Apa Bapak tidak pernah bosan?"
"Tidak, tidak," katanya. "Sangat membuat depresi,
kadang-kadang, tetapi tak pernah bosan."
"Kenapa depresi?"
Chiron tampaknya menjadi tuli lagi.
"Eh, lihat," katanya. "Annabeth menunggu kita."
Gadis pirang yang kutemui di Rumah Besar sedang membaca
buku di depan pondok terakhir di sebelah kiri, nomor
sebelas.
Ketika kami sampai di sana, dia memandangku penu
kritik, seolah-olah dia masih teringat seberapa banyak aku
mengiler.
Aku berusaha melihat apa yang sedang dibacanya, tetapi
aku tak bisa membaca judulnya. Tadinya kusangka
disleksiaku kumat lagi. Lalu, kusadari bahwa judulnya
memang bukan berbahasa Inggris. Hurufnya kelihatannya
huruf Yunani. Benar-benar Yunani. Ada gambar berbagai kuil
dan patung dan tiang berbagai jenis, seperti yang ada dalam
buku arsitektur.
"Annabeth," kata Chiron, "aku ada mata pelajaran panah
ahli pada tengah hari. Kau bisa mengambil alih Percy?"
"Iya, Pak."
"Pondok sebelas," kata Chiron memberitahuku, menunjuk
pintu. "Semoga betah."
Di antara semuanya, pondok sebelas ini yang paling mirip
dengan pondok perkemahan musim panas yang biasa, dan
tampak tua. Ambangnya sudah lapuk, cat cokelatnya
terkelupas. Di atas ada salah satu lambang dokter, tongkat
bersayap yang dililit dua ekor ular. Apa namanya …?
Caduceus.
Bagian dalam pondok itu dipenuhi orang, baik perempuan
maupun lelaki, jauh lebih banyak daripada jumlah tempat
tidur tingkat. Kantong tidur tersebar di seluruh lantai.
Suasananya mirip gimnasium yang dijadikan pusat
pengungsian oleh Palang Merah.
Chiron tidak masuk. Pintu itu terlalu rendah baginya. Tapi,
ketika para pekemah melihatnya, mereka semua berdiri dan
membungkuk hormat.
"Baiklah," kata Chiron. "Selamat berjuang, Percy. Sampai
ketemu saat makan malam."
Dia berderap menuju arena panah.
Aku berdiri di pintu, melihat anak-anak itu. Mereka sudah
tidak membungkuk lagi. Mereka menatapku, mengukur-ukur.
Aku kenal rutinitas ini. Aku sudah mengalaminya di cukup
banyak sekolah.
"Jadi?" Annabeth mendesak. "Ayo masuk."
Tentu saja aku tersandung saat memasuki pintu dan
tampak bodoh. Beberapa pekemah cekikikan, tetapi tak ada
yang berkomentar.
Annabeth mengumumkan, "Percy Jackson, kuperkenalkan
pondok sebelas."
"Biasa atau belum ditentukan?" tanya seseorang.
Aku tak tahu harus menjawab apa, tetapi Annabeth
berkata, "Belum ditentukan."
Semua orang mengerang.
Seorang anak lelaki yang lebih tua dari yang lain
melangkah maju. "Nah, nah, pekemah. Itulah tujuan kita
berada di sini. Selamat datang, Percy. Kau boleh menempati
lantai di sana."
Anak itu berumur sekitar sembilan belas tahun, dan
kayaknya anaknya cukup asyik. Dia jangkung dan berotot,
dengan rambut warna pasir yang dipotong pendek dan
senyum ramah. Dia mengenakan tank top jingga, celana
tujuh per delapan, sandal, dan kalung kulit berhias lima
manik warna-warni dari tanah liat. Satu-satunya hal yang
membuat tidak nyaman soal penampilannya adalah bekas
luka putih dan tebal yang terentang dari tepat di bawah
mata kiri ke rahang, seperti luka lama dari sabetan pisau.
"Ini Luke," kata Annabeth, dan entah bagaimana suaranya
terdengar berbeda. Aku melirik dan berani sumpah wajah
Annabeth memerah. Dia melihatku melihatnya, dan rautnya
mengeras lagi. "Dia pembinamu sementara ini."
"Sementara ini?" tanyaku.
"Kau belum ditentukan," Luke menjelaskan dengan sabar.
"Mereka tak tahu harus menempatkanmu di pondok mana,
jadi kau tinggal di sini dulu. Pondok sebelas menerima
semua pendatang baru, semua tamu. Tentu saja kami mau
menerima. Hermes, pelindung kami, adalah Dewa Pejalan."
Aku melihat bagian lantai kecil yang diberikan kepadaku.
Aku tak punya apa-apa untuk diletakkan di sana untuk
menandainya sebagai milikku, tak ada koper, pakaian,
kantong tidur. Hanya tanduk Minotaurus itu. Aku
mempertimbangkan meletakkan itu, tetapi lalu aku ingat
bahwa Hermes juga Dewa Pencuri.
Aku mengedarkan pandangan, melihat wajah para
pekemah. Sebagian bermuka masam dan curiga, sebagian
menyeringai tolol, sebagian memandangku seolah-olah
sedang menunggu kesempatan mencopetku.
"Berapa lama aku akan di sini?" tanyaku.
"Pertanyaan bagus," kata Luke. "Sampai kau ditentukan."
"Berapa lama sampai aku ditentukan?"
Semua pekemah tertawa.
"Ayo," kata Annabeth kepadaku. "Biar kuperlihatkan
lapangan voli."
"Aku sudah lihat."
"Ayo."
Dia menyambar pergelangan tanganku dan menyeretku
keluar. Terdengar anak-anak pondok sebelas tertawa di
belakangku.
Ketika kami sudah menjauh beberapa meter, Annabeth
berkata, "Jackson, kau harus berusaha lebih keras daripada
itu."
"Apa?"
Dia memutar mata dan menggerutu, "Aku nggak percaya
aku pernah berpikir bahwa kau orangnya."
"Kau kenapa sih?" Aku mulai marah. "Aku cuma tahu, aku
membunuh si manusia-banteng "
"Jangan bicara seperti itu!" kata Annabeth. "Apa kau tahu,
berapa banyak anak di perkemahan ini yang ingin mendapat
kesempatan yang kau dapatkan?"
"Kesempatan dibunuh?"
"Kesempatan melawan minotaurus!
Memangnya menurutmu untuk apa kami berlatih?"
Aku menggeleng. "Dengar. Jika makhluk yang kulawan
benar-benar si Minotaurus, makhluk yang sama dengan yang
dalam cerita-cerita …."
"Ya."
"Berarti hanya ada satu."
"Ya."
"Dan dia sudah mati jutaan tahun yang lalu kan? Dibunuh
Theseus dalam labirin. Jadi …."
"Monster nggak bisa mati, Percy. Bisa dibunuh. Tapi nggak
mati."
"Makasih banyak. Semuanya jadi jelas sekarang."
"Mereka nggak punya jiwa, seperti kau dan aku. Mereka
bisa dibuyarkan beberapa lama, mungkin bahkan selama
seluruh hidup kita kalau kita beruntung. Tetapi mereka itu
kekuatan purba. Chiron menyebutnya arketipe. Pada
akhirnya mereka akan terbentuk kembali."
Aku teringat Bu Dodds. "Maksudmu kalau aku membunuh
satu, secara tak sengaja, dengan pedang—"
"Sang Eri … maksudku, guru matematikamu. Benar. Dia
masih ada. Kau hanya membuatnya sangat-sangat marah."
"Dari mana kau tahu soal Bu Dodds?"
"Kau mengigau."
"Tadi kau hampir menyebut namanya. Seorang erinyes?
Itu penyiksa bawahan Hades, ya?"
Annabeth melirik tanah dengan gugup, seolah-olah dia
menduga tanah akan terbuka dan menelannya. "Nama
mereka nggak boleh disebut-sebut, tahu. Di sini sekalipun.
Kita sebut mereka Makhluk Baik, jika memang harus
dibicarakan."
"Repot. Apakah ada yang bisa kita bicarakan tanpa
menimbulkan guruh?" Aku terdengar merengek, bahkan bagi
diriku sendiri, tetapi saat itu aku tak peduli. "Kenapa, sih,
aku harus tinggal di pondok sebelas? Kenapa semua orang
berkumpul berjejal-jejal? Masih banyak tempat tidur kosong
di sana."
Aku menunjuk beberapa pondok pertama, dan Annabeth
memucat. "Kita nggak bisa asal memilih pondok, Percy. Itu
tergantung siapa kedua orangtuamu. Atau … salah satu
orangtuamu."
Dia menatapku, menungguku mencernanya.
"Ibuku Sally Jackson," kataku. "Dia bekerja di toko permen
di Grand Central Station. Setidaknya, dulu."
"Maaf soal ibumu, Percy. Tapi bukan itu maksudku. Aku
bicara soal orangtuamu yang satu lagi. Ayahmu."
"Dia sudah mati. Aku nggak pernah kenal dia."
Annabeth menghela napas. Tampak jelas bahwa dia sudah
pernah mengalami percakapan ini dengan anak-anak lain.
"Ayahmu belum mati, Percy."
"Bagaimana kau bisa bilang begitu? Memangnya kau
kenal?"
"Nggak, jelas nggak."
"Jadi, bagaimana kau bisa bilang—"
"Karena aku kenal kau. Kau nggak mungkin berada di sini
kalau kau bukan seperti kami."
"Kau tak tahu apa-apa tentangku."
"Oh ya?" Dia mengangkat sebelah alis. "Pasti kau sering
pindah-pindah sekolah. Pasti kau dikeluarkan dari sebagian
besar sekolah itu."
"Bagaimana—"
"Didiagnosis mengidap disleksia. Mungkin GPPH juga."
Aku berusaha menelan rasa maluku. "Tapi apa
hubungannya itu dengan hal lain?"
"Jika digabung, itu pertanda yang hampir pasti. Huruf
seperti melayang-layang pada halaman kalau kau membaca
kan? Itu karena otakmu terprogram untuk membaca huruf
Yunani kuno. Dan GPPH—kau impulsif, nggak bisa diam di
kelas. Itu refleks medan perang. Dalam pertempuran
sungguhan, refleks itu membuatmu bertahan hidup. Dan soal
sulit memperhatikan, itu karena kau melihat terlalu banyak,
Percy, bukan terlalu sedikit. Indramu lebih baik daripada
manusia biasa. Tentu saja para guru ingin kau diobati.
Sebagian besar gurumu itu monster. Mereka nggak ingin kau
melihat wujud mereka sesungguhnya."
"Kau sepertinya … kau mengalami hal yang sama?"
"Sebagian besar anak di sini begitu. Kalau kau nggak
seperti kami, kau nggak mungkin berhasil bertahan hidup
melawan Minotaurus, apalagi ambrosia dan nektar."
"Ambrosia dan nektar."
"Makanan dan minuman yang kami berikan supaya kau
sembuh. Makanan itu bisa membunuh anak biasa. Mengubah
darahmu menjadi api dan tulangmu menjadi pasir dan kau
pasti mati. Hadapilah. Kau anak blasteran."
Blasteran.
Aku dikitari begitu banyak pertanyaan, aku tak tahu harus
mulai dari mana.
Lalu sebuah suara serak berseru. "Wah! Anak baru!"
Aku menoleh. Si gadis besar dari pondok merah jelek
sedang melenggang ke arah kami. Ada tiga gadis lain di
belakangnya, semuanya besar dan jelek dan jahat seperti
dia, semuanya mengenakan jaket loreng.
"Clarisse," Annabeth menghela napas. "Asah saja
tombakmu sana!"
"Tentu, Nona Tuan Putri," kata si gadis besar. "Supaya aku
bisa menusukmu dengan tombak itu malam Sabtu."
"Erre es korakas!" kata Annabeth, yang entah bagaimana
kupahami sebagai bahasa Yunani untuk 'Pergi ke burung
gagak sana!' meskipun aku punya firasat bahwa ucapan itu
adalah umpatan yang lebih kasar daripada yang terdengar.
"Kau nggak mungkin bisa."
"Kami akan mengganyangmu," kata Clarisse, tetapi
matanya berkedut. Mungkin dia nggak yakin bisa
melaksanakan ancamannya. Dia menoleh kepadaku. "Siapa
cebol kecil ini?"
"Percy Jackson," kata Annabeth, "perkenalkan Clarisse,
Putri Ares."
Aku berkedip. "Maksudmu … Dewa Perang itu?"
Clarisse mencibir. "Kau punya masalah dengan itu?"
"Nggak," kataku sambil memulihkan otakku. "Itu
menjelaskan bau busuk yang kucium."
Clarisse menggeram. "Ada upacara inisiasi untuk anak
baru, Prissy."
"Percy."
"Terserah. Ayo, kutunjukkan."
"Clarisse " Annabeth berusaha berkata.
"Jangan ikut campur, Sok Pintar."
Annabeth tampak tersinggung, tetapi dia tidak ikut
campur, dan aku tidak terlalu ingin dibantu olehnya. Aku
anak baru. Aku harus meraih reputasiku sendiri.
Aku menyerahkan tanduk minotaurusku kepadanya dan
bersiap-siap berkelahi, tetapi tahu-tahu saja Clarisse sudah
mencengkeram leherku dan menyeretku ke gedung balok
semen yang langsung kutahu adalah kamar mandi.
Aku menendang-nendang dan meninju-ninju. Aku sudah
sering berkelahi, tetapi Clarisse si gadis bongsor ini punya
tangan seperti besi. Dia menyeretku ke kamar mandi anak
perempuan. Ada jajaran toilet di satu sisi dan jajaran bilik
pancuran di sisi lain. Baunya seperti kamar mandi umum
mana pun, dan aku berpikir sebatas yang bisa kupikir
dengan Clarisse menjenggut rambutku bahwa jika tempat ini
milik para dewa, semestinya mereka mampu membiayai
toilet yang lebih berkelas.
Teman-teman Clarisse semua tertawa, dan aku berusaha
menemukan kekuatan yang kugunakan untuk melawan
Minotaurus, tetapi kekuatan itu tidak ada.
"Tingkahnya seolah-olah dia anak 'Tiga Besar' saja," kata
Clarisse sambil mendorongku ke salah satu toilet. "Mana
mungkin. Minotaurus itu barangkali mati ketawa, melihat
tampangnya yang begitu tolol."
Teman-temannya tertawa licik.
Annabeth berdiri di sudut, menonton melalui sela-sela jari.
Clarisse membuatku berlutut dan membungkukkan
tubuhku dan mulai mendorong kepalaku ke mangkuk toilet.
Baunya seperti pipa berkarat dan, yah, seperti benda yang
masuk ke toilet. Aku berusaha mengangkat kepala. Aku
menatap air kotor itu, berpikir, aku tak akan masuk ke situ.
Tak akan.
Lalu, sesuatu terjadi. Terasa sentakan di perutku.
Kudengar pipa-pipa itu menggemuruh, bergetar.
Cengkeraman Clarisse pada rambutku melonggar. Air
muncrat dari toilet, melengkung melewati kepalaku, dan
tahu-tahu saja aku terkapar di ubin kamar mandi sementara
Clarisse berteriak-teriak di belakangku.
Aku menoleh persis ketika air muncrat dari toilet lagi,
telak mengenai wajah Clarisse, begitu keras sehingga dia
terjengkang. Air itu terus menyemburnya seperti semprotan
slang pemadam kebakaran, mendorongnya mundur ke
dalam bilik pancuran.
Dia meronta-ronta, megap-megap, dan teman-temannya
mulai menghampirinya. Tetapi lalu toilet lain meledak juga,
dan enam arus air toilet lagi mendorong mereka mundur.
Pancuran juga bertingkah, dan bersama-sama semua
perlengkapan menyemprot gadis-gadis jaket loreng itu
keluar kamar mandi, memutar-mutar mereka seperti sampah
yang digelontor.
Begitu mereka keluar pintu, kurasakan sentakan di
perutku mereda, dan air itu mati secepat dimulainya.
Seluruh kamar mandi banjir. Annabeth tidak terkecuali.
Dia basah kuyup, tetapi tidak terdorong keluar pintu. Dia
berdiri di tempat yang persis sama, menatapku terlongong-
longong.
Aku melihat ke bawah dan menyadari bahwa aku duduk di
satu-satunya tempat kering di seluruh kamar. Ada lingkaran
lantai kering di sekelilingku. Pakaianku tidak terkena setetes
air pun. Setetes pun tidak.
Aku berdiri, kakiku gemetar.
Kata Annabeth, "Bagaimana kau …"
"Nggak tahu."
Kami berjalan ke pintu. Di luar, Clarisse dan teman-
temannya terkapar di lumpur, dan sekumpulan pekemah lain
telah berkerumun untuk melihat sambil terbelalak. Rambut
Clarisse menempel pada wajahnya. Jaket lorengnya basah
kuyup dan dia bau seperti selokan. Dia melemparkan
pandangan kebencian mutlak kepadaku. "Kau cari mati,
Anak Baru. Kau benar-benar cari mati."
Mungkin semestinya kubiarkan saja itu, tetapi aku
berkata, "Mau kumur-kumur pakai air toilet lagi, Clarisse?
Tutup mulut."
Teman-temannya harus menahannya. Mereka
menyeretnya ke pondok lima, sementara pekemah lain
menyingkir untuk menghindari kakinya yang berayun-ayun.
Annabeth menatapku. Aku tak bisa membedakan apakah
dia merasa jijik atau marah padaku karena membuatnya
basah.
"Apa?" tanyaku. "Apa yang kau pikirkan?"
"Aku pikir," katanya, "aku ingin kau ikut reguku untuk
permainan tangkap bendera."