Lia keluar dan lari ke arah ruangan Al, dimana pria berumur lima puluh tahun itulah yang mengurus yayasan. Bisa dibilang, Al yang menjadi donatur sekaligus kepala yayasan. Setahu Lia, hanya pria setengah abad itu yang bekerja banyak untuk membantu anak kurang mampu. "Pak Al!" teriaknya ketika seorang pria bertubuh tegak itu melewati pintu, baru saja keluar dari ruangan yang ingin dituju Lia.
Sampai di depan Al, Lia bisa menangkap kalimat lelaki tua itu mengatakan, "Semua sudah beres. Akan saya hubungi setelah ini." Kemudian ia melemparkan tatapannya pada Lia. "Hai Nona, Lia! Kau kemari, sudah menemui anai-anak?"
"Sudah kok, Pak Al," jawabnya tersenyum. "Ngomong-ngomong, ada acara apa di aula? Apa hari ini ada anak yang ulang tahun?"
"Tidak. Tetapi, ada seorang donatur yang ingin merayakan kehadiran bayinya. Jika Nona Lia ingin ikut, silakan."
Lia tertawa pelan, "Terima kasih Pak Al, tapi aku harus buru-buru ke salon. Waktu istirahatku hampir habis, Pak." Alfred mengangguk mengerti, padahal Lia berbohong. Sengaja menutupi kelakuan sang mama yang bisa-bisa memotong gajinya. "Kalau begitu sampai jumpa lagi, Pak Al! Tolong sampaikan salamku buat anak-anak, ya," imbuhnya yang langsung menyambar tangan kanan Alfred. Mencium punggung tangan itu dan segera membungkuk.
Lia berlari ke arah gerbang. Alfred lantas mengamati kepergian Lia sembari memasukkan dua tangannya ke dalam kantong celana. Namun, lama mengamati Lia dia justru dibuat kaget dengan pemandangan di depan sana. Hampir saja membuat jantungnya tercabut begitu saja.
"ASTAGA! DIMANA MATAMU! HATI-HATI MENYETIR, DONG!" teriak Lia yang sudah mendidih. Ia hampir saja terpental jika tidak segera minggir. Refleks, ia melempar kerikil ke mobil yang tak berhenti itu sambil buru-buru bangun.
Ingin rasanya melempar kaca mobil itu dengan batu yang lebih besar dan berat. Tapi Lia sadar, selain tak ada waktu untuk mencari batu besar, bagaimana caranya dia membayar kalau orang yang menabraknya justru minta ganti rugi? "UNTUNG AKU HARUS KERJA! KALAU ENGGAK, REMUK SUDAH MOBIL MEWAHMU ITU SEKARANG JUGA!"
Mengelus bokongnya yang sakit sekaligus menyingkirkan debu di celana jeans itu. "Argh!" pekiknya begitu pinggangnya berbunyi. Merapikan bajunya singkat, sesudah itu membuang muka dari mobil hitam yang terparkir di halaman yayasan. "SIALAN!" semburnya lagi menunduk.
Lia mengeluarkan kacamata dan berjalan santai saja, karena jarak salon ibunya hanya lima ratus meter dari sini. "Kalau sampai ada apa-apa sama badanku, aku datangi rumahmu! Enggak mau tahu!"
Mengaduh kesakitan lagi dengan satu tangannya yang tak berhenti memegangi pinggul. Lia bisa menjamin bahwa sosok di dalam mobil mewah hitam tadi juga donatur panti asuhan. "Kurang ajar banget, memangnya enggak sakit apa?! Huh!" ringis Lia lagi. Ya, nyeri pinggul terasa sekali akibat tubuhnya tadi menghantam jalan. Itupun karena Lia menghindari mobil mewah yang melaju cukup kencang ke arahnya. Apalagi kalau dia tidak sempat menghindar, pasti tulangnya sudah pindah tempat.
***
Untuk ke sekian kalinya Lia melirik profil lelaki yang umurnya sudah menginjak kepala tiga itu. "Apa aku harus menemui tuan ganteng itu?" tanyanya pada diri sendiri. Menimbang-nimbang keputusan sebelum memutuskan.
Bukankah menakutkan dan sangat berisiko kalau ia harus menemui pria asing? Ditambah lagi di saat hari sudah gelap. "Kalau enggak ketemu sekarang, takutnya aku menyesal. Tapi, kalau ada apa-apa sama aku, siapa yang mau tanggung jawab?!"
Lia yang sedang berdiri di depan lemari jadi bimbang mengambil baju ganti. Kini ia masih memakai handuk saja. Bingung antara datang ke restoran atau menerima akunnya diblokir calon sugar daddy.
Baru ingin melempar telepon genggamnya ke kasur, dering tanda panggilan masuk terdengar. Lia bisa memekik senang setelah tahu Dela sahabatnya yang menelepon. "Halo Del! Wah, kebetulan banget kamu nelpon aku! Aku mau minta saran, nih!" cerocos Lia yang tak sempat membiarkan Dela membalas sedikitpun ucapannya.
Seolah ada yang genting dan sangat mendesak, Dela pun mempersilakannya untuk bercerita. Lia pun menceritakan semua secara singkat. "Jadi enaknya aku harus apa, Del?" tanya Lia kemudian.
"Selagi masih ada kesempatan, kenapa enggak kamu coba? Jarang ada yang tajir melintir, kamu beruntung, tuh!"
"Jadi, aku harus temuin dia?" tanya Lia sekali lagi demi meyakinkan diri. Dela dengan semangat memintanya untuk bertemu tuan B. "Ya sudah, aku ganti dulu baru berangkat. Kamu doain aku biar lancar, ya, Del!" Dela dari seberang mengiyakan. "Oh, iya. Kamu telepon aku mau bilang apa?"
"Mau ajak kamu makan di luar sekalian belanja, tapi kamu malah ada acara."
"Ya maaf," balas Lia yang sedikit merasa tak enak. Dia tahu kalau Dela tidak akan marah, perempuan itu sudah terbiasa pergi sendiri. Biasanya Dela hanya mengajak dirinya ketika banyak uang dan seperti kemarin, mendapat jatah dari sugar daddy kesayangannya.
Dela tertawa pelan dan pamit, karena dia harus berangkat ke pusat perbelanjaan sekarang. "Have fun, Lia!" Lia mengaminkan lalu menjawab kalimat yang sama, dan membiarkan Dela yang mengakhiri panggilan.
Sesudah itu dirinya mulai mencari pakaian yang cocok untuk dikenakan. "Enggak mungkin aku pakai jeans" gumamnya saat membuka pintu lemari bagian kiri. "Gaun abu-abu polos yang biasanya dimana, ya?" sambil memilah beberapa terusan yang rata-rata berwarna merah, hitam, dan abu-abu bermotif bunga.
***
Di sebuah kamar dengan lantai yang terbuat dari marmer dan lampu gantung mahal, harganya kisaran ratusan juta, seorang pria tampil memukau. Kamar itu bukanlah kamar dari seorang sembarangan. Terlihat juga dari kasur besar nan megah dengan warna hitam pekat dan beberapa sentuhan warna silver di bagian kepala ranjang.
Pintu diketuk, pas sekali saat pria berumur tiga puluh tahun ini selesai mengancingkan jas hitamnya. "Masuk," perintahnya begitu mendengar suara ketukan khas dari dari tangan kanannya sekaligus adik kandung dari sang ayah. Memutar badan dan bertanya, "Ada apa?"
"Meli menangis," sahut lelaki setengah abad itu memberitahu. "Kau yakin akan pergi?" tambahnya dengan tubuh tegap dan mata menatap lurus ke arah Brian, keponakannya ini.
"Acaraku lebih penting." Brian mengatakannya sambil melewati sang paman.
Bahkan tanpa mengucapkan permisi, itu kebiasaannya yang sudah mendarah daging. Ekspresi lelaki tiga puluhan ini tampak tenang. Seperti biasa, seakan dia tidak peduli pada Meli yang sangat membutuhkan kasih sayangnya.
"Setidaknya gendonglah sebentar saja," suara Al yang penuh permohonan ini akhirnya mampu menghentikan langkah lelaki berpakaian serba hitam tersebut. Al melanjutkan, "Berhenti menyia-nyiakannya. Ingat, kau sangat beruntung karena sudah mendapat hak asuhnya." Kemudian Alfred mengangkat kaki dan berjalan cepat melewati Brian yang masih diam di tempat
"Menyentuhnya membuatku teringat kelakuan wanita murahan itu." Brian mengatakannya sambil menyusul Alfred. Sesudah langkah mereka sejajar, Brian kembali bersuara, "Tidak menggendongnya bukan berarti aku membencinya." Sesudah itu Brian benar-benar keluar kamar, lalu menuruni tangga. Tanpa mampir ke kamar bayi mungilnya.