webnovel

PENDEKAR TAPAK DEWA

Kebiadaban yang dilakukan oleh gerombolan La Kala (Kelompok Merah-Merah) di bawah pimpinan La Afi Sangia makin merajalela. Terakhir mereka membantai penduduk Desa Tanaru beserta galara (kepala desa) dan keluarganya sebelum desa mereka dibumihanguskan. Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana yang sebagian besarnya hangus bersama rumah-rumah mereka. Darah Jenderal Hongli alias Dato Hongli mendidih menyaksikan bekas aksi kebiadaban yang di luar batas kemanusiaan itu. Darah kependekarannya menangis dan jiwanya menjerit. Tetapi ada sebuah keajaiban. Di antara mayat-mayat bergelimpangan ada sesosok bayi mungil yang kondisinya masih utuh. Tubuhnya sama sekali tak bergerak. Sang bayi malang seolah-olah tak tersentuh api walau pakaiannya telah menjadi abu. “Oh...ternyata bayi ini masih hidup,” desah sang mantan jenderal perang kekaisaran Dinasti Ming. Diangkatnya bayi itu seraya lanjut berucap, “Akan kubesarkan bayi ini. Dia adalah sang titisan para dewa. Akan kugembleng ia agar kelak menjadi seorang pendekar besar. Kelak, biarlah dia sendiri yang akan datang untuk menuntut balas atas kematian keluarganya serta seluruh penduduk desanya. Akan kuberi bayi ini dengan nama La Mudu. Ya, La Mudu, Si Yang Terbakar...!” Lalu sang pendekar besar yang bergelar Wu Ying Jianke (Pendekar Tanpa Bayangan) itu mengangkat tubuh bayi itu tinggi-tinggi dengan kedua tangannya. Ia berseru dengan suaranya yang bergetar membahana: “Dengarlah, wahai Sang Hyang Dewata Agung....! Aku bersumpah untuk menggembleng dia menjadi seorang pendekar besar yang akan menumpas segala bentuk kejahatan di atas bumi ini..!! Wahai Dewata Agung, kabulkanlah keinginanku ini...!! Kabulkan, kabulkan, kabulkan, wahai Dewata Agung...!” Sang Hyang Dewata Agung mendengar permohonannya. Alam pun seolah mengamininya. Cahaya petir langsung menghiasi angkasa raya yang disusul dengan guruh gemuruh yang bersahut-sahutan. Tak lama kemudian hujan deras bagai tercurah mengguyur bumi yan

M Dahlan Yakub Al Barry · Fantasia
Classificações insuficientes
89 Chs

Bab 18. Serangan Terhadap Para Anak Buahnya La AFI Sangia

Ucapan itu jelas membuat mulut dan mata pemuda Kalimone menganga dan terbelalak, seolah-olah tak percaya dengan pendengaran. "Dewa akan memberikan kekuatan sakti?"

"Iya, Kalimone," jawab La Mudu tegas. "Tapi aku butuh lagi beberapa pemuda lagi, Kalimone. Mungkin sekitar dua puluhan orang pemuda. Tentu yang sekiranya mampu memegang rahasia, karena kau tadi mengatakan selalu ada mata-mata La Afi Sangia di tempatkan di mana-mana. Kau bisa siapkan?"

La Kalimone saking gembiranya sampai-sampai ia memeluk tubuh La Mudu sambil jingkrak-jingkrak. "Terima kasih, Jawara, terima kasih," ucapnya. “Soal pemuda jangan khawatir, Jawara Mudu. Pemuda yang bisa dipercaya dan sangat saya kenal di desa ini sangat banyak."

"Baguslah jika demikian, aku akan tinggal lebih lama sedikit di desa ini. Mungkin beberapa purnama. Kalau bisa, lebih cepat lebih baik untuk kamu kumpulkan teman-temanmu."

"Baik, Jawara Mudu. Nanti malam pun akan saya bawa mereka di suatu tempat yang aman!"

"Bagus...!”

Walhasil, dalam waktu singkat La Kalimone berhasil mengumpulkan lebih dari sepuluh orang pemuda tangguh. Malam hari di bawah benderangnya cahaya purnama, para pemuda itu dibawa oleh La Kalimone dan Lamudu ke suatu kebun milik keluarga La Kalimone, yang terletak di kaki bukit yang tak jauh di sebelah utara perkampungan. Para pemuda tersebut hatinya begitu girang dan bersemangat ketika mereka diberitahu tentang hal apa yang akan mereka dapatkan dari Jawara Mudu nantinya.

Hal yang memang sangat mereka impi-impikan. Mereka, sebagaimana juga seluruh warga desa lainnya, telah lama hidup dalam penzoliman yang teramat sangat dari orang-orangnya La Afi Sangia. Hidup dalam ketakutan yang tak pernah usai. Mereka ditindas dan bahkan diperlakukan tidak selayaknya sebagai manusia. Bahkan oleh orang-orangnya La Afi Sangia, mereka tak ubahnya sebagai sekumpulan besar sapi perah yang dapat diperlakukan sekehndak hati mereka. Maka harapan para pemuda tersebut, adalah juga seperti harapan La Kalimone. Semoga dengan ilmu kesaktian yang mereka dapatkan dari La Mudu kelak, mereka mampu membebaskan desanya dari jeratan nestapa itu.

Hal pertama yang dilakukan oleh La Mudu terhadap para calon murid dadakannya itu ialah menggali, melatih, dan mengolah daya rasa mereka, sehingga mereka mampu mengendalikan dirinya dari sifat sombong dan angkara. Kedua sifat yang paling pontensial membuat anak manusia jadi binasa. Mengingat hanya untuk kebutuhan mendesak, maka Pendekar Tapak Dewa tentu saja tidak akan melatih dan menggembleng para murid dadakannya itu dengan metode pelatihan seperti yang diterapkan oleh gurunya Dato Hongli terhadapnya yang dapat memakan waktu bertahun-tahun.

Kepada para murid dadakannya La Mudu hanya akan menurunkan ilmu-ilmu kedigdayaan yang dapat dipelajari dalam waktu singkat. Sekalipun demikian, tentu saja ilmu-ilmu itu sangatlah dahsyat dan mampu mengatasi keangkaramurkaan para anak buahnya La Afi Sangia kelaknya. Artinya, ilmu-ilmu kedigdayaan itu sudah mampu menjadi benteng yang amat tangguh bagi mereka untuk menjaga keamanan dan kelanjutan hidup mereka dan segenap rakyat desa mereka dari gangguan para anak buahnya La Afi Sangia.

Setelah latihan nafas dan pengendalian emosi dengan cara berpuasa untuk beberapa hari lamanya, selanjutnya La Mudu mulai menggembleng para murid dadakannya itu dengan ilmu-ilmu kedigdayaan yang praktis namun hasilnya tetap dahsyat. Karena jurus-jurus yang diturunkan oleh La Mudu terhadap para murid dadakannya adalah jurus-jurus kependekaran kelas wahid, maka bisa dipastikan kesakti-mandragunaan mereka akan jauh di atas kesaktian yang dimiliki oleh para anak buahnya La Afi Sangia.

Dan walhasil, hanya butuh waktu beberapa purnama, La Kalimone dan puluhan temannya telah berhasil digembleng oleh La Mudu dengan ilmu-ilmu kedigdayaan yang sangat hebat. Mereka telah menjelma menjadi para pemuda sakti mandraguna!

***

Suatu saat, tak berselang lama setelah Pendekar Tapak Dewa menggembleng sekelompok pemuda Desa Kandunggu menjadi pendekar-pendekar dadakan yang sangat ampuh, hal yang dinanti-nanti itu tiba. Ini adalah waktu pungutan pertama dari dua pungutan liar yang dilakukan oleh orang-orang La Afi Sangia terhadap warga Desa Kandunggu.

Belum lagi matahari naik ke setengah belahan langit, warga desa sudah dipanikkan oleh kehadiran sekelompok anak buah sang pendekar durjana itu. Para laki-laki bertampang bengis berpakaian merah-merah itu datang dengan masing-masing menunggang seekor kuda.

Begitu tiba, di mulut mereka keluar bentakan dan hardikan-hardikan kasar, agar warga desa segera mengumpulan pungutan. Pungutan yang biasanya warga desa persembahkan adalah hasil bumi, palawija dan padi-padian, dan kadang binatang ternak. Dan pungutan-pungutan itu mereka angkut dengan kuda-kuda milik warga desa itu sendiri, untuk di bawa ke kapal yang mereka sandarkan di sekitar Pantai Wane atau Kalepe. Kuda-kuda itu dilepaskan, dan akan kembali dengan sendirinya ke desa tuan mereka.

Seperti yang pernah diucapkan oleh pimpinan kelompok orang-orangnya La Afi Sangia bahwa mereka akan kembali setelah musim panen padi, kini mereka menepati janjinya. Komplotan anak buah La Afi Sangia yang datang saat itu ada lebih dari dua puluh orang. Mereka sangat senang saat itu, karena ternyata masyarakat desa sudah menyiapkan bagian hasil panen itu di pinggi jalan desa, sehingga mereka tak perlu penat-penat untuk memintanya dengan bentakan-bentakan kepada masyarakat desa seperti biasanya.

Hal itu sebenarnya sudah diatur oleh La Mudu dan pemuda-pemuda desa yang menjadi murid dadakannya. Ia dan puluhan murid dadakannya itu akan menghadang gerombolan anak buahnya La Afi Sangia itu di sebuah lembah yang bernama Sonco Mila akan dilalui oleh gerombolan jahat itu yang letaknya cukup jauh di sebelah selatan perkampungan.

La Mudu dan seluruh murid dadakannya akan melakukan serangan pertama mereka dengan menggunakan tombak. Mereka adalah pemuda-pemuda yang memang memiliki ketrampilan alami dalam hal menggunakan senjata yang satu ini, karena mereka adalah pemburu-pemburu kijang yang sangat mahir.

Kemungkinan para gerombolan anak buah La Afi Sangia sangat tak mengira akan mendapat serangan yang berani seperti itu. Karena selama ini belum ada sejarahnya masyarakat desa di seantero negeri Babuju yang merani menentang kebesaran La Afi Sangia secara langsung. Jadi La Mudu memperhitungkan, para gerombolan perampok jahat itu dengan mudah dibasmi, bahkan dengan tombak.

Malam itu cukup bendarang oleh cahaya bulan purnama. Saat suara ringkihan kuda-kuda terdengar mendatang dari arah utara, La Mudu segera memberi perintah kepada seluruh murid dadakannya untuk bersiap-siap. Mereka berdiri berjejer dalam jarak tertentu dan bersembunyi balik pepohonan di pinggir jalan setapak yang akan dilalui oleh gerombolan anak buahnya Afi Sangia.

Puluhan anak buah Afi Sangia menunggangi kudanya masing-masing. Ada yang mendahului puluhan kuda yang khusus membawa beban berupa padi, dan sebagian lagi berjalan mengikuti kuda-kuda beban. Suara ringkihan kuda-kuda yang diselingi oleh cerita dan tertawa mereka menjadikan suasana malam itu tidak sepi.

Namun di luar persangkaan mereka, saat mereka melewati sebuah tikungan jalan yang agak menanjak setelah melewati sebuah sungai mati, tiba-tiba mereka mendapat serangan cepat dan mematikan. Mereka dihujani dengan tombak dan anak panah. Senjata-senjata beracun itu langsung menghunjam pada bagian-bagian tubuh yang mematikan.

Seluruh anak buah gerombolan La Afi Sangia yang sama sekali bakal mendapat serangan yang demikian, tentu saja tak mampu mengelak. Apalagi suasana malam hutan yang dilalui cukup temaram karena cahaya bulan terhalang oleh pepohonan yang lebat. Maka tak ayal, erangan demi erangan terdengar memilukan disertai berjatuhannya tubuh mereka dari punggung kuda tunggangannya masing-masing.

Seluruh anak buah La Mudu berloncatan keluar dari tempat persembunyiannya dan langsung mendekati korbannya masing-masing, lalu tanpa ampun mereka mencabut tombak mereka lalu menghujamkannya berkali-kali ke tubuh manusia-manusia durjana itu. Hanya sesaat tempat itu ramai oleh suara jeritan kematian yang memilukan, lalu sepi.