Ace lega saat dia menemukan sofa telur di ruang bersantai. Benda itu bulat, mungil lucu, empuk, dan cocok untuk si kucing terluka yang napasnya patah-patah. Meski sudah diusapi dengan alkohol, darah segarnya tetap ada yang merembes. Bulu-bulu putih rontok di sekitar sofa itu.
Ace pun sangat hati-hati saat menyelimuti menggunakan handuk rambut. ―Tenang, Cattawin Junior. Ini tidak akan sakit, oke?‖ bisiknya pelan. ―Kau justru hangat karena menggunakannya.‖
"Lagipula aku belum benar-benar memutuskan. Akan pelihara husky atau kucing saja," batin Ace.
"Memang kenapa, Phi? Bukankah kau sangat suka
kucing?"
Ace pun tersenyum manis. Entah kenapa dia bahagia mengingat percakapan sederhana sang kekasih benar. Kenapa memaksakan diri?
Cattawin memamg takkan tergantikan, meski kucing putih ini datang. Dia tetap Cattawin Ace yang paling menggemaskan selama mereka bersama-sama dulu.
Apoie seus autores e tradutores favoritos em webnovel.com