webnovel

Pelukan Sang Mantan

Dalam waktu bersamaan, Nastya mengalami banyak kesedihan. Ayahnya meninggal dunia dan ibunya koma di rumah sakit. Rumah yang mereka tinggali harus segera dijual untuk biaya perawatan ibunya. Di saat Nastya membutuhkan dukungan dan semangat dari sang kekasih, ia malah mendapati Narendra berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Rasa kecewa, marah, dan benci pun ia rasakan secara bersamaan. Demi membalas rasa kecewanya pada Narendra, Nastya memutuskan untuk berpura-pura menjadi istri dari ayahnya. Itu membuat pria itu sangat marah. Tapi, berperan sebagai ibu tiri dan hidup satu atap bersama dengan mantan kekasihnya, Nastya malah terjebak di dalam pelukan Narendra seumur hidupnya. Pria itu tidak melepaskannya, dan tidak membiarkan Nastya hidup bahagia bersama dengan ayahnya. Bagaimanakah nasib Nastya selanjutnya? Simak cerita selengkapnya, hanya di "Pelukan Sang Mantan". Semoga terhibur ^_^ Follow IG @rymatusya

Tusya_Ryma · Urbano
Classificações insuficientes
222 Chs

Tidak Apa-apa

Mobil Narendra sudah masuk ke dalam garasi yang sangat luas, berdampingan dengan mobil-mobil mewah miliknya yang lain. Suasana di dalam mobil saat ini terasa panas dengan dua orang yang masih berada di dalam sana. Suara napas dari keduanya sangat jelas terdengar, diiringi suara desahan dari mulut sang wanita.

Nastya memeluk leher Narendra dengan erat, menempelkan tubuhnya dengan tubuh pria itu dengan penuh pengharapan. Mereka berbaring di atas jok mobil yang sudah diturunkan.

"A-aku ... ingin sekarang," bisiknya di telinga Narendra. Tubuh keduanya sudah tidak berpakaian, namun pria itu masih saja ragu untuk melakukannya di dalam mobil.

"Kenapa kau seperti ini? Siapa yang memberimu obat perangsang?" Narendra masih menahannya. Ia hanya ingin tahu, siapa orang yang berani memberi Nastya obat. Karena, tidak mungkin Nastya segila ini jika bukan karena pengaruh dari obat perangsang.

"Ahhhh!" Wanita itu tidak menjawab. Hanya menggeliat sambil menggelengkan kepala. Sama sekali tidak peduli siapa yang memberinya obat. Yang ia pedulikan saat ini adalah ... keinginannya terpenuhi.

"Sekarang, lakukanlah! Aku mohon!" lirihnya dengan susah payah. Ia sudah tidak bisa menunggu lagi. Ingin segera memakan Narendra dan melepaskan semua rasa tidak nyaman di tubuhnya.

"Apa kau tidak takut seseorang akan melihat kita di sini?" bisik Narendra. Ia menekan tubuh kecil itu dengan sedikit tenaga. Menunduk dan melihat ketidakberdayaan wanita itu.

Nastya menggelengkan kepalanya lagi, menandakan bahwa dia tidak takut apapun. Hanya takut jika keinginannya tidak akan terpenuhi.

"Sebaiknya kita ke kamarku saja, ya?"

Nastya kembali menggelengkan kepala. Sama sekali tidak ingin pindah ke manapun. Hanya ingin melakukannya di sini, dan detik ini juga. Tidak ingin berpindah dan melanjutkannya di tempat lain.

"Baiklah! Jangan menyesal, kau yang menginginkan ini," jawab Narendra. Ia mulai menekannya, mencium Nastya lagi dan membuka kedua kakinya.

"Ennhh!"

Permainan pun dimulai. Mereka menghabiskan malam ini di dalam mobil, di garasi mobil yang sangat gelap tanpa ada cahaya sedikitpun.

Hingga di pagi hari, sebelum Narendra bangun, Nastya sudah memakai kembali pakaiannya. Ia keluar dari dalam mobil dan berjalan masuk ke dalam rumah dengan mengendap-endap. Bukannya masuk ke kamar Hindra yang ada di lantai dua, ia malah memilih untuk masuk ke dalam kamar tamu yang ada di lantai satu.

Di sana, Nastya segera melepaskan semua pakaiannya. Pergi ke kamar mandi, membersihkan seluruh tubuhnya yang terasa lengket karena keringat.

Pergulatan mereka sepanjang malam—di dalam mobil—masih terbayang jelas di ingatannya. Bagaimana dirinya memohon pada Narendra tanpa rasa malu, bermain lagi dan lagi seolah tidak pernah puas. Pengaruh obat perangsang itu memang sangat dahsyat. Membuat Nastya menjadi wanita liar.

"Aishhh, sial!" maki Nastya, di bawah guyuan air di kamar mandi. Ia menggosok kasar kepalanya sendiri. Merasa bodoh dengan tindakannya semalam.

"Mengapa aku harus memohon pada Narendra? Tidak bisakah aku menahannya?"

"Dan ini ...." Nastya menunduk, melihat banyak tanda merah di tubuhnya karena perbuatan Narendra semalam. Menandakan betapa gilanya permainan mereka di dalam mobil. "Argh ... mengapa aku tidak bisa mengendalikan diri?"

Nastya segera menggosok seluruh tubuhnya, menggosoknya lagi beberapa sampai bersih. Setelah selesai, ia mengambil handuk yang tersedia di sana dan segera memakainya.

Tidak lupa, ia meminta asisten rumah tangga untuk mengambil pakaian bersih dari kamarnya yang ada di lantai dua.

*

Siang hari, Nastya bergegas pergi ke rumah sakit untuk melihat hasil rontgen kemarin. Ia menghubungi Dokter Kavin terlebih dahulu sebelum mencarinya.

"Tunggu saja di ruang kerjaku. Sebentar lagi aku selesai," ucap Dokter Kavin dari seberang telepon.

"Apa benar tidak apa-apa ... jika aku menunggu di dalam ruang kerjamu?" tanya Nastya sedikit ragu.

Pasalnya, saat ini ia sudah sampai di depan ruang kerja Dokter Kavin. Namun di dalam ruangan itu nampak sepi, sama sekali tidak ada orang. Nastya takut akan menimbulkan masalah untuk pria itu jika dirinya menunggu di dalam.

"Tidak apa-apa, masuk saja! Sebentar lagi aku selesai, kok!" Dokter Kavin meyakinkan.

"Emh, baiklah! Aku tutup dulu teleponnya, ya!"

"Oke!"

Klik!

Sambungan terputus.

Nastya segera masuk ke dalam ruang kerja Dokter Kavin dan menunggunya di sana.

Baru sepuluh menit menunggu di ruangan itu, tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka. Nastya pikir itu Dokter Kavin. Nastya yang sedang duduk di kursi segera berdiri, dengan wajah berseri-seri menatap seseorang yang baru masuk ke dalam ruangan itu.

"Dokter Kav—"

'Vin!' lanjutnya di dalam hati. Nastya melihat yang masuk ke ruangan itu buka pria yang ia tunggu, namun seorang wanita muda dengan pakaian putih seperti seorang dokter.

"Eh, maaf! Apa Kavin ada?" Tiba-tiba wanita itu bertanya. Dia masih berdiri di depan pintu sambil menatap Nastya.

"Dokter Kavin belum datang! Dia masih berada di ruang oprasi!" jawab Nastya sesuai dengan apa yang Dokter Kavin tadi katakan di telepon.

"Oh, seperti itu! Baiklah!" Ketika dokter cantik itu bersiap untuk pergi, terdengar seseorang berkata di belakangnya, "Jesslyn?"

"Eh, Kavin! Sudah selesai?" tanya Jesslyn dengan senyum cerah di bibirnya. Ia mengikuti langkah Dokter Kavin masuk ke dalam ruangan itu. "Bagaimana operasinya ... apa berjalan dengan lancar?"

"Emh, semuanya selesai dengan baik!" jawab Dokter Kavin sedikit acuh. Ia terus berjalan masuk ke dalam ruangannya tanpa menoleh sedikit pun pada Jesslyn.

"Maaf, membuatmu menunggu!" ucap Dokter Kavin sangat ramah pada Nastya. Lalu ia duduk di kursinya sambil tersenyum manis. Rasa lelahnya tiba-tiba menghilang setelah melihat wajah cantik yang ada di depannya.

"Eh, tidak apa-apa ... aku baik-baik saja! Kenapa kau harus meminta maaf?" jawab Nastya dengan sedikit bercanda. Membuat wanita di sampingnya segera menekuk wajahnya.

"Sepertinya kau sedang sibuk!" ucap Jesslyn tiba-tiba. Wajahnya terlihat kecewa. "Nanti aku akan kembali lagi setelah kalian selesai!" Ia pun berbalik dan pergi.

"Ya ... satu jam lagi, kembalilah! Mungkin kami sudah selesai!" jawab Dokter Kavin setengah berteriak. Membuat Jesslyn semakin kesal.

Bruk!

Dia menutup pintu dengan keras. Meninggalkan ruangan itu dengan langkah kaki yang dihentikan sangat kuat ke lantai.

"Eh, kenapa dia?" Nastya menoleh ke belakang, menatap pintu ruangan yang sudah tertutup rapat.

"Tidak apa-apa! Mungkin dia ada sedikit masalah dengan pekerjaannya. Jadi mencariku untuk sekedar bercerita," jawab Dokter Kavin tidak peduli.

"Oh iya, bagaimana kondisimu sekarang?" Dokter Kevin bangkit berdiri, berjalan menghampiri Nastya lalu duduk di sampingnya. "Apa kepalamu masih terasa sakit?"

"Ya, sedikit!" jawab Nasya dengan sedikit tersenyum. "Eh, bagaimana dengan hasil rontgen-ku kemarin? Apa hasilnya sudah keluar?"

Niatnya datang ke rumah sakit ini memang untuk melihat hasil rontgen kemarin. Ia khawatir, benturan di kepalanya akan menyebabkan cedera yang serius.