Dara terbangun dan mendapati pembalut yang dipakainya penuh berisi cairan. Perlahan tapi pasti rasa nyeri mulai menghantam perutnya. Hilang, datang. Begitu secara terus menerus.
"Ya Allah, kenapa ini?"
Wanita itu berjalan ke kamar mandi dan melihat bahwa ada juga bercak darah.
"Ada apa, Ra?" tanya Arya saat dia sudah keluar dari kamar mandi.
"Kak. Tolong aku! Bawa ke depan," katanya dengan panik.
Dewa menatap istrinya dengan bingung sementara Ciara terdiam melihat mamanya yang kesakitan.
"Ra?" tanya Dewa, namun Dara mengabaikannya. Rasa sakit semakin menghebat hingga dia tak tahan.
"Ayo, kakak antar." Kedua tangann Arya sudah memegang lengan Dara, ketika adik iparnya itu hendak terjatuh.
"Cia tunggu disini sama papa. Mama ke depan periksa," pesan Dara sebelum akhirnya mereka keluar.
Tertatih dia berjalan. Arya memanggil seorang perawat yang kebetulan lewat dan meminta kursi roda. Mereka membawanya ke unit gawat darurat.
"Tolong," ucap Arya saat seorang perawat jaga datang menghampiri.
"Kenapa?"
"Ketuban bocor," jawab Dara sambil merintih kesakitan.
Arya terkejut saat mendengarnya. Tak menyangka jika itu terjadi kepada adik iparnya.
Dara segera diberikan pertolongan. Sementara itu, Arya sibuk menelepon orang tuanya untuk memberi tahu.
"Sepertinya mau lahiran, Pak," kata si perawat.
"Tapi belum cukup bulan, Sus," jawab Dara sambil merintih kesakitan.
"Tolong dilakukan saja yang terbaik. Saya juga tidak mengerti," jawab Arya.
"Bapak ini harusnya tahu tanda-tanda lahiran. Jadi kalau istrinya brojol ketahuan," kata si perawat.
Si perawat dengan cekatan memanggil bidan dan dokter jaga. Terjadi keriuhan di ruangan itu. Dara kemudian dipindahkan ke ruang bersalin.
Arya yang kebingungan akhirnya mengikuti sampai di pintu depan. Cukup lama dia menunggu hingga kedua orang tuanya datang.
"Dara kenapa?" tanya mama yang tiba-tiba muncul dihadapannya.
"Ketuban pecah. Kata perawat tadi mau lahiran," jawabnya.
"Ya Allah. Dewa gimana?"
"Sama Cia di ruangan. Tadi kami tinggal bedua karena panik. Dara udah kesakitan," jawab Arya.
"Ya ampun. Papa sekarang ke ruangan Dewa. Temani mereka nanti kenapa-kenapa," perintah mama.
Wanita paruh baya itu juga ikut panik. Dalam kondisi begini, semua kejadian tak terduga datang bersamaan.
"Tenang, Ma." Arya menyentuh kedua bahu mamanya kemudian menyuruh duduk. Perasaan mereka semua kacau dan tak menentu.
"Ibunya Dara kemana? Kenapa cuma kalian yang jaga Dewa?" Mama bertanya dengan nada yang cukup tinggi.
Jika tahu begini, dia tidak akan pulang. Lama di rumah sakit sedikit banyak membuatnya bosan. Jadi mereka bergantian menjaga. Kebetulan ini juga hari libur jadi Ciara bisa ikut melihat papanya.
"Pulang. Bapaknya sakit."
"Haduh bikin pusing," katanya. Wanita itu memijat pelipis, kemudian mengusap wajah.
Hati mereka berdebar-debar menunggu apa yang akan terjadi. Sambil dalam hati melantunkan doa-doa terbaik.
"Semoga gak apa-apa, Ma. Ini diluar keinginan kita," kata Arya. Dia sendiri kebingungan dengan situasi seperti ini. Hanya saja mencoba untuk tenang.
"Tapi beruntun semua. Kasian mereka, baru menikah dapat cobaan begini berat," sesal mama.
"Mungkin udah jalannya, mau gimana lagi? Lagian manusia gak bakal dikasih cobaan yang melampaui kemampuan kita, kan?" kata lelaki itu bijak.
Mama mengusap air mata yang mulai menetes. "Semoga Dara gak apa-apa. Kasihan dia."
Sementara itu di dalam sana, Dara sedang berjuang bertaruh nyawa untuk melahirkan bayinya. Rasa sakit teramat sangat mendera tubuh.
'Kak. Jaga Dewa untukku.'
Sepanjang perjuangan melahirkan putranya, entah mengapa kata-kata itu terus terngiang di kepala.
Bayangan Dewa yang terbaring dengan berbagai selang juga melintas begitu saja. Di antara peluh dan air mata, akhirnya bayi mungil itu dikeluarkan.
Tubuhnya lemas seketika. Belum sempat dia melihat, tiba-tiba saja terdengar suara salah seorang bidan.
"Innalillahi Wa Inna ilaihi Rojiun. Bayinya meninggal."
Dara tersentak dan meraung. Ini pasti salah. Dia salah mendengar. Tidak mungkin buah cintanya dengan Dewa secepat itu diambil.
"Ibu yang sabar, ya."
Saat bayi mungil yang sudah kaku itu diberikan kepadanya, wanita itu seketika tak sadarkan diri.
Dokter yang menangani segera mengambil tindakan. Jika bayinya tak dapat diselamatkan, maka jangan sampai ibunya bernasib sama.
"Kabari keluarga. Kasihan sekali ibu ini," perintah dokter.
Salah seorang bidan yang ikut menangani segera keluar.
"Suami ibu Dara?" Dia bertanya saat mendapati dua orang duduk di kursi tunggu.
"Ya?" Arya langsung berdiri dan berjalan mendekat.
"Saya bidan Anita. Kami sudah berusaha memberikan yang terbaik. Tapi maaf, Pak. Bayinya tidak bisa diselamatkan," ucapnya lirih dengan penuh penyesalan.
"Innalillahi Wa Inna ilaihi Rojiun."
Dua orang itu tersentak. Air mata mama semakin deras menetes. Arya memeluk tubuh itu dengan erat.
"Sejak dalam kandungan sudah terminum air ketuban yang cukup banyak. Berat badannya juga jauh dari normal. Apa istrinya tidak pernah dibawa periksa ya, Pak? Harusnya ini terdeteksi sejak awal," jelas bidan itu lagi.
"Kami lalai." Hanya itu yang Arya ucapkan. Tidsk mungkin dia menjrlaskan panjang lebar dalam kondisi seperti ini.
"Kami sudah membersihkan jasadnya. Apa mau dibawa pulang ke rumah untuk dikebumikan?"
"Ya."
Lelaki itu mengambil ponsel dan menelepon ibu Dara, meminta untuk segera datang.
Dara bukan istrinya. Bayi itu bukan anaknya. Namun, hati Arya sakit saat menerima kenyataan ini.
***
Dara terbangun saat terdengar suara riuh di sekelilingnya. Suara isak tangis. Ketika matanya menoleh ke samping, tampaklah Dewa sedang menangis. Ternyata dia ditempatkan di satu ruangan yang sama dengan sang suami atas permintaan keluarga.
"Nak." Ibunya mendekati ranjang dan memeluk putrinya erat. Lalu tangis tertumpah di kedua mata wanita itu.
Bapak duduk termenung di sofa. Sementara papa Dewa sedang mencoba menenangkan istrinya.
"Mas," panggilnya, hendak berdiri dan mendekati Dewa namun tubuhnya lemas.
"Ra."
"Maaf, Mas. Aku gak bisa jagain anak kita," katanya penuh dengan sesal.
Bagaimana dia bisa menjaga Dewa jika menjaga diri sendiri saja lalai, sehingga bayi mereka pergi?
Dewa mengangguk. Dalam kondisi begini, dia sendiri tak bisa berbuat apa-apa.
"Mama." Ciara menangis dan memeluk Dara. Anak itu tahu dan mengerti bahwa adiknya sudah tidak ada.
Kecelakaan yang menimpa Dewa membuat mereka lupa memperhatikan kesehatan Dara.
"Nak Arya lagi mengurus pemakaman bayi kalian," kata ibu.
Tak lama pintu kamar terbuka. Muncullah Arya dengan seorang perawat yang menggendong bayi itu yang sudah dikafani.
"Mungkin Dewa mau lihat sebelum dikebumikan."
Air mata Dewa mengalir deras. Pelan dia mencium sang putra. Bayi laki-laki yang lucu. Dara juga melakukan hal yang sama. Dengan berat hati mereka melepasnya.
"Bapak ikut Nak Arya."
"Papa juga. Mama sama ibu Dara tunggu disini. Biar kami yang memakamkan."
Tiga laki-laki itu berjalan keluar. Isak tangis kembali terdengar ... dari seluruh orang yang berada di kamar perawatan itu.
Ada yang datang, ada yang pergi. Kehilangan yang paling menyakitkan adalah karena kematian.
***
Baca ceritaku yang lain, ya. Me & My Ex, Iddah yang Ternoda, Pesona Bos Tampan.