webnovel

Surat dari Telik Sandi

"Ini adalah surat dari Ayahku, Brama. Ternyata kerajaan Gilang Gilang sudah diserang oleh kerajaan Singaparna. Bahkan Ayahku sekarang terpukul mundur," jawab Raden Mardian.

"Kini Ayahku mengungsi di sebuah tempat untuk bisa menyelamatkan diri Brama keluarga dan pengikutnya yang lain," imbuh Raden Mardian. Raut wajahnya tampak sedih. Brama nampak kaget mendengarnya.

"Ternyata kita terlambat, Raden Mardian. Kerajaan Singaparna sudah menyerang kerajaan ayahmu. Lalu bagaimana kondisi ayahmu sekarang?" tanya Brama.

"Ayahku dan keluarganya baik-baik saja. Tetapi aku takut jika pengungsian mereka diketahui oleh mata-mata kerajaan Singaparna," kata Raden Mardian. Brama terdiam mendengar penuturan Raden Mardian.

"Di mana Ayahmu sembunyi, Raden?" tanya Brama lagi.

"Ayahku kini sembunyi di sebuah gua, tepatnya di hutan Majasem," jawab Raden Mardian lagi. Brama merasa iba kepada Raden Mardian yang tampaknya sangat sedih mendengar kabar buruk itu.

Kemudian Raden Mardian pun menatap lekat mata Brama.

"Maafkan aku, Brama. Sepertinya Aku dan ayahku berada dalam situasi genting. Dan mungkin penyelidikan tentang pembunuhan orang tuamu akan tertunda," kata Raden Mardian. Brama pun tersenyum mendengarnya.

"Tidak masalah, Raden. Aku siap membantu melindungi Raja Sutawijaya. Raden tenang saja. Bahkan aku akan melindungi Raden dari bahaya, karena aku adalah sahabatmu," ujar Brahma sambil menepuk lembut bahu Raden Mardian. Raden Mardian pun tersenyum kepada Brama.

"Terima kasih, Brama. Kamu adalah sahabatku yang baik," ucap Raden Mardian.

"Sepertinya kita harus ke hutan Majasem untuk menemui Ayahku dan pasukannya. Apakah kamu mau ikut?" tawar Raden Mardian. Brahma menganggukkan kepalanya.

"Tentu saja, Raden. Aku akan siap membantu Raden kapan saja." ucap Brama.

"Kalau begitu kita harus segera menuju ke hutan Majasem sekarang juga," tandas Raden Mardian. Ia sebenarnya sangat takut jika harus menghadapi musuh di jalan, karena ilmu bela dirinya sangat kecil.

Tetapi Raden Mardian merasa begitu tenang karena ada Brama dan para pengawal setianya. Raden Mardian pun pamit kepada istri dan para selirnya untuk menyusul Raja Sutawijaya.

Namun sebelumnya Raden Mardian menyamar sebagai rakyat jelata dan menanggalkan pakaian kebesarannya sebagai Adipati di kabupaten Tanjung Mas, karena ia takut jika ia pasti akan diserang oleh musuh. Pastinya mereka akan menjelajah ke Kabupaten kekuasaan Kerajaan Gilang Gilang.

Tidak lupa Raden Mardian juga menyuruh para istri, selir, dan pelayannya untuk mengungsi. Ia ingin rumah kediamannya dikosongkan terlebih dahulu, sebelum ada serangan dari musuh.

Setelah memastikan semuanya terkendali sesuai rencananya. Raden Mardian segera berangkat ke hutan Majasem siang itu juga.

Tetapi saat ia akan berangkat menuju hutan itu. Tiba-tiba ada pasukan yang sudah datang ke kediamannya.

Raden Mardian pun terkejut saat melihat kedatangan pasukan yang ternyata dari kerajaan Singaparna.

"Mana yang namanya Raden Mardian?" tanya pimpinan pasukan itu. Raden Mardian pun kaget mendengarnya. Tetapi ia langsung maju ke depan.

"Aku yang bernama Raden Mardian. Ada apa mencariku?" Raden Mardian balik bertanya, Para pasukan itu memperhatikan Raden Mardian dari ujung kaki sampai ujung kepala. Mereka kemudian tertawa terbahak-bahak.

"Hahah! Kukira Raden Mardian adalah sosok yang gagah. Tetapi dia ternyata pendek dan gendut," ejek pimpinan pasukan itu yang membuat Raden Mardian langsung merasa berang.

"Ada apa kalian datang ke sini? Tidak usah mengejekku," bentak Raden Mardian. Pimpinan pasukan itu terdiam dan langsung memicingkan matanya.

"Aku ke sini diperintahkan oleh Gusti Raja Jayamanik untuk membunuhmu dan menyerahkan kepalamu kepada beliau," jawab pimpinan pasukan itu. Raden Mardian pun kaget mendengarnya. Termasuk juga Brama.

"Jangan takut, Raden Mardian. Aku akan selalu melindungimu," bisik Brama.

"Kalau kalian menginginkan kepalanya, silakan saja. Tetapi kalianlah yang akan kami habisi terlebih dahulu," seru Brama. Pimpinan pasukan itu terkesiap mendengarnya. Ia melihat kondisi Brama dengan lengan satu dan kembali tertawa terbahak-bahak.

"Hahaha! Pria buntung ini berani sekali! Dia menantang kita untuk melindungi junjungannya," olok pimpinan pasukan itu. Tetapi Brama tidak gentar, bahkan tangannya sudah mengepal dan tidak sabar lagi untuk bisa mengalahkan mereka.

"Jangan banyak omong kamu! Maju kalian semua," tantang Brama. pimpinan pasukan itu terbelalak. Ia kemudian memerintahkan pasukannya untuk menyerang kubu Raden Mardian.

"Tunggu apalagi! Seraaaang!" pekik pimpinan pasukan itu. Brama dan para anak buah Raden Mardian segera melancarkan serangannya mereka. Dengan gagah berani melindungi Raden Mardian.

Melihat para anak buahnya bertarung untuk melindunginya, Raden Mardian pun turut menyerang para musuhnya itu. Walaupun ilmu bela dirinya sangat kecil, tetapi ia mampu mengalahkan beberapa pasukan musuh.

Namun pimpinan pasukan itu kemudian menghadapi Raden Mardian. Sebenarnya Raden Mardian merasa cemas karena pimpinan pasukan itu sudah berhasil merobohkan beberapa anak buahnya.

"Sekarang giliranmu, Raden Mardian. Akan ku tebas kepalamu lalu kupersembahkan kepada Gusti Jayamanik," kata pimpinan pasukan itu sambil tersenyum menyeringai. Raden Mardian sebenarnya takut. Tetapi dengan jiwa ksatria, ia harus tetap membela dirinya.

"Silakan saja kalau kamu bisa!" tandas Raden Mardian. Pimpinan pasukan itu langsung menyerang Raden bagian secara membabi-buta. Raden Mardian masih bisa mengelak dan menghindari serangannya. Walau ia belum bisa melakukan balasan.

Namun lama-kelamaan, ia menjadi kewalahan sehingga bahunya terluka tergores pedang tajam dari pimpinan pasukan itu.

Cras!

"Aaarggh!" Raden Mardian pun mengerang kesakitan dan melangkah mundur.

"Hahaha, ternyata kekuatanmu sangat kecil Raden Mardian sebentar lagi. Aku akan membantaimu sekarang juga," ujar pimpinan pasukan itu. Ia merasa yakin bahwa ia akan menang.

Kemudian Ia pun mengarahkan pedangnya ke leher Raden Mardian. Raden Mardian segera menunduk, karena ia takut jika lehernya akan terpenggal.

Trang!

Tiba-tiba ada suara pedang beradu. Ternyata Brama yang melindungi Raden Mardian dengan pedangnya.

"Kurang ajar, kamu! Berani mencampuri urusanku," amuk pimpinan pasukan itu.

"Sudah kewajibanku untuk melindungi sahabatku dan aku tak akan membiarkanmu berbuat sadis di kediaman tuan rumah. Bertamulah yang sopan, maka kami akan segan," sahut Brama.

Namun pimpinan pasukan itu malah menyerang Brama secara brutal. Tetapi Brama mampu melawannya.

Raden Mardian merasa bersyukur jika ia diselamatkan oleh Brama. Jika tidak mungkin nyawanya akan melayang

Brama dan pimpinan pasukan itu beradu pedang. Meskipun sebenarnya Brama masih merasa trauma dengan sabetan pedang yang sudah menghilangkan salah satu tangannya.

Tetapi ia harus bertahan untuk bisa mengalahkan pimpinan pasukan itu. Brama dengan sigap menghindar dan menyerang pimpinan pasukan itu dengan pedang pemberian dari Ki Paronwaja.

Pertarungan itu semakin sengit, dibarengi dengan pertempuran antara kubu Raden Mardian melawan musuhnya.

Banyak yang sudah tumbang di antara kedua belah pihak. Tetapi Brama yakin jika pihak Raden Mardiana yang akan menang. Ia kemudian berusaha untuk mengalahkan pimpinan pasukan itu.

Cras!

Brama mengambil kesempatan untuk bisa menyabet perut pimpinan pasukan itu dengan pedangnya ternyata pedang tajam.

Brama mampu membelah perut pimpinan pasukan itu sehingga tampak darah muncrat dengan usus yang terburai.

"Aaaargh!" pimpinan pasukan itu menjerit kesakitan.