webnovel

Aku Bermain Pinochle dengan Seekor Kuda 5

Aku bermimpi aneh-aneh, penuh hewan ternak. Sebagian

besar ingin membunuhku. Sisanya ingin makanan.

Sepertinya aku terbangun beberapa kali, tetapi apa yang

kudengar dan kulihat tidak masuk akal, jadi aku pingsan lagi

saja. Aku ingat berbaring di kasur yang empuk, disuapi

makanan yang rasanya seperti berondong jagung

bermentega, tetapi bentuknya puding. Si gadis berambut

pirang ikal itu menunggu di dekatku, menyeringai sambil

membersihkan tetesan dari daguku dengan sendok.

Ketika dilihatnya mataku terbuka, dia bertanya, "Apa yang

akan terjadi pada titik balik matahari musim panas?"

Aku berhasil menguak, "Apa?"

Dia memandang ke sekeliling, seolah-olah takut ada yang

menguping. "Apa yang terjadi? Apa yang dicuri? Kita cuma

punya waktu beberapa minggu!"

"Maaf," gumamku, "aku nggak …."

Pintu diketuk, dan gadis itu cepat-cepat mengisi mulutku

dengan puding.

Ketika aku terbangun lagi, gadis itu sudah tak ada.

Seorang pemuda kekar berambut pirang, seperti

peselancar, berdiri di sudut kamar, menjagaku. Dia punya

mata biru paling sedikit selusin di pipinya, keningnya,

punggung tangannya.

Ketika akhirnya aku benar-benar siuman, tak ada yang aneh

soal rumah yang kutempati, selain bahwa tempat itu lebih

bagus daripada tempat yang biasa kudiami. Aku duduk di

kursi santai di beranda yang besar, memandang ke arah

padang rumput di perbukitan hijau di kejauhan. Anginnya

beraroma stroberi. Ada selimut yang menutupi kakiku, dan

bantal mengganjal kepala. Semua itu nyaman, tetapi

mulutku terasa seolah-olah telah dibuat sarang oleh seekor

kalajengking. Lidahku kering dan tak enak dan setiap gigiku

terasa sakit.

Di meja di sebelahku ada minuman dalam gelas tinggi.

Minuman itu seperti es sari apel, ditambah sedotan hijau dan

payung kertas yang ditusukkan pada manisan ceri

maraschino.

Tanganku begitu lemah sehingga gelas itu hampir saja

terjatuh saat kupegang.

"Hati-hati," terdengar suara yang akrab.

Grover sedang bersandar di langkan beranda,

penampilannya seperti dia sudah seminggu tidak tidur. Dia

mengepit sebuah kotak sepatu. Dia mengenakan celana jins

biru, sepatu Converse, dan kaus jingga cerah yang bertulisan

PERKEMAHAN BLASTERAN. Hanya Grover yang biasa. Bukan

bocah-kambing itu.

Jadi, mungkin aku cuma mimpi buruk. Mungkin ibuku baik-

baik saja. Kami masih berlibur, dan kami singgah di rumah

besar ini entah kenapa. Dan …

"Kau menyelamatkan nyawaku," kata Grover. "Aku … yah,

paling sedikit aku semestinya …. Aku kembali ke bukit.

Barangkali kau mau ini."

Dengan penuh hormat, dia meletakkan kotak sepatu itu di

pangkuanku.

Di dalamnya ada sebuah tanduk banteng berwarna hitam-

putih, pangkalnya bergerigi karena patah, ujungnya terciprat

darah kering. Ternyata bukan mimpi buruk.

"Minotaurus," kataku.

"Em, Percy, sebaiknya "

"Itu sebutan buat makhluk itu dalam mitos Yunani kan?"

tanyaku. "Minotaurus. Setengah manusia, setengah

banteng."

Grover beringsut kikuk. "Kau pingsan dua hari. Seberapa

banyak yang kau ingat?"

"Ibuku. Apakah dia benar-benar …."

Grover menunduk.

Aku menatap padang rumput. Ada beberapa kumpulan

pohon, sungai berkelok, beberapa hektare stroberi yang

terhampar di bawah langit biru. Lembah itu dikelilingi bukit

beralun, dan bukit yang tertinggi, tepat di hadapan kami,

adalah bukit yang puncaknya ditumbuhi pohon pinus raksasa

itu. Bahkan itu pun tampak indah disinari mentari.

Ibuku sudah tiada. Semestinya seluruh dunia ini hitam dan

dingin. Semestinya tak ada yang tampak indah.

"Maaf," isak Grover. "Aku gagal. Aku aku satir terburuk di

dunia."

Dia mengerang, membanting kakinya begitu keras

sampai-sampai terlepas. Maksudku, sepatu Conversenya

terlepas. Bagian dalamnya dipenuhi gabus, kecuali sebuah

lubang berbentuk kuku hewan.

"Oh, Styx!" gerutunya.

Guntur menggelegar di langit cerah.

Sementara Grover bergulat memasukkan kaki kambingnya

kembali ke dalam kaki palsu itu, kupikir, Nah, sudah ada

buktinya.

Grover seorang satir. Aku berani bertaruh bahwa jika

rambutnya yang hitam ikal itu kucukur, aku akan

menemukan tanduk kecil di kepalanya. Tapi, aku terlalu

merana untuk peduli bahwa satir ternyata benar-benar ada,

atau bahkan minotaurus. Itu semua berarti bahwa ibuku

benar-benar telah diremas hingga tiada, larut dalam cahaya

kuning.

Aku sendirian. Yatim-piatu. Aku harus tinggal bersama …

Gabe si Bau? Tidak. Itu tak akan pernah terjadi. Lebih baik

aku tinggal di jalanan. Aku akan berpura-pura sudah berusia

tujuh belas tahun dan masuk sekolah militer. Aku akan

melakukan sesuatu.

Grover masih terisak-isak. Anak malang itu kambing

malang, satir, apalah bertingkah seolah-olah dia menyangka

akan dipukul.

Kataku, "Itu bukan salahmu."

"Itu salahku. Semestinya aku melindungimu."

"Apakah ibuku yang memintamu melindungiku?"

"Bukan. Tapi itu tugasku. Aku ini penjaga. Setidaknya …

dulu aku penjaga."

"Tapi kenapa …" Tiba-tiba aku merasa pusing,

penglihatanku bergoyang.

"Jangan memaksakan diri," kata Grover. "Ini."

Dia membantuku memegang gelas dan meletakkan

sedotan di bibirku.

Aku berjengit akibat rasa minuman itu, karena aku

menyangka akan mencicip sari apel. Minuman itu sama

sekali bukan sari apel. Minuman itu kue serpih cokelat. Kue

cair. Dan bukan cuma kue kue serpih cokelat warna biru

buatan ibuku, bermentega dan panas, serpih cokelatnya

masih meleleh. Saat meminumnya, seluruh tubuhku terasa

hangat dan baik, penuh energi. Dukaku tidak sirna, tetapi

aku merasa seolah-olah ibuku baru saja membelai pipiku,

memberiku kue seperti yang selalu dilakukannya sewaktu

aku masih kecil, dan memberitahuku bahwa segalanya akan

baik-baik saja.

Tahu-tahu saja aku sudah menghabiskan seluruh gelas itu.

Aku menatapnya, yakin bahwa aku baru saja minum

minuman panas, tetapi es batu di dalam gelas itu bahkan

belum meleleh.

"Enak?" tanya Grover.

Aku mengangguk.

"Rasanya seperti apa?" Dia terdengar begitu penuh

damba, aku jadi merasa bersalah.

"Maaf," kataku. "Semestinya aku menawarimu mencicipi."

Matanya melebar. "Bukan! Bukan itu maksudku. Aku cuma

… ingin tahu."

"Kue serpih cokelat," kataku. "Buatan ibuku. Buatan

sendiri."

Dia menghela napas. "Dan bagaimana perasaanmu?"

"Cukup kuat untuk melempar Nancy Bobofit sejauh seratus

meter."

"Itu bagus," katanya. "Bagus. Kurasa kau aman-aman saja

kalau minum itu lagi."

"Apa maksudmu?"

Dia mengambil gelas kosong itu dariku dengan hati-hati,

seolah-olah itu dinamit, dan meletakkannya lagi di atas

meja. "Ayo. Chiron dan Pak D menunggu."

Seluruh rumah peternakan itu dikelilingi beranda.

Kakiku terasa goyah, berusaha berjalan sejauh itu. Grover

menawarkan membawakan tanduk Minotaurus itu, tetapi

aku tetap memegangnya. Aku membayar cendera mata itu

dengan sangat mahal. Aku tak mau melepaskannya.

Saat kami memutar ke seberang rumah, napasku

tersendat.

Agaknya kami berada di pantai utara Long Island, karena

pada sisi rumah ini, lembahnya membentang hingga ke air,

yang tampak berkilauan sekitar satu setengah kilometer di

kejauhan. Antara tempat ini dan tempat itu, aku tak mampu

memproses segala sesuatu yang kulihat. Berbagai gedung

yang mirip dengan arsitektur Yunani kuno paviliun terbuka,

amfiteater, arena bundar bertebaran di bentangan tanah itu,

tetapi semuanya tampak baru, tiang-tiang marmer putihnya

berkilauan di dalam sinar matahari. Di lapangan pasir di

dekat sini, selusin satir dan anak usia SMA sedang bermain

voli. Kano meluncur di atas sebuah danau kecil. Anak-anak

berkaus jingga cerah seperti kaus Grover sedang berkejaran

di sekitar sekumpulan pondok yang tersembunyi di hutan.

Beberapa anak menembak target di arena panah. Beberapa

anak menunggang kuda menuruni jalan berhutan, dan,

kecuali aku sedang berhalusinasi, beberapa kuda itu

memiliki sayap.

Di ujung beranda, dua orang lelaki duduk berhadapan di

meja kartu. Si gadis pirang yang waktu itu menyuapiku

puding rasa berondong jagung sedang bersandar pada

langkan beranda di sebelah mereka.

Lelaki yang menghadap ke arahku bertubuh kecil, tetapi

gempal. Hidungnya merah, matanya besar dan berair, dan

rambut ikalnya begitu hitam sampai-sampai hampir ungu.

Dia mirip lukisan malaikat bayi apa namanya, kerubut?

Bukan, kerubin. Tepat. Dia mirip kerubin yang menua di

rumah kumuh. Pakaiannya kemeja Hawaii bercorak harimau.

Dia pasti cocok kalau ikut pesta poker Gabe, tetapi aku

mendapat firasat orang ini dapat mengalahkan ayah tiriku

sekalipun soal berjudi.

"Itu Pak D," gumam Grover kepadaku. "Dia direktur

perkemahan. Yang sopan, ya. Gadis itu, itu Annabeth Chase.

Dia cuma pekemah, tetapi dia sudah berada di sini lebih

lama daripada siapa pun. Dan kau sudah kenal Chiron …."

Dia menunjuk lelaki yang memunggungiku.

Pertama-tama, kusadari dia duduk di kursi roda. Lalu aku

mengenali jaket wolnya, rambut cokelat yang menipis,

jenggot yang kusut.

"Pak Brunner!" seruku.

Guru bahasa Latin itu menoleh dan tersenyum kepadaku.

Matanya berbinar jail, seperti yang kadang terlihat di kelas

saat dia mengeluarkan kuis mendadak dan membuat semua

jawaban soal pilihan gandanya B.

"Ah, bagus, Percy," katanya. "Sekarang ada empat orang

untuk main pinochle."

Dia menawariku kursi di sebelah kanan Pak D. Si direktur

perkemahan itu memandangku dengan mata merah dan

menghela napas panjang. "Oh, aku harus menyambut ya?

Selamat datang di Perkemahan Blasteran. Nah, sudah

kukatakan. Jangan harap aku senang berkenalan

denganmu."

"Eh, makasih." Aku beringsut menjauh darinya. Satu

pelajaran yang kupetik setelah hidup bersama Gabe adalah

cara mengetahui kapan seorang dewasa habis minum-

minum. Sudah pasti Pak D bersahabat dengan alkohol, sama

pastinya dengan aku yang bukan seorang satir.

"Annabeth?" Pak Brunner memanggil si gadis pirang.

Dia maju dan Pak Brunner memperkenalkan kami. "Dia

merawatmu hingga kau sehat, Percy. Annabeth, Manis,

tolong periksa tempat tidur Percy, ya? Dia kita tempatkan di

pondok sebelas sementara ini."

Annabeth berkata, "Baik, Chiron."

Dia sepertinya seumur denganku, barangkali beberapa

sentimeter lebih tinggi, dan tampak jauh lebih atletis.

Dengan kulit terbakar dan rambut pirang ikal, dia persis

seperti gadis khas California dalam bayanganku. Tetapi,

matanya menghancurkan bayangan itu. Warnanya abu-abu

memukau, seperti awan badai. Indah, tetapi juga

menggentarkan, seolah-olah dia sedang menganalisis cara

terbaik untuk menaklukkanku dalam perkelahian.

Dia melirik tanduk minotaurus di tanganku, lalu kembali

kepadaku. Aku membayangkan dia akan berkata, Kau

membunuh minotaurus! atau Wah, kau hebat! atau

semacamnya.

Dia malah bilang, "Kau ngiler kalau lagi tidur."

Lalu dia berlari ke pekarangan, rambut pirangnya berkibar

kibar

"Jadi," kataku, ingin cepat-cepat mengubah topik. "Pak

Brunner, eh, bekerja di sini?"

"Bukan Pak Brunner," kata mantan Pak Brunner. "Itu cuma

nama samaran. Kau boleh memanggilku Chiron."

"Oke." Sambil merasa bingung, aku menoleh kepada si

direktur. "Dan Pak D … itu singkatan nama?"

Pak D berhenti mengocok kartu. Dia menatapku seolah-

olah aku baru bersendawa keras. "Anak muda, nama itu

punya kekuatan. Tidak boleh digunakan sembarangan."

"Oh. Betul. Maaf."

"Sungguh, Percy," sela Chiron-Brunner, "aku senang kau

masih hidup. Sudah lama aku tidak mengunjungi calon

pekemah. Aku pasti menyesal kalau selama ini aku cuma

menyia-nyiakan waktu."

"Mengunjungi?"

"Aku setahun bekerja di Akademi Yancy, itu untuk

mengajarimu. Tentu saja, kami menempatkan satir di

banyak sekolah, untuk mengawasi. Tapi, Grover

memberitahuku begitu bertemu denganmu. Dia merasa kau

istimewa, jadi aku memutuskan untuk datang ke utara. Aku

meyakinkan guru bahasa Latin yang satu lagi untuk … eh,

mengambil cuti."

Aku berusaha mengingat awal tahun ajaran. Rasanya

sudah lama sekali, tetapi aku memang ingat samar-samar

bahwa ada guru bahasa Latin lain pada minggu pertamaku

di Yancy. Lalu, tanpa penjelasan, dia menghilang dan Pak

Brunner mengambil alih mata pelajaran itu.

"Bapak datang ke Yancy untuk mengajariku?" tanyaku.

Chiron mengangguk. "Jujur, awalnya aku tidak terlalu

yakin soal dirimu. Kami menghubungi ibumu,

memberitahunya bahwa kami mengamatimu kalau-kalau kau

sudah siap untuk Perkemahan Blasteran. Tapi, waktu itu kau

masih harus banyak belajar. Namun, kau sampai ke sini

hidup-hidup, dan itu selalu jadi ujian pertamanya."

"Grover," kata Pak D tak sabar, "kau mau main atau

tidak?"

"Mau, Pak!" Grover gemetar sambil duduk di kursi

keempat, tetapi aku heran mengapa dia setakut itu pada

seorang lelaki kecil gempal yang berkemeja Hawaii bercorak

harimau.

"Kau tahu kan cara bermain pinochle?" Pak D menatapku

curiga.

"Sayangnya, tidak," kataku.

"Sayangnya, tidak, Pak," katanya.

"Pak," ulangku. Aku semakin tidak menyukai direktur

perkemahan itu.

"Nah," katanya kepadaku, "selain pertarungan gladiator

dan Pac-Man, pinochle adalah salah satu permainan terbaik

yang pernah diciptakan manusia. Aku mengharapkan semua

pemuda yang beradab tahu peraturannya."

"Aku yakin anak ini bisa belajar," kata Chiron.

"Tolong," kataku, "ini tempat apa? Sedang apa saya di

sini? Pak Brun—Chiron—kenapa Bapak mau datang ke

Akademi Yancy hanya untuk mengajari saya?"

Pak D mendengus. "Aku juga heran soal itu."

Si direktur perkemahan membagikan kartu. Grover

berjengit setiap kali sehelai kartu mendarat di tumpukan

miliknya.

Chiron tersenyum kepadaku penuh simpati, sebagaimana

yang selalu dilakukannya di kelas bahasa Latin, seolah-olah

mengatakan bahwa berapa pun nilai rata-rataku, aku adalah

murid bintangnya. Dia mengharapkan aku tahu jawaban

yang benar.

"Percy," katanya. "Ibumu tidak menceritakan apa-apa

kepadamu?"

"Dia bilang …." Aku ingat matanya yang sedih,

memandang ke arah lautan. "Katanya, dia takut mengirim

saya ke sini, meskipun ayah saya menginginkan itu.

Katanya, begitu saya berada di sini, mungkin saya tak akan

bisa keluar lagi. Dia ingin saya tetap dekat dengannya."

"Tipikal," kata Pak D. "Biasanya gara-gara itulah mereka

terbunuh. Anak Muda, kau mau menawar atau tidak?"

"Apa?" tanyaku.

Dengan tidak sabar dia menjelaskan cara menawar dalam

pinochle, lalu aku pun menawar.

"Agaknya terlalu banyak yang perlu diceritakan," kata

Chiron. "Sepertinya film orientasi kita yang biasa tak akan

memadai."

"Film orientasi?" tanyaku.

"Tidak," Chiron memutuskan. "Begini, Percy. Kau tahu

temanmu Grover ini seorang satir. Kau tahu" dia menunjuk

tanduk di dalam kotak sepatu "bahwa kau membunuh

Minotaurus. Itu bukan prestasi kecil lho. Yang mungkin tak

kauketahui, di dalam hidupmu bekerja kekuatan-kekuatan

besar. Dewa-dewi kekuatan yang disebut dewa-dewi Yunani

masih hidup."

Aku menatap ketiga orang di sekeliling meja.

Aku menunggu seseorang berseru, Tertipuuu! Tapi Pak D

malah berseru, "Oh, pernikahan raja. Trik! Trik!" Dia

terkekeh sambil menghitung nilai permainan kartu.

"Pak D," tanya Grover takut-takut, "kalau tidak akan

dimakan, boleh aku minta kaleng Diet Coke punya Bapak?"

"Eh? Boleh."

Grover menggigit sepotong besar kaleng aluminium

kosong, mengunyahnya dengan sendu.

"Tunggu," kataku kepada Chiron. "Maksud Bapak, Tuhan

itu ada?"

"Nah," kata Chiron. "Tuhan dengan T besar, Tuhan. Itu

masalah yang lain sama sekali. Kita tak akan membahas hal

metafisika."

"Metafisika? Tapi barusan Bapak bicara soal "

"Ah, dewa-dewi, makhluk-makhluk adikuasa yang

mengendalikan kekuatan alam dan kegiatan manusia: dewa

dewi abadi dari Olympus. Itu masalah yang lebih kecil."

"Lebih kecil?"

"Ya, benar. Dewa-dewi yang kita bahas dalam mata

pelajaran bahasa Latin."

"Zeus," kataku. "Hera. Apollo. Maksud Bapak, mereka."

Lalu terdengar lagi guruh di kejauhan pada hari tanpa

awan.

"Anak Muda," kata Pak D, "sebaiknya kau jangan terlalu

sembarangan menyebut-nyebut nama itu."

"Tapi mereka kan cuma cerita," kataku. "Cuma mitos,

untuk menjelaskan petir dan musim dan sebangsanya. Cuma

keyakinan orang sebelum ada ilmu pengetahuan."

"Ilmu pengetahuan!" Pak D mendengus. "Dan coba

sebutkan, Perseus Jackson" aku berjengit saat dia

mengucapkan nama asliku, yang tak pernah kuceritakan

kepada siapa pun "bagaimana kira-kira pendapat orang

tentang 'ilmu pengetahuanmu' ini dua ribu tahun dari

sekarang?" Pak D melanjutkan. "Hmm? Mereka akan bilang

itu cuma mantra primitif. Begitu. Aku suka kok pada manusia

mereka tak punya rasa perspektif sama sekali. Mereka

menganggap mereka sudah berhasil meraih kemajuan

besaaar. Dan benarkah itu, Chiron? Lihat anak ini dan beri

tahu aku."

Aku tidak terlalu menyukai Pak D, tetapi caranya

menyebutku manusia menyiratkan seolah-olah bahwa dia …

bukan manusia. Itu sudah cukup untuk menimbulkan

ganjalan di tenggorokanku. Sudah cukup untuk sedikit

menjelaskan mengapa Grover menata kartu dengan patuh,

mengunyah kaleng soda, dan tutup mulut.

"Percy," kata Chiron, "kau boleh memilih percaya atau

tidak, tetapi kenyataannya adalah makhluk abadi memang

hidup abadi. Bisakah kau bayangkan sesaat, tak pernah

mati? Tak pernah menua? Berwujud seperti diri kita

sekarang, tetapi selamanya?"

Aku hendak menjawab dengan pikiran yang langsung

tebersit di kepala, bahwa hidup abadi sepertinya

menyenangkan, tetapi nada suara Chiron membuatku ragu.

"Maksud Bapak, baik orang percaya dewa ada atau tidak,"

kataku.

"Persis," kata Chiron menyepakati. "Andai kau ini dewa,

apa kau suka kalau kau disebut cuma mitos, kisah lama

untuk menjelaskan petir? Bagaimana kalau aku

memberitahumu, Perseus Jackson, bahwa suatu hari nanti

orang berkata bahwa kau cuma mitos, diciptakan sekadar

untuk menjelaskan bagaimana cara seorang anak pulih dari

peristiwa kehilangan ibunya?"

Jantungku berdebar-debar. Dia sedang berusaha

membuatku marah, entah kenapa, tapi tak akan kubiarkan.

Kataku, "Jelas saya tidak akan suka. Tapi saya tidak percaya

ada dewa-dewi."

"Sebaiknya kau percaya," gumam Pak D. "Sebelum kau

dihanguskan oleh salah satu dari mereka."

Kata Grover, "T-tolong, Pak. Dia baru kehilangan ibunya.

Dia sedang syok."

"Untunglah," gerutu Pak D, memainkan sebuah kartu.

"Sudah cukup buruk aku terperangkap di pekerjaan

menyebalkan ini, bekerja dengan anak-anak yang bahkan

tidak percaya!"

Dia melambaikan tangan. Sebuah gelas piala muncul di

atas meja, seolah-olah cahaya matahari membelok sesaat,

dan menganyam udara menjadi gelas. Gelas itu terisi sendiri

dengan anggur merah.

Mulutku menganga, tetapi Chiron tidak menoleh.

"Pak D." Dia memperingatkan, "laranganmu."

Pak D menatap anggur itu dan berpura-pura kaget.

"Astaga." Dia menatap ke langit dan berseru, "Kebiasaan

lama! Maaf!"

Guruh lagi.

Pak D melambaikan tangan lagi, dan gelas anggur itu

berubah menjadi sekaleng penuh Diet Coke. Dia menghela

napas sedih, membuka kaleng soda itu, dan kembali ke

permainan kartu.

Chiron mengedipkan mata kepadaku. "Belum lama ini Pak

D menyinggung perasaan ayahnya, karena jatuh hati pada

peri pohon yang sudah dinyatakan terlarang."

"Peri pohon," ulangku, masih menatap kaleng Diet Coke

yang seolah-olah muncul dari luar angkasa. "Ya," Pak D

mengaku. "Ayah senang menghukumku. Pertama kalinya,

dengan Undang-Undang Anti-Alkohol. Mengerikan! Benar-

benar sepuluh tahun yang menyiksa! Yang kedua yah, dia

memang sangat cantik, dan aku tak tahan berjauhan

dengannya kedua kali, dia mengirimku ke sini. Bukit

Blasteran. Perkemahan musim panas untuk anak-anak

manja sepertimu. 'Jadilah pengaruh yang baik,' katanya

kepadaku. 'Binalah kaum muda, jangan merusaknya.' Ha!

Benar-benar tak adil."

Pak D kedengaran seperti anak umur enam tahun, seperti

anak kecil yang merajuk.

"Dan …." Aku terbata. "Ayah Bapak adalah .…"

"Di immortales, Chiron," kata Pak D. "Kupikir kau sudah

mengajari anak ini dasar-dasarnya. Ayahku Zeus, tentu

saja."

Aku mengingat-ingat semua nama berawalan D dalam

mitologi Yunani. Anggur. Kulit harimau. Semua satir yang

tampaknya bekerja di sini. Cara Grover berjengit, seolah-

olah Pak D adalah majikannya.

"Bapak ini Dionysus," kataku. "Dewa Anggur."

Pak D memutar mata. "Apa kata orang zaman sekarang,

Grover? Apa anak-anak berkata, 'Ya iyalah!'?"

"I-iya, Pak D."

"Nah. Ya iyalah! Percy Jackson. Memangnya kau pikir aku

ini Aphrodite, barangkali?"

"Bapak ini dewa?"

"Iya, Bocah."

"Bapak? Dewa?"

Dia menoleh untuk menatapku lurus-lurus. Terlihat

semacam api keunguan di matanya, pertanda bahwa lelaki

kecil gempal yang merengek-rengek ini baru menunjukkan

sedikit saja wujud sejatinya. Kulihat bayangan sulur anggur

yang mencekik orang-orang tak percaya hingga mati, para

pendekar mabuk yang menjadi gila dengan hasrat

bertempur, para pelaut yang menjerit saat tangannya

berubah menjadi sirip dan wajahnya memanjang menjadi

moncong lumba-lumba. Aku tahu bahwa jika aku

mendesaknya, Pak D akan menunjukkan hal-hal yang lebih

buruk. Dia akan menanamkan penyakit di dalam otakku,

yang akan menyebabkan aku memakai jaket pengaman

dalam kamar berdinding lapis karet selama sisa hidupku.

"Kau mau mengujiku, Bocah?" katanya lirih.

"Tidak. Tidak, Pak."

Api itu padam sedikit. Dia kembali ke permainan kartu.

"Sepertinya aku menang."

"Belum tentu, Pak D," kata Chiron. Dia meletakkan kartu

straight, menghitung nilai, dan berkata, "Permainan ini aku

yang menang."

Kusangka Pak D akan memusnahkan Chiron langsung di

kursi rodanya, tetapi dia hanya mengembuskan napas

melalui hidung, seolah-olah dia terbiasa dikalahkan oleh si

guru bahasa Latin. Dia berdiri, dan Grover juga bangkit.

"Aku capek," kata Pak D. "Aku mau tidur siang dulu saja,

sebelum acara menyanyi bersama malam ini. Tetapi,

pertama-tama, Grover, kita perlu bicara, lagi, tentang

kinerjamu yang kurang sempurna pada tugas ini."

Wajah Grover bersimbah peluh. "I-iya, Pak."

Pak D menoleh kepadaku. "Pondok sebelas, Percy Jackson.

Dan jaga kelakuanmu."

Dia masuk ke dalam rumah pertanian, Grover

mengikutinya dengan merana.

"Apa Grover tidak akan kenapa-kenapa?" tanyaku kepada

Chiron.

Chiron mengangguk, tetapi dia tampak sedikit cemas.

"Dionysus Tua tidak benar-benar marah. Dia hanya

membenci pekerjaannya. Dia telah … eh, dihukum,

barangkali boleh dibilang begitu. Dia tak tahan, harus

menunggu seabad lagi sebelum diizinkan pulang ke

Olympus."

"Gunung Olympus," kataku. "Maksud Bapak, di sana benar-

benar ada istana?"

"Nah, memang ada Gunung Olympus yang di Yunani. Tapi,

ada juga tempat tinggal para dewa, titik pertemuan

kekuatan mereka, yang dulu memang terletak di Gunung

Olympus. Tempat itu sekarang masih disebut Gunung

Olympus untuk menghormati adat lama, tetapi istana itu

berpindah-pindah, Percy, sama seperti para dewa."

"Maksud Bapak, dewa-dewi Yunani sekarang ada di sini?

Maksudku … di Amerika?"

"Tentu saja. Para dewa berpindah-pindah mengikuti

jantung Barat."

"Mengikuti apa?"

"Masa tidak tau. Yang kau sebut 'peradaban Barat'. Kau

pikir itu cuma konsep abstrak? Bukan, itu kekuatan yang

hidup. Kesadaran kolektif yang berkobar terang selama

ribuan tahun. Dewa-dewi termasuk di dalamnya. Bahkan

boleh dibilang, merekalah sumbernya, atau setidaknya,

mereka terikat erat dengannya sehingga mereka tak

mungkin memudar, kecuali jika seluruh peradaban Barat

dihancurkan. Api itu dimulai di Yunani. Lalu, seperti yang kau

ketahui aku berharap kau tahu, karena kau lulus mata

pelajaranku jantung api itu pindah ke Roma, demikian pula

dewa-dewinya. Mungkin namanya memang baru Jupiter

untuk Zeus, Venus untuk Aphrodite, dan seterusnya tetapi

kekuatan yang sama, dewa-dewi yang sama."

"Lalu mereka mati."

"Mati? Tidak. Apakah dunia Barat mati? Para dewa cuma

pindah, ke Jerman, ke Prancis, ke Spanyol, beberapa lama.

Di mana pun api itu paling terang, di situlah para dewa

berada. Mereka melewatkan beberapa abad di Inggris. Kita

tinggal melihat arsitekturnya. Orang tak pernah melupakan

para dewa. Di setiap tempat mereka berkuasa, selama tiga

ribu tahun terakhir, mereka tampil dalam lukisan, dalam

patung, pada gedung-gedung terpenting. Dan benar, Percy,

tentu saja mereka sekarang berada di Amerika Serikatmu.

Lihat saja lambang negaramu, elang Zeus. Lihat patung

Prometheus di Rockefeller Center, ukiran Yunani gedung-

gedung pemerintah di Washington. Coba kau temukan kota

Amerika mana yang tidak menampilkan dewa-dewi Olympia

secara menonjol di berbagai tempat. Suka tidak suka dan

yakinlah, dulu juga banyak orang yang tak menyukai Roma

Amerika adalah jantung api itu sekarang.

Di sinilah kekuatan

Barat yang besar. Maka, Olympus juga berada di sini. Dan

kita berada di sini."

Keterangan ini terlalu banyak, terutama kenyataan bahwa

aku tampaknya disertakan dalam kita yang diucapkan

Chiron, seolah-olah aku termasuk klub entah apa.

"Siapa Bapak sebenarnya? Siapa … siapa aku?"

Chiron tersenyum. Dia beringsut seolah-olah hendak

bangkit dari kursi roda, tetapi aku tahu itu mustahil. Dia

lumpuh dari pinggang ke bawah.

"Siapa kau?" Dia bertanya. "Nah, kita semua ingin

pertanyaan itu terjawab, bukan? Tetapi, sementara ini,

sebaiknya kau tidur di pondok sebelas. Ada teman-teman

baru yang akan kau temui. Dan besok ada banyak waktu

untuk pelajaran. Lagi pula, malam ini akan ada acara lagi di

api unggun, dan aku sangat suka cokelat."

Lalu, dia benar-benar bangkit dari kursi roda. Tetapi,

caranya melakukan itu agak aneh. Selimut terjatuh dari

kakinya, tetapi kaki itu tidak bergerak. Pinggangnya terus

saja memanjang, naik di atas sabuknya. Pertama-tama,

kusangka dia mengenakan celana dalam beledu putih yang

sangat panjang. Tetapi, saat dia terus bangkit dari kursi

roda, lebih tinggi daripada manusia mana pun, kusadari

bahwa celana dalam beludru itu bukan celana dalam,

melainkan bagian depan seekor hewan, otot dan urat di

balik bulu putih yang kasar. Dan kursi roda itu bukan kursi,

melainkan semacam wadah, kotak raksasa beroda. Kursi itu

pasti kursi ajaib, karena ukurannya tak mungkin bisa

menampung seluruh tubuh Chiron. Sebuah kaki keluar,

panjang dan berlutut menonjol, dengan kuku kaki besar

yang berkilat. Lalu satu lagi kaki depan, lalu kaki belakang,

lalu kotak itu kosong, sekadar selongsong logam yang

ditempeli sepasang kaki manusia palsu.

Aku menatap kuda yang baru saja keluar dari kursi roda

itu: seekor kuda jantan putih yang sangat besar. Tetapi, di

tempat yang semestinya ditempati leher, ada bagian atas

tubuh guru Latinku, secara mulus terpasang pada tubuh

kuda.

"Lega rasanya," kata si centaurus. "Sudah lama sekali aku

terkurung di situ, bulu kakiku sudah kebas. Nah, mari, Percy

Jackson. Mari kita temui para pekemah lain."