webnovel

Chapter 3 Rencana

"Kita batalkan saja perjanjian ini, Laura. Aku tidak mau melakukannya lagi." Ucap Anna dengan tegas.

"Kenapa?!" Tanya Laura dengan nada terkejut.

"Aku tidak punya waktu untuk melakukan hal-hal yang sia-sia seperti itu, aku juga sedang sibuk dengan pekerjaanku." Jawab Anna setelah menghela nafasnya dengan panjang.

"Hey, ayolah Anna. Kamu baru menemuinya satu kali dan kamu sudah menyerah begitu saja?" Ucap Laura dengan tatapan memohon.

"Dia tahu kalau kita membohonginya dan aku tidak bisa berbohong lebih jauh lagi." Ucap Anna dengan wajah lelahnya.

"OH MY GOD! Aku bwbar-benar habis! Kartu kreditku pasti akan diblokir sebentar lagi!" Teriak Laura dengan heboh.

Semua pengunjung cafe langsung menatap mereka berdua dengan tatapan risih. Suara Laura yang melengking dan memekakkan telinga sudah pasti akan mengganggu orang lain. Anna yang malu dengan tingkah sahabatnya itu hanya bisa menutup wajahnya dengan daftar menu. Setiap kali dia pergi bersama Laura, dia harus selalu menyiapkan mental yang kuat dan kesabaran yang banyak agar mereka berdua tidak berakhir dengan perkelahian. Anna memberi kode pada Laura untuk berhenti berteriak karena semua orang sedang memperhatikan mereka berdua.

Laura yang baru menyadari situasi yang tengah terjadi langsung meminta maaf kepada semua pengunjung cafe lalu kembali berbicara dengan nada yang lebih pelan sambil menutupi sebelah wajahnya dengan daftar menu juga. Laura sama sekali tidak menyangka kalau pertemuan itu akan berakhir dengan tidak baik. Dia pikir laki-laki itu tidak pernah melihatnya sama seperti dirinya yang tidak pernah melihat pria itu. Tapi ternyata semua hal berada diluar ekspetasinya selama ini. Dia pikir semuanya akan berjalan dengan lancar sesuai dengan rencananya dan perjodohan ini akan batal tapi sepertinya semua akan berjalan semakin rumit dan jauh dari rencananya.

Padahal pada kenyataannya, Anna lah yang memberitahu laki-laki itu bahwa dirinya bukan Laura. Dia terpaksa menutup fakta ini agar Laura berhenti memintanya untuk pergi ke kencan buta menggantikan Laura dan Anna berharap kali ini sahabatnya itu dapat bertanggung jawab dengan masalahnya sendiri. Sudah seharusnya Laura bersikap dewasa dan berhenti melarikan diri dari semua masalahnya.

"Pokoknya aku tidak mau bertemu dengan pria itu lagi ataupun pria-pria dari kencan butanu di masa depan." Ucap Anna dengan tegas.

"Lalu aku harus bagaimana sekarang?!" Tanya Laura dengan panik.

"Maaf, tapi itu bukan urusanku. Aku tidak bisa membantumu, kau harus bertanggung jawab atas masalahmu sendiri." Jawab Anna sambil mengangkat kedua bahunya ke atas.

"Kau tidak bisa seperti itu, Anna. Kita kan sudah sepakat dengan rencana ini." Ucap Laura dengan panik.

"Aku sepakat untuk menemuinya bukan untuk menyelesaikan masalah kalian berdua." Jawab Anna sambil memijat dahinya dengan pelan.

Laura menghela napasnya dengan kasar sambil mengaduk makanan yang baru saja datang dengan gerakan memutar. Mulutnya maju ke depan membentuk kerucut dan itu tandanya dia sedang merasa kecewa karena Anna tidak menuruti keinginannya. Terkadang berteman dengan seseorang yang berasal dari kalangan atas memang sedikit melelahkan. Apalagi jika seseorang itu terbiasa hidup dalam kecukupan dan tidak mengenal dengan baik dunia yang sebenarnya.

Tidak semua hal yang ada di dunia ini bisa dia dapatkan dengan uang dan kekuasaan keluarganya. Ada banyak sekali hal yang tidak bisa dia dapatkan dengan mudah. Contohnya waktu, cinta seseorang, nyawa dan kepercayaan orang lain yang sudah retak. Uang dan harta memang mempermudah jalan kita untuk mendapatkan apa yang kita inginkan tapi kita juga harus tahu bahwa ada banyak sekali hal yang tidak dapat kita raih meski kita sudah mengerahkan semua kemampuan dan harta yang kita punya. 

"Kau tahu kan kalau hubunganku dengan Richard sudah sangat serius dan kami bahkan sudah membicarakan pernikahan beberapa bulan terakhir ini." Ucap Laura dengan ekspresi wajah yang sedih.

"Aku tahu." Jawab Anna dengan singkat.

"Orang tuaku tidak akan pernah merestui hubungan kami karena Richard bukan berasal dari keluarga yang kaya. Satu-satunya jalan agar mereka berhenti mengusik kami adalah dengan membatalkan perjodohan ini." Ucap Laura dengan matanya yang mulai berkaca-kaca.

Anna hanya bisa diam sambil menatap Laura dengan tatapan sedih. Hatinya yang lemah kembali goyah hanya karena wajah sedih dan air mata palsu Laura. Padahal dia tahu kalau itu hanyalah tipuan Laura saja agar dia mau menyelesaikan masalah ini. Masalah hubungan Laura dengan Richard itu memang benar. Richard adalah senior Laura saat kuliah dan cukup Anna akui kalau Richard memang seorang pria yang tampan dan penuh pesona tapi sayangnya sifatnya itu tidak seimbang dengan fisiknya yang bagus. 

"Sejak menjalin hubungan denganku, dia sudah berubah. Dia tidak pernah lagi berhubungan dengan wanita manapun di belakangku. Kau tahu, ada banyak sekali wanita yang menyukainya karena wajah tampannya dan pesonanya saat berada di atas panggung tapi cintanya tetap dia berikan padaku seorang." Ucap Laura lagi sambil tersenyum lebar.

"Aku turut bahagia mendengarnya." Jawab Anna yang juga ikut tersenyum saat melihat Laura bahagia.

"Kau tahu, untuk berada di tahap ini sangat tidak mudah. Ada banyak sekali rintangan yang harus kami hadapi terutama aku." Ucap Laura dengan serius.

"Aku tahu." Jawab Anna sambil menganggukkan kepalanya dengan pelan.

"Tapi apa yang aku hadapi tidak seberat yang kamu hadapi." Ucap Laura sambil menatap Anna dengan tatapan sedih.

"Tidak usah dibahas kembali, baik aku ataupun dia sudah bahagia sekarang." Ucap Anna setelah terdiam untuk sesaat.

"Kurasa begitu." Jawab Laura sambil menganggukkan kepalanya dengan pelan.

"Ok, mari kembali pada masalah yang ada di depan mata kita sekarang. Bagaimana rencanamu selanjutnya agar kita berdua sama-sama selamat dari masalah ini?" Ucap Anna dengan serius.

"Seperti yang aku bilang padamu. Temui pria itu satu kali lagi dan buat dia membatalkan perjodohan ini." Jawab Laura dengan serius.

"Kalau tidak berhasil?" Tanya Anna sambil mengerutkan dahinya.

"Aku tidak punya pilihan lain selain melarikan diri bersama Richard ke negara lain." Jawab Laura setelah terdiam beberapa saat.

Di tempat lain dua orang pria muda tengah duduk berhadapan di sebuah ruangan sempit dan gelap. Mereka saling menatap dengan serius dan tidak mengucapkan sepatah katapun terhadap satu sama lain sebelum seorang pria tua masuk ke dalam ruangan itu sambil membawa dua cangkir kopi di tangannya. Suasana dingin dan tegang sempat menyelimuti mereka berdua sebelum mencair karena kehadiran orang lain. Pria tua itu menatap kedua pria muda itu dengan tatapan lelah sambil meletakkan kedua cangkir kopi yang dia pegang di atas meja.

"Bagaimana pertemuanmu dengan putri dari keluarga Dawson?" Tanya pria tua itu pada pria muda yang duduk di sisi kanannya.

"Seperti yang kau ketahui." Jawab pria itu dengan cuek.

"Dia tidak tahu identitas aslimu kan?" Tanya pria tua itu lagi sambil mengangkat cangkir kopi yang dia bawa tadi.

"Tidak." Jawab pria muda itu dengan singkat.

"Bagus." Ucap pria tua itu setelah menyeruput kopi pahit dan panas.

"Tapi identitasku terancam." Ucap pria muda satunya lagi.

"Latar belakang keluargamu yang bagus sangat membantu misi ini, kau tidak benar-benar akan menikah dengan putri keluarha Dawson." Jawab pria tua itu dengan tenang dan santai.

"Kenapa tidak aku saja yang menjalani misi ini?" Tanya pria muda yang satunya lagi.

"Darren, kau sedang menjalani misi rahasia untuk menyelidiki pejabat yang terlibat dalam kasus suap pada kasus senjata api dan narkoba yang masuk dari wilayah Meksiko." Jawab pria tua itu dengan santai.

"Tapi kasus itu terlalu ringan untuk senior sepertiku." Ucap Darren dengan kesal.

"Louis,kau harus menjalankan rencana ini dengan sukses agar kita bisa menangkap putra pertama keluarga Dawson. Kita perlu bukti yang kuat agar polisi mendapat surat penangkapan dan kasus ini dapat diproses oleh badan hukum." Ucap pria tua itu pada pria muda yang duduk di sebelah kanannya.

"Baik, pak." Jawab Louis dengan singkat dan tenang.

"Keputusan kita untuk mendekati adiknya adalah keputusan yang bagus. Kau juga butuh alibi yang kuat untuk melindungi organisasi kita. Jangan sampai orang lain mencurigaimu statusmu." Ucap pria tua itu dengan serius.

"Aku harap kau juga segera mencari alibi yang tepat untuk hal itu, Darren." Ucap pria tua itu lagi sambil menatap Darren.

"Baik, Pak." Jawab Darren dengan patuh.

"Aku rasa tidak ada lagi yang bisa kita bicarakan. Aku harus pergi menghadiri rapat dengan petinggi kepolisian. Oh ya, kalau kalian bertemu dengan Joan. Tolong katakan padanya untuk berhenti membuat masalah." Ucap pria tua itu dengan tegas.

"Baik, Pak." Jawab Louis dan Darren serentak.

"Kembali bekerja." Ucap pria tua itu sambil berdiri dari kursinya.

"Baik, Pak." Jawab Louis dan Darren serentak.

Pintu ruangan kembali tertutup dengan rapat dan menyisakan Louis dan Darren berdua. Mereka kembali bertatapan tanpa mengatakan apa-apa. Di dalam pekerjaan ini, mereka tidak bisa mempercayai satu sama lain termasuk rekan kerja. Ada banyak sekali rahasia yang mereka sembunyikan satu sama lain terutama kehidupan pribadi, apalagi hubungan percintaan. Dari awal mereka memutuskan untuk bekerja di badan rahasia negara ini sampai akhir dari batas usia yang mereka miliki. Kapanpun dan dimanapun mereka harus selalu siap menerima resiko kematian yang terus mengancam nyawa mereka.

Oleh karena itu mereka hidup dalam identitas palsu dan kehidupan yang palsu demi negara. Hidup dan mati mereka untuk negara. Bahkan mereka siap meninggalkan semua yang mereka miliki untuk mengabdi pada negara. Antara rasa nasionalisme yang tinggi atau tidak punya pilihan lain lagi. Entahlah, hanya mereka yang bekerja di badan rahasia negara ini yang tahu alasannya. Darren menghela napasnya dengan kasar lalu melipat kedua tangannya di depan dada. Hubungan antara dirinya dan Louis memang tidak pernah membaik. Selalu saja ada perselisihan yang terjadi dan sepertinya kasus ini adalah puncaknya.

"Jangan melakukan hal yang bodoh dalam kasus ini." Ucap Darren dengan dingin.

"Kau menasehati dirimu sendiri di depanku lagi." Ucap Louis dengan wajah datarnya.

"Ini untuk dirimu, bukan untukku!" Ucap Darren dengan kesal.

"Alright." Jawab Louis sambil menarik salah satu alisnya ke atas.

"Ingat, jangan melibatkan perasaan apapun ke dalam pekerjaan. Kau harus ingat itu selalu jika kita tidak ingin kehilangan pekerjaan ini. Sekecil apapun perasaan itu, kita harus segera membunuhnya." Ucap Darren dengan serius.

"Aku mengatakan ini untuk diriku sendiri dan juga dirimu." Ucap Darren lagi.

__________

To be continued.