webnovel

Bantuan untuk Brama

"Tentu saja aku tahu Paman Turangga. Dia adalah sahabat Ayahku. Bahkan Ayahku juga kaget ketika mendengar Paman Turangga dibantai oleh orang tak dikenal. Bahkan semua pengawalnya juga tewas," jawab Raden Mardian.

"Tetapi Ayahku tidak menemukan anaknya, ternyata kamu adalah anak dari Paman Turangga?" Mata Raden Mardian terbelalak saat mengetahuinya. Brama menganggukkan kepalanya. Ia merasa bersyukur, sebab ia akan menemukan titik terang siapa pelaku pembunuhan kedua orang tuanya itu.

"Aku tidak menyangka jika orang yang sudah membunuh ayah dan ibumu. Juga tega membuatmu menjadi seperti ini," ujar Raden Mardian.

"Oleh karena itu aku ingin bisa mengetahui siapa yang membunuh kedua orang tuaku dan aku ingin membalaskan dendam kepada mereka semua," tandas Brama.

"Sebenarnya saat itu aku masih terlalu kecil untuk bisa mengetahui kejadian itu, Brama. Yang lebih tahu adalah Ayahku. Sebab sebelum aku menjabat menjadi Adipati di kabupaten ini. Ayahmu lah yang sebelumnya memegang kabupaten Tanjung Mas. Mungkin Ayahku bisa ikut membantu menyelidiki siapa pembunuh kedua orang tuamu," saran Raden Mardian. Brama terdiam mendengarnya. Dalam hati ia cukup senang, jika ayahnya dikenali oleh Raja Sutawijaya.

Tetapi sepertinya Brama masih belum bisa menemukan titik terang siapa lima orang yang membunuh kedua orang tuanya itu.

"Baiklah, Raden Mardian. Kapan aku bisa menghadap ayahmu?" tanya Brama kepada Raden Mardian. Raden Mardian pun terdiam sejenak.

"Mungkin besok kita bisa pergi ke sana, Brama. Nanti aku yang akan mengantarmu," jawab Raden Mardiah. Brama mengernyitkan dahinya.

"Apakah tidak merepotkanmu? Sebab kamu menjabat sebagai Bupati di kabupaten ini, dan kamu harus menjalankan tugasmu dengan baik," tanya Brama. Namun Raden Mardian menggelengkan kepalanya.

"Tenang saja, aku juga ingin bisa ikut menyelidiki siapa pembunuh Ayah dan Ibumu. Aku akan selalu siap menolongmu," ujar Raden Mardian.

"Lalu bagaimana dengan pajak yang kamu terapkan kepada rakyatmu sendiri?" tanya Brama. Raden Mardian pun terdiam. Ia menundukkan kepalanya menahan perasaan malu.

"Setelah kamu datang dan menyadarkanku. Aku menjadi malu pada rakyatku. Kini aku berubah pikiran. Aku tidak lagi membebani rakyatku untuk bisa membayarkan pajak yang begitu tinggi," jawab Raden Mardian.

"Aku hanya membebankan pajak kepada orang-orang tertentu saja, seperti para saudagar, para orang kaya, serta kalangan bangsawan. Dan pajak itu juga akan aku pergunakan untuk membantu rakyat yang berada di bawah garis kemiskinan," sambung Raden Mardian. Brama pun tersenyum puas kepada Raden Mardian.

"Bagus, Raden. Kamu sepertinya sudah menyadari kesalahanmu. Bersikaplah sebagai pemimpin yang adil dan bijak. Sehingga rakyatmu akan merasa senang dan mendoakanmu," kata Brama. Raden Mardian pun tersenyum.

"Terima kasih juga karena kamu sudah menyadarkan aku, Brama. Aku sudah keliru dalam mengambil keputusan. Sebab aku belajar dari semua ini dari Pamanku," ujar Raden Mardian. Brama merasa heran sebenarnya siapa Paman dari Raden Mardian yang mengajarinya berbuat sewanang-wenag kepada rakyatnya.

"Beristirahatlah, Brama! Besok pagi kita akan menghadap Ayahku untuk menanyakan tentang siapa saja musuh kedua orang tuamu, sehingga kita tahu siapa tersangkanya," kata Raden Mardian.

"Terima kasih, Raden Mardian. Kamu sebenarnya orang baik, tetapi kamu sepertinya berada di kalangan orang-orang licik," komentar Brahma. Raden Mardian pun merasa tertohok hatinya. Namun Raden Mardian enggan untuk membahas hal itu.

Yang terpenting baginya sekarang adalah bisa menemukan para pelaku pembantaian keluarga Brama, sehingga Brama bisa membalaskan dendamnya. Atau menghukum mati para pelaku itu di bawah keadilan Raja Sutawijaya.

Raden Mardian pun memerintahkan pelayannya untuk mempersiapkan kamar bagi Brama. Sebab Brama menjadi tamu kehormatan di rumahnya.

Malam itu Brama termenung, ia sangat penasaran siapa sebenarnya lima orang yang sudah tega membantai orang tuanya dan berusaha membunuhnya, sehingga Brama harus kehilangan salah satu tangannya.

'Sebenarnya apa tujuan mereka membunuh kedua orang tuaku dan juga ingin menghabisiku?' pikir Brama. Sebab saat itu ia masih berusia sepuluh tahun dan belum mengerti siapa saja musuh orangtuanya.

Tetapi Brama berharap Ia mendapatkan keterangan dan dan informasi dari Raja Sutawijaya tentang orang tuanya dan siapa saja yang membenci Raden Turangga dan Lastri, sehingga mereka nekat untuk menghabisi nyawa kedua orang tuanya.

Tok tok tok!

Pintu kamar Brama diketuk oleh seseorang. Brama pasti menduga jika Raden Mardian yang datang. Ia kemudian membuka pintu itu.

"Apakah kamu belum tidur, Brama?" tanya Raden Mardian.

"Aku belum bisa tidur, Raden. Sebab aku masih memikirkan siapa lima orang yang membunuh kedua orang tuaku," jawab Brama. Ia kemudian mempersilahkan Raden Mardian masuk ke kamarnya.

"Kalau dilihat dari ceritamu, sepertinya lima orang itu adalah orang suruhan. Mereka pasti diperintahkan dan dibayar oleh seseorang agar bisa menghilangkan nyawa kedua orang tuamu," pikir Raden Mardian. Brama pun terdiam, ia merasa kalau perkataan Raden Mardian ada benarnya.

"Kamu benar juga, Raden. Sebab tak mungkin jika seseorang yang membenci kedua orang tuaku mengotori tangannya. Pasti dia menyuruh lima orang pendekar itu untuk membantai kedua orang tuaku dan semua pengawal di rumah kami," timpal Brama.

"Memang saat ini banyak sekali pemberontakan, karena banyak sekali yang ingin berkhianat kepada Ayahku. Bahkan aku mendengar jika kerajaan Gilang Gilang akan diserang oleh kerajaan Singaparna, dan aku juga harus siap untuk bertempur membela kekuasaan ayahku," tutur Raden Mardian.

"Tetapi aku sebenarnya takut, karena kekuatanku tidak sehebat dirimu. Aku lebih rela membayar para pendekar untuk bisa ikut bertempur melawan kerajaan lain yang ingin merebut kekuasaan Ayahku itu," papar Raden Mardiana.

Brama sebenarnya merasa geli dengan perkataan Raden Mardian. Ia memang menilai jika kekuatan Raden Mardian sangatlah lemah dalam hal bela diri.

Tetapi melihat kebaikan hati Raden Mardian, Brama memutuskan untuk ikut bergabung membela Raja Sutawijaya yang dikenal baik oleh mendiang ayahnya.

"Aku siap untuk membantumu jika ada kerajaan lain yang ingin menyerang kerajaan Gilang Gilang," kata Brama. Raden Mardian pun terkejut mendengarnya.

"Benarkah itu, Brama?" tanya Raden Mardian. Brama pun menganggukkan kepalanya.

"Tentu saja, kamu adalah sahabatku dan aku tidak ingin jika sahabatku mengalami kesulitan. Apalagi membela tanah air," jawab Brama. Raden Mardian pun tersenyum sambil memeluk Brama.

"Terima kasih, Brama. Kamu memang sahabat yang baik. Aku senang bisa mengenalmu," ucap Raden Mardian.

"Ya sudah kalau begitu, silakan beristirahat. Besok pagi kita akan berangkat untuk menuju Keraton kerajaan Gilang Gilang," tandas Brama sambil mengurai pelukan Raden Mardian. Mardian pun tersenyum lalu pamit untuk kembali ke kamarnya.

Keesokan harinya Brama sudah bangun pagi-pagi sekali untuk bisa berangkat menuju ke Keraton Raja Sutawijaya.

Namun saat Brama menghampiri Raden Mardian, ia melihat Raden Mardian sedang membaca surat dari telik sandi utusan Raja Sutawijaya.

"Ada apa, Raden Mardian? Mengapa wajahmu sangat cemas seperti itu?" tanya Brama.