webnovel

Patah Paling Parah

Ndari mengalami perubahan hidup semenjak hadirnya sosok wanita yang meminta dipanggil ibu. Wanita yang mampu membuat hati ayah luluh bahkan merampas hartanya secara tak sadar. Ditambah lagi hadirnya saudara tiri yang berlagak seenak jidat membuat Ndari muak. Wanita itu benar-benar membuat tertekan batin setiap hari. Ndari diperlakukan tidak adil hingga akhirnya, memutuskan kabur. Meninggalkan semua kemewahan dan memilih tinggal di rumah pacar. Namun, apa yang terjadi? Dia malah terpaksa diusir orang tua pacar demi menghindari fitnah tetangga. Lantas bagaimana kelanjutan hidup Ndari?

Natasya_Drsye · Adolescente
Classificações insuficientes
36 Chs

Pertengkaran Kecil

Tadi malam menunggu mama sampai ketiduran. Pagi ini karena masih penasaran ingin langsung bertanya tentang pria berkacamata itu siapa. Berulang kali Sinta mengamati dirinya di depan cermin. Memastikan apakah seragam yang dikenakan sudah rapi sekaligus bingung, memikirkan.

Rasa curiga bercampur penasaran campur aduk. Lantas, Sinta kembali mengecek jadwal sekolah agar tidak salah buku yang tadi malam sudah disiapkan. Setelah semua oke dan beres, bergegas keluar. Namun, sebelum itu tentunya tempat tidur sudah terlihat bersih dan rapi, agar mama tidak ngomel lagi.

Dengan begitu Sinta dapat meninggalkan tanpa harus kepikiran. Pintu ditutup dan menghampiri mama yang tengah sibuk di dapur. Mitha yang menyadari kedatangan anaknya langsung mengatakan, "Mama bangunnya telat, Sin. Jadi cuman ceplok telur, enggak papakan?"

Sinta mengangguk, baginya makan apa saja tidak Maslah. Asalkan Mama tidak emras direpotkan. Jarang sekali dirinya menuntut dimasakkan, ini dan itu. Yang jelas, Sinta bisa dikatakan anak penurut. Tak ingin protes pada hal-hal yang menurutnya spele. Lagian mama sudah berusaha membuatkan sarapan. Baginya sudah Alhamdulillah.

"Sinta ambil piring," pinta Mama.

Sinta menyodorkan dua piring dan mereka langsung menaruh masing-masing telur di atasnya. Keduanya duduk pada meja makan, menikmati sarapan pagi.

Mitha mengamati anaknya yang terlihat beda, "Kamu kenapa Sin?"

"Kenapa Ma?" Sinta malah balik tanya.

"Kayak gelisah gitu." Mitha menyuapkan nasi ke dalam mulut sampai penuh. Memang begitu jika makan berdua, tak perlu jaga sikap dan apa adanya. Berbeda jika makan di hadapannya Atmaji. Tentu dirinya harus terlihat cantik dan elegan, meskipun sedang makan.

Sinta ragu antara bertanya atau tidak. Apa lain kali saja ya? Berulang kali napasnya diembuskan untuk menimang-nimang apa yang menjadi beban pikiran.Tiba-tiba saja terbesit, alangkah baiknya menanyakan sekarang ketimbang harus mendam.

"Pria tadi malam itu siapa, Ma?"

Deg! Uhuk-uhukk.

Sudah diduga pasti Sinta penasaran dengan pria tadi malam. Sepertinya memang tak seharusnya Minta menutup-nutupi. Setelah cukup minum ia langsung menjawab, "Itu Atmaji namanya."

"Ayah Sinta?" tanya anak itu dengan wajah polos.

Mitha menghentikan makan. Meraih minumnya dan seketika ingatannya kembali pada seseorang yang tadi malam menabraknya di Mall. Ya, pria itu sepertinya adalah Burhan. Sinta mengenyol tangan mama. Sontak kaget.

"Kenapa Sin?" tanya Mitha mengerutkan kening.

"Mama ditanya malah benggong. Pria tadi malam itu … Ayah?"

Mitha menarik napas, menggelengkan kepala. Mengambil meletakan meminumnya kembali, "Bukan, Ayahmu mungkin sudah meninggal."

"Mama, kenapa sih Sinta enggak diperbolehkan untuk tahu siapa Ayah. Kenapa Mama melarang?"

Mitha menatap wajah melas putrinya kemudian beralih ke jam dinding. Tak ingin menanggapi pertanyaan itu, ia langsung bangkit meletakan piring kontor.

"Ma … Mama," panggil Sinta.

"Habiskan makanmu, jangan sampai telat. Lihat jam berapa sekarang," sahutnya cuek.

Sinta bangkit, memilih tak menghabiskan makan dan langsung menyambar tas. Tanpa pamit ia langsung mengendarai sepeda montor hendak berangkat. Mitha sampai kaget dengan tingkah anaknya yang berbeda dari biasa. Bergegas ia menghampiri.

"Kenapa tak pamit!" bentaknya marah dengan kedua tangan dilipat, "awas kalo lain kali diulangi!"

Sinta dengan berat hati mematikan kendaraan dan menghampiri mama dan mencium tangannya. Mitha mengembuskan napas, mencoba mengontrol emosi melihat anaknya yang menurut. Meskipun harus diomeli lebih dulu.

"Bukannya tak boleh kamu bertemu Ayah tetapi Mama sendiri saja, tidak tahu sekarang Ayahmu di mana."

Deg! Sinta terbelalak mendengar perkataan itu dari Mama. Berarti pria yang tadi malam bukan ayahnya. Lantas, mengapa Mama pegi bersama? Ah, sudahlah. Lebih baik brangkat sekolah dulu dan masalah itu nanti dipikirkan kembali.

** *

"Ayah, e … Ndari boleh tanya sesuatu enggak?"

Atmaji menoleh pada putrinya. Matanya masih fokus mengamati jalan menuju kantor sekaligus mengantar sekolah.

"Boleh, mau tanya apa kamu?"

"E- Ndari, minta Ayah untuk tidak menikah lagi." Wajahnya langsung tertunduk setelah mengatakan itu. Sedangkan Atmaji malah terasa panas, ingin marah. Sudah terlihat dari tangannya yang menahan kepalan.

"Kenapa! Enggak suka sama pilihan Ayah? hah!"

"Maaf Ayah tapi … ini demi Ndari dan Mama. Demi kita agar k-"

"Kamu masih enggak puas sudah Ayah beri kebebasan untuk pacaran dengan Miko. Hah?"

Nada bicara ayah semakin meninggi. Ndari jadi merasa bersalah tetapi apa yang dikatakan adalah kebenaran yang ia inginkan. Ternyata dugaannya selama ini benar. Ayah memberikan kebebasan pacaran ada timbal baliknya. Dengan begitu beliau bisa menikah dengan Tante Mitha. Ah, sial!

"Ayahmu ini kepala keluarga dan tentunya kamu haus patuh, ingat itu. Turun sudah sampai."

Ndari masih dengan wajah memelas turun dari mobil dekat pintu gerbang. Begitu juga dengan Atmaji yang langsung melesat menuju kantor. Hatinya benar-benar kesal. Pagi-pagi sudah membuatnya emosi.

"Hai, Sayang!" teriak Miko depan penuh percaya diri. Tanpa malu teriakan didengar oleh satpam. Ndari kaget saat cowok itu datang dan langsung merangkul.

"Hai, tahu tempat dong! Ini di sekolahan," tegurnya mendorong agar menjauh.

Miko senyum melepaskan tangannya, "Jangan galak gitu, dong Sayang. Lihat itu kalo cemburut hilang cantiknya."

"Sudahlah, enggak usah gombal. Aku mau masuk kelas dulu."

"Tunggu," panggil Miko menarik tangannya, "ada masalah apa?"

"Lepas! Enggak ada masalah, kok."

"Jangan bohong. Sini ayo cerita." Miko menarik paksa untuk menepi.

Ndari mengembuskan napas tak ingin menambah pening, "Nanti aku cerita, pulang sekolah. Aku mau masuk kelas dulu."

"Haduhh... ya udahlah. Kalo maunya dia begitu," pungkasnya yang memerhatikan Ndari melangkah meninggalkan.

***

Pulang sekolah Miko sudah menghadang kekasihnya di pintu gerbang. Tak sabar mendengar cerita yang sudah dijanjikan. Ndari berjalan dengan lunglai, seolah beban dunia menumpuk padanya.

"Sini …." ajak Miko menarik tangannya ke kantin.

Sebelum menceritakan, cowok itu lebih dulu memesan es teh untuk keduanya. Mulai bercerita tentang pertengkaran kecil dengan ayahnya pagi tadi. Tak terasa air mata menitik, "Entahlah … semuanya terasa menyakitkan. Ayah tak mau mendengarkan saran dariku. Mentang-mentang kepala keluarga jadi semena-mena."

Tampaknya cowok itu masih diam, megamati tangan kekasihnya yang mengusap air mata. Menundukan wajah sesenggukan, "Dugaanku benar. Ayah tiba-tiba bersikap baik, ternyata ada maunya."

"Maksudnya?"

"Beliau memberikan kebebasan aku denganmu. Supaya Ayah dapat menikah dengan Tante Mitha. Jahat memang!" tangsinya semakin pecah.

Tangan Miko dengan cepat menyeka air mata yang menitik. Membingkai wajah kekasihnya dengan tenang, "Sudah jangan nangis lagi. Aku tahu, pasti sakit rasanya.Yang penting aku selalu di sisi kamu."

"Aku enggak nyangka, Ayah sejahat itu …." Netra Ndari menatap Miko dalam-dalam. Tangis air mata masih membasahi area pipi.

"Iya … sudah, jangan sedih lagi. Sini aku peluk." Miko merentangkan tangan. Memeluk kekasihnya dengan mengelus lembut rambut yang terurai sepinggang.

"Aku harus bagimana, Mik?"

"Sekarang kamu harus tenang dulu. Tarik napas dan perlahan embuskan," perintahnya lembut.

Ndari mencoba mempraktekan saran itu menarik napas berkali-kali. Sampai rongga dada terasa kembali lega. Namun, tak bisa dibohongi air mata masih saja tak dapat dihentikan. Meskipun sudah berulang kali tanganya menyeka.

"Sudah-sudah … sekarang harus ikhlas, sabar untuk menyembuhkan lukamu. Jangan diambil pusing. Bagimanapun juga dia juga Ayahmu...."