webnovel

Patah Paling Parah

Ndari mengalami perubahan hidup semenjak hadirnya sosok wanita yang meminta dipanggil ibu. Wanita yang mampu membuat hati ayah luluh bahkan merampas hartanya secara tak sadar. Ditambah lagi hadirnya saudara tiri yang berlagak seenak jidat membuat Ndari muak. Wanita itu benar-benar membuat tertekan batin setiap hari. Ndari diperlakukan tidak adil hingga akhirnya, memutuskan kabur. Meninggalkan semua kemewahan dan memilih tinggal di rumah pacar. Namun, apa yang terjadi? Dia malah terpaksa diusir orang tua pacar demi menghindari fitnah tetangga. Lantas bagaimana kelanjutan hidup Ndari?

Natasya_Drsye · Adolescente
Classificações insuficientes
36 Chs

Dendam Kesal

Hidup ini memang rumit, masalah satu belum selesai. Mencari jalan keluar tetapi malah menemukan jalan yang dipilihnya salah. Seharian penuh Ndari tak beranjak dari tempat tidur. Meratapi nasibnya yang tak lulus uji seleksi.

Vivi sebagai teman meskipun tidak begitu akrab, sangat tahu dengan perasaan yang dialami wanita itu.

Tidak memiliki pekerjaan, belum berpengalaman dan gagal dengan apa yang tuju adalah hal paling menyebalkan dalam hidup. Apalagi ditambah tidak memiliki rumah untuk kembali.

"Dunia sedang tidak baik-baik saja hari ini," lirih wanita itu tak berdaya di atas kasur.

"Bukan dunianya tapi dirimu yang sedang tidak baik."

"Lantas apa yang harus kulakukan? Apa kau berpikir diriku ini bodoh. Memilih kabur tanpa membawa sesuatu yang berharga. Apa aku akan jadi gelandangan?"

Vivi terkekeh, sebenarnya ini bukan waktu yang tepat untuk tertawa. Namun, jika dipikir-pikir kembali temannya itu lucu juga.

"Hai, janganlah frustrasi," ucapnya yang mendekat dan mengelus bahu, "kata siapa kau tak membawa sesuatu yang berharga? Lihatlah dalam koperku ada ijazah, pakaian, menurutku itulah hal berharga yang bisa digunakan."

"Huufffttt ...." Terdengar embusan napas berat, terlihat sangat putus asa.

"Tenanglah, dunia belum berakhir. Kau akan baik-baik saja," ujarnya menepuk-nepuk pundak menguatkan.

"Seharusnya aku curi uang Ayah sebelum diambil oleh wanita jahat itu!"

"Iya, tapi kau tidak melakukannya. Kau anak baik," ucapnya seraya tersenyum.

"Aku tahu kau menghinaku." Cairan bening berhasil lolos dari sebelah matanya.

Vivi mendekat dan ikut menyeka, "Hai, yang kutahu kau tidaklah cengeng."

"Oke, tak ada yang harus ditangisi aku pergi dari rumah itu dengan penuh kesadaran."

"Ya, benar. Seharusnya kau sudah memikirkan gagal atau berhasil dalam melangkah."

"Terima kasih, atas kepedulianmu."

Vivi mencoba untuk memeluk Ndari. Memberikan ketenangan karena hal itulah yang diperlukannya saat ini.

"Kau tak mandi, sudah sore."

"Entahlah, tubuhku, tulang-tulang ini rasanya hancur berkeping-keping. Bahkan, otot-otot ini sakit semua."

"Ohhh ... aku paham. Baiklah, aku akan membuatmu masakan."

Nadai mengangguk, mengamati Vivi yang menghilangkan dari hadapannya.

"Sejak kemarin kenapa Ayah tak mencariku? Bahkan untuk sekadar basa-basi menanyakan kabar pun tidak." Ditatap layar ponselnya iba.

Ndari mencoba bangkit dari atas kasur yang membuatnya malas dan sakit sekujur tubuh. Daripada diam pikirannya malah melayang pada Ayah yang tak juga peduli terhadapnya.

"Masak apa?"

Vivi kaget temannya mendekat, "Tidurlah, tak masalah. Aku akan membuat opor ayam untukmu."

"Tak ada kegiatan malah membuat diriku semakin menyediakan."

"Iya, aku paham. Kau bisa bantu aku untuk mencuci daging ayam ini."

Tanpa menjawab, langsung dilaksanakan apa yang yang diminta oleh Vivi.

"Ngomong-ngomong kau ambil jurusan kursus apa, tadi?"

"Tata rias," sahut Vivi menolehkan wajah,"andai kamu lulus terus mau pilih jurusan apa?"

"Hehehe ... lulus saja tidak, untuk apa berandai-andai."

"Yang kutahu hidup penuh keajaiban. Siapa tahu keajaiban akan datang di hidupmu."

"Aamiin."

***

Ndari shock melihat status Whatsapp Ayah foto nikah dengan Tante Mitha. Ya Tuhan, Ayah benar-benar telah dibuat oleh cinta.

"Aku enggak boleh nangis. Tak akan ada yang kembali...." keluhnya mencoba tegar.

"Kau kenapa?" tanya Vivi kembali mendekat.

Langsung diperlihatkan apa yang harusan terlihat di ponsel. Vivi menutup mulutnya tak percaya, ''Itu Ayahmu dengan wanita itu? Wanita jahat'kan?"

Kepalanya mengangguk mengiyakan bersamaan dengan air mata yang lolos menggelinding. Lagi-lagi Vivi mengusap lembut bahu temannya, menguatkan.

"Apa kabar dengan pacarmu?"

"Aku sudah memutuskan hubungan kita."

"What? Apa dia langsung menerima pendapatmu?"

"Entahlah."

Malam ini karena tak ingin melihat temannya sedih. Ia membawanya keluar untuk jalan-jalan. Namun, tampaknya Ndari tak bisa menutup kesedihannya.

"Hai, lihat bukankah itu Ayahmu. Wanita yang disampingnya persis dengan foto yang kamu tunjukkan." Tangannya menunjuk ke arah dua orang yang dilihat.

Mata Ndari terbelalak, tak percaya apa yang dilihat olehnya. "Benar itu Ayah dan Wanita jahat itu!"

"Mengapa kau memanggilnya wanita jahat?"

"Karena dia telah menipu Ayahku."

"Apa kau tak dendam?"

"Aku akan merebut semua yang telah dia kuasai dan apakah itu tidak dinamakan dendam?"

"Cinta memang membuat Ayahmu buta. Bersabarlah," saran Vivi nyaris tak terdengar.

"Aku ingin melambaraknya, tapi bagaimana?"

"Serius?" Vivi terbelakak.

Wajahnya mengangguk serius. Cukup lama wanita itu dipantau oleh Ndari dan entah kebetulan atau apa. Wanita jahat itu menuju ke toilet. Bergegas Ndari memanfaatkan waktu itu. Mengikuti dan masuk.

"Astaga!" serunya kaget menyadari anak Atmaji tiba-tiba muncul, "ada apa, mengapa kau muncul di sini?"

"Mungkin kau mengira telah menang, tapi yang harus kau ingat. Ini semua belum berakhir!" ancamnya.

Mitha tertawa, merasa hina saat saat mendengar gadis itu kembali muncul dan mengancamnya.

"Jangan berlagak sombong. Kau telah kalah sebelum peperangan dimulai," ejek Mitha.

"Iya, kuakui. Tapi aku akan kembali saat kau lemah. Camkan itu!"

"Baiklah, aku tunggu balaa dendammu anak manis hehe."

'Akan kupaatikan senyum itu hilang dari wajahnya.' bantin Ndari mengepal tangan geram.

Tiba-tiba saja ponsle Mitha berbunyi, "Halo, Mas. Tunggu sebentar ya, aku akan segera ke sana."

"Lihatlah siapa yang menelpon. Dia Ayahmu yang sudah tergila-gila padaku," ejeknya lagi.

"Menyediakan," lirihnya nyaris tak terdengar.

"Kau yang menyediakan. Anak malang!" serunya menatap tajam.

Wanita itu terlihat begitu jahat di mata Ndari. Membuatnya benar-benar kesal dan marah dalam diam.

"Sampai kapan kau di sini? Pergilah, dengan berdiri di situ kau tak akan mendapatkan untung apa-apa."

Kalimantan menampar menyadarkan, menelan saliva dan tenggorokan terasa kering. Wanita jahat itu tertawa puas.

"Pergilah anak manis, apa perlu uang untuk mengusirmu, hah?"

Kembang kempis napasnya sulit mengatur seirama. Sesak, dan rasanya ingin meledak sangat menghujam hati. Baiklah, pergi adalah pilihan daripada harus terus-menerus dihina. Tanpa pamit, Ndari memilih pergi meninggalkan toilet.

Mitha tertawa puas melepas kepergian gadis malang itu. Bahagia yang dirasakan tak dapat dilukiskan. Sebab, anak Atmaji dulu pernah meremehkannya.

Ndari sengaja melintas di depan Ayahnya. Pria berkacamata mata itu, sepertinya tak percaya dengan apa yang dilihat. Ia langsung bangkit mencoba menyusul. Namun, Ndari memilih sembunyi di parkiran tepat di belakang mobil.

"Ndari ... Ndari?" panggil Ayahnya.

Matanya melihat kesegala penjuru, tak lama Mitha mendekat. Wanita itu bergelut manja di lengan tangan pria yang baru saja sah menjadi suaminya meskipun hanya nikah siri.

"Ada apa Mas?"

"Aku melihat Ndari? Aku ingin mengajaknya makan ... pasti dia belum makan." Wajahnya terlihat panik.

"Sudahlah... mana mungkin dia ada di sini. Mungkin Mas Maji salah lihat."

Mendengar ucapan istrinya, Atmaji jadi bingung ke mana putrinya pergi? Bahkan sudah beberapa hari ini tanpa ada kabar kembali.

"Aku jadi mencemaskan ya," ucap Atmaji.

Mitha mencoba meraih tangan suaminya, tersenyum dan menggenggam tangan pria itu. "Jika dia bersama pacarnya, pasti aman Mas. Percayalah padaku."

Atmaji hanya menghela napas panjang. Berusaha yakin jika anaknya akan baik-baik saja. Mungkin anaknya tadi tak melihat dirinya ada di sana jadi wajar jika mengabaikan.

"Aku jadi merasa bersalah dengan Ndari," keluhnya lirih.

"Mas ... Ingat, Ndari sendiri akan menjadi dewasa setelah melewati fase ini. Aku dulu, juga pernah keluar rumah saat masih seusianya."

"Benarkah?" Aliasnya sebelah sisi naik tak percaya.

"Iya, dan setelah aku kembali bisa menjadi lebih dewasa. Percayalah padaku, dia akan baik-baik saja."

Mitha berhasil membujuk dan membawa suaminya untuk kembali ke meja makan. Nadri yang hanya diam mengamati dari. Persembunyiannya.

"Sudahlah Ndari, ayo pulang!" ajak Vivi tiba-tiba menyadarkan lamunannya.