"Aku harus segera melaporkan semuanya pada tuan Loxsa, jika tidak semua penduduk desa akan binasa". Gumamnya dengan jalan yang tertatih-tatih penuh luka.
Kini penyihir tersebut berhasil keluar dari hutan, ia bisa melihat kota awan dari kejauhan, namun ia sudah tidak memiliki banyak energi dan hampir tidak bisa berjalan lagi, "Sedikit lagi, aku tidak boleh menyerah sekarang". Batinnya.
Sementara di atas tembok perbatasan, salah satu penjaga menyipitkan mata, ketika melihat titik hitam yang bergerak di tengah Padang rumput, lalu dengan sigap mengambil teropong, melihatnya cukup jelas penjaga tersebut bisa memastikan itu adalah salah satu penyihir kota awan.
"Salah satu penyihir telah kembali, sepertinya sedang terluka, kita harus segera menolongnya". Kata penjaga itu kepada rekan di sebelahnya, beberapa penjaga pun dengan cepat melesat ke arah penyihir yang telah ambruk.
sesampainya mereka di sana, penyihir dengan jubah hijau itu sudah terbaring dengan penuh luka di tubuhnya, salah satu penjaga langsung memeriksanya.
"Dia masih hidup, ayo bawa dia sekarang". Mereka dengan cepat membawanya.
Di tempat lain di desa hujan, 3 hari telah berlalu semenjak mereka memutuskan untuk bertahan di dalam dinding ungu.
"Sial, apa mereka belum juga sampai, kita tidak mungkin bisa bertahan lebih lama lagi, apa mereka sengaja ingin membiarkan kita mati". Teriak Ken memukul meja kayu dengan keras hingga hampir hancur.
"Ken tenangkan dirimu, kau hanya akan memperburuk keadaan". Salah satu penyihir berjanggut putih yang merupakan satu-satunya tetua di desa yang tersisa coba menenangkan Ken.
"Tapi tetua, kita sudah tidak bisa melakukan apa pun lagi, para hewan buas itu masih terus menyerang dinding ungu tanpa henti, dan jika di biarkan terus menerus bahkan tanpa monster itu sekali pun, dinding ungu akan hancur".
Ken sudah tidak bisa menahan diri, dan perkataannya itu memang tidak salah, dia adalah salah satu penyihir terkuat di desa itu namun tidak bisa melakukan apa pun.
"Kreeck".
Di saat susana menegang, seorang penyihir muda dengan pakaian berwarna coklat tiba-tiba membuka pintu, wajahnya terlihat pucat pasi dengan napas ngos-ngosan.
"Apa yang teejadi?". Tanya Ken dengan cepat.
"Monster ... Ada monster di luar dinding untuk, ia baru saja melancarkan satu serangan dan membuat 2 penjaga dinding ungu terluka". Ujar penyihir itu dengan raut wajah ketakutan.
"Apa? Monster?".
Sekitar 8 penyihir yang berada di dalam ruangan itu langsung tercengang mematung.
"Lalu bagaimana dengan dinding ungu?". Tanya salah satu penyihir di dekat Ken.
"Dinding ungu baik-baik saja, tapi serangan monster itu sempat membuatnya bergetar". Jelas penyihir muda berpakaian coklat itu dengan khawatir.
Tanpa pikir panjang Ken langsung melesat dan hanya meninggalkan bayangan samar.
"Ken tunggu?". Beberapa penyihir memanggilnya dengan cemas, termasuk tetua berjanggut putih yang membawa tongkat kayu.
"Aku ingin 2 orang tetap berada di sini untuk menjaga para penduduk, dan jika keadaan memburuk, kalian harus membawa para penduduk melarikan diri ke laut".
"Tapi tetua, perahu yang dibutuhkan belum semuanya selesai, kemungkinan hanya sebagian, perahu akan rampung dalam waktu kurang lebih 5 hari sampai satu minggu lagi". Jelas salah satu penyihir.
Tetua berjangkit putih terdiam sesaat, " Kami akan berusaha menahannya selama mungkin, jika tidak berhasil setidaknya sebagian dari penduduk bisa lari ke laut dan sisanya kalian arahkan ke hutan, aku serahkan tugas ini kepada kalian berdua". Ucapnya dengan cepat.
"Sisanya ikut denganku, kita harus segera menyusul Ken". Sambung tetua berjanggut putih dengan suara getir.
"Baik tetua, kami mengerti". Ucap 2 penyihir yang di tunjuk oleh tetua desa tersebut.
Di satu sisi Ken telah sampai di hadapan Jero, "Jero bagaimana keadaannya, apa kau baik-baik saja?". Tanya Ken dengan cepat kepada Jero yang telah di tunjuk sebagai ketua penjaga dinding ungu sebelumnya.
"Ketua?".
Jero dan Asuka yang berada di sana terlihat pucat pasi, terutama Jero yang sedang terfokus untuk terus mengedarkan energinya agar pelindung Dinding ungu tetap aktif, sementara Asuka di tugaskan untuk memantau keadaan di sana.
"Ini cukup buruk, monster kendi datang beberapa waktu yang lalu dan tiba-tiba melancarkan serangan besar ke arah pelindung cahaya, kini dua pengendali dinding biru mendapat luka dalam yang cukup parah.
Mungkin untuk dua hari ke depan kami tidak bisa beristirahat dengan baik, karena pengendali dinding biru hanya tersisa 4 orang lagi".
Jelas Jero dengan wajah pucat pasi, ia tidak bisa menjamin mereka berempat akan bisa bertahan sampai 2 hari tanpa istirahat.
"Baik aku mengerti, tapi kau harus tetap kuat, tidak ada yang bisa melakukannya kecuali kalian, aku akan segera mencari jalan keluarnya". Jelas Ken coba menyemangati Jero.
"Lalu kemana monster brengsek itu sekarang?". Tanya Ken dengan wajah yang langsung menghitam, sangat marah kepada monster kendi.
"Entahlah, ia tiba-tiba menghilang setelah melancarkan serangan".
Jero hanya bisa menggelengkan kepala tanpa daya.
Mendengar hal itu
keinginan membunuh langsung terpancar di mata Ken, kejadian serupa sering terjadi, ia tidak akan pernah bisa membiarkan itu terus terjadi.
"Monster kendi sepertinya pergi ke arah bukit di sebelah utara, sepertinya selama ini monster itu juga selalu berada di sana dan mengawasi kita dari tempat tersebut.
Hal itu terbukti dengan dia bisa mengetahui titik terlemah dari dinding ungu, hingga akhirnya membuat 2 rekan kita terluka". Sambut Suka dnegan yakin.
Mendengar hal itu Ken hanya bisa menatap dingin ke arah bukit, sementara hewan buas di luar Dinding ungu masih terus menyerang tanpa henti.
Beberapa saat kemudian tetua berjanggut putih dan beberapa penyihir lainnya pun tiba, "Apa kalian baik-baik saja, dan di mana penyihir yang terluka". Tanya tetua berjanggut putih dengan cepat serta penuh khawatir.
"Tetua!".
Para penyihir langsung menunduk hormat, "Mreka sudah di bawa ke ruang perawatan, jangan khawatir". Jawab Jero dengan sedikit lemas.
Sementara itu mata Ken masih tertuju ke arah bukit, "Aku akan pergi mengalahkan monster Brengsek itu". Tegas Ken dengan tiba-tiba.