webnovel

Oh Mas Arya

Cuma kisah seorang remaja putra, masih SMA yang jatuh cinta sama seorang pemuda kampung, miskin dan ditinggal istirnya menjadi TKI Tidak disanggka kalo ibu kandungnya, ternyata adalah saingan terberatnya. Bagaimana perjuangan Bagas menghadapi gejolak batin? Mampukah ibunya Bagas mendapatkan hati Arya? Lalu, apakah istri Arya akan kembali dari luar negeri? ===== Bagi Bagas, mencintai pria straight itu ibarat mendekatkan diri dengan api unggun. Awalnya hangat, dan menyenangkan, tapi jika terlalau lama dan mencoba untuk semakin dekat, akan terasa panas, membakar, dan sangat menyiksa.

Altwp · LGBT+
Classificações insuficientes
104 Chs

Aku seperti ini

Dengan raut wajah pucat dan sangat ketakutan, Bagas menelan ludah. Matanya tidak berkedip melihat mata Arya yang masih tajam menatapnya.

"Dek..!"

Bentakan suara Arya membuat Bagas tersentak. Wajahnya berkerut dan bola matanya berkaca. Rasa malu yang luar biasa tersemburat di raut wajahnya.

"Kamu ini apa-apaan toh?" Tanya Arya dengan nada yang dinaikan.

Arya benar-benar terkejut dengan apa yang sudah dilakukan Bagas ke padanya.

Bagas tidak mampu bersuara, mulutnya bergetar, dan air matanya lolos dari kelopak matanya. Tanpa berkata apapun, Bagas turun dari dipan. Dengan jalan yang masih tertaih Bagas keluar dari kamar Arya.

"Dek kamu mau kemana?" Tanya Arya saat Bagas sudah keluar dari kamarnya.

Tanpa menjawab pertanyaan Arya Bagas terus berjalan menuju ruang tamu. Kemudian ia memutar, serta menarik knop pintu ruang tamu, dan keluar setelah pintu terbuka lebar.

Arya yang masih bengong dan bingung kemudian ia bengkit dari dipan, saat mendengar suata pintu ruang tamu yang dibuka oleh Bagas. Dengan wajah panik Arya berjalan cepat untuk mengejar Bagas.

Sedangkan Bagas tanpa menutup kembali pintu rumah, ia terus melangkah ke arah jalan.

"Dek tunggu...!" Arya berteriak saat ia meliat Bagas sudah berada di jalan.

Mendengar suara Arya, Bagas tidak menoleh. Ia justru mempercepat langkahnya sambil menyeka air mata yang mengalir menggunakan punggung tangan. Isak tangis terus keluar dari mulut Bagas.

"Dek, berenti, kamu mau kemana?" Suara Arya terdengar semakin dekat.

Meski Bagas masih merasakan sedikit sakit di kakinya, namun ia tetap berusaha mempercepat langkahnya. Meskipun dengan jalan yang masih tertaih. Bagas tidak berani menoleh, ia sudah kehilangan muka karena malu. Remaja berkulit putih bersih itu tidak berani menatap Arya. Bagas tidak henti-hentinya merutuki dirinya sendiri akibat khilaf yang tidak mampu ia tahan.

Secepat apapun Bagas berusaha berlari, tapi kakinya masih sedikit pincang. Oleh sebab itu Arya dapat dengan mudah mengejarnya.

"Dek, kamu mau kemana?" Tanya Arya yang sudah berhasil memegang lengan Bagas.

Bagas tidak menjawab, ia terus berjalan menyeret kakinya sambil berusaha melepaskan cengkraman tangan Arya.

"Tunggu dek, sudah malam," pintah Arya.

"Aa... aku mau pulang... lepas mas," ucap Bagas tanpa melihat wajah Arya. Ia masih belum berani menunjukan wajahnya di depan Arya.

"Sudah malam dek," ujar Arya.

"Aku mau pulang aja mas..." Bagas berusaha sekuat tenaga melepaskan genggaman tangan Arya. Tapi tenaga Arya sangat kuat.

"DEK...!" Arya terpaksa membentak, karena Bagas terus kekeh dengan niatnya.

Bentakan Arya membuat Bagas tersentak, diam mematung sambil merunduk.

Tangan kekar Arya memutar tubuh Bagas, yang langsung membuat tubuh Bagas menghadap padanya. Namun kepalanya masih tetap merunduk. Kemudian Arya berkacak pinggang, sambil menatap datar Bagas.

"Sebenarnya kamu itu kenapa dek?" Arya berusaha berbicara selembut mungkin. "Maaf mas tadi udah bentak kamu," wajah Arya terlihat menyesal.

Bagas tidak menjawab, ia masih merunduk dan terisak, sambil sesekali ia menyeka air mata dan ingus bening di hidungnya. Bagas bingung mau bicara apa? Yang jelas ia takut dan malu.

Menarik napas dalam-dalam, kemudian Arya hembuskan secara perlahan. Kepalanya menoleh pada pos ronda yang ada di pinggir jalan. Kemudian ia meraih pergelangan tangan Bagas, dan menariknya perlahan.

Yang ditarik pasrah saja, sambil berjalan pelan mengikuti Arya.

Di pos ronda, Arya dan Bagas sudah duduk berdekatan. Arya menyandar pada tembok, ia mengkerutkan kening menatap Bagas dengan tatapan bingung.

Sedangkan Bagas duduk sambil memeluk kedua kakinya, dan menaru dagu di atas lutut. Pandangan matanya kosong menatap kedepan.

Keduanya masih diam, belum ada yang membuka suara. Suasana terasa hening, hanya ada suara jangkrik yang terdengar. Sesekali suara taplekan telapak tangan Bagas yang memukul wajah dan kakinya sendiri, karena banyak nyamuk yang menggit.

"Dek..." Arya memecah keheningan. "Banyak nyamuk, masuk rumah yuk," ajak Arya dengan lembut.

Bagas hanya menggelngkan kepalanya saja.

Arya menghela napas untuk melegakan hatinya yang sedang bingung. "Dek..." panggil Arya kembali. Ia berbicara dengan nada rendah.

Tapi yang dipanggil masih diam, dan tidak mau melihatnya.

"Dek!" Kali ini Arya menaikan nada suaranya, "liat mas...!" Ucapnya dengan tegas untuk mengambil perhatian Bagas.

Dan benar saja, ketegasan Arya membuat Bagas secara perlahan menoleh padanya. Meski wajahnya berkerut, dan masih mengambarkan rasa takut. Namun air matanya sudah tidak lagi mengalir.

"Coba kasih tahu mas, kamu sebenarnya kenapa?" Tanya Arya.

"Ma, maaf mas..." ucap Bagas dengan suara yang seperti akan menangis kembali.

"Iya, mas maafin, tapi kamu harus cerita sama mas, kamu sebenarnya gimana?" Ujar Arya.

"Aku, aku... aku..." Bagas kembali merunduk.

Aku sayang mas, aku suka sama mas aku cinta sama mas. Itu yang sebenarnya ingin sekali Bagas ungkapkan. Tapi itu tidak mungkin ia lakukan. Bagas tidak mau mengambil resiko.

"Maaf sebelumnya, kamu_" Arya nampak ragu melanjutkan kata-katanya, "kamu sakit? Maksud mas kamu suka sama laki-laki?" Lanjut Arya meski dengan perasaan ragu dan tidak enak hati.

Pertanyaan itu membuat bibir Bagas bergetar dan bola matanya berkaca. Bagas kembali menangis. Namun dengan perasaan ragu dan tanpa melihat wajah Arya, akhirnya Bagas berani menganggukan kepalanya.

"Asstaghfirullahhaladzim," Arya terkejut dengan pengakuan Bagas. Ia mengusap wajahnya dengan telapak tangan. Kemudian matanya menatap Bagas dengan tatapan yang prihatin.

Sementara Bagas tangisannya semakin tersedu-seduh.

Arya mendekatkan tubuhnya pada Bagas, tangannya mengulur dan manrik kepala Bagas, kemudian menidurkannya di dada bidangnya. Arya menghela napas.

Perlakuan Arya membuat air mata Bagas semakain deras mengalirnya.

"Mas yakin kamu bisa berubah dek, kamu ganteng, pacarmu juga cantik. Kamu harus kuat, kamu harus coba berusaha melawan perasaan itu. Jangan nyerah, lawan pikiran kaya begitu." Ucap Arya. Kemudian ia mencium puncak kepala Bagas.

Kata-kata Arya membuat hati Bagas semakin sakit. Kata-kata itu seakan-akan menjadi benteng yang menghalangi, agar Bagas tidak bisa masuk kedalam hati Arya.

Dan sebenarnya kata-kata itu tidak berpengaruh apapun dengan apa yang sedang dialami Bagas. Karena Bagas sudah mencobanya, Bagas sudah melakukannya, tapi ia tidak bisa. Dan semakin sulit lagi ketika Bagas sudah jatuh cinta dengan Arya. Bagas semakin tidak mampu. Rasanya seperti sedang berusaha menyatukan sisi positife maghnet dengan sisi positifenya, seperti berusaha memaksa Sehun agar menikah dengan Mimi Peri. Sangat sulit dan bahkan tidak akan mungkin bisa.

Secara perlahan Bagas memeluk tubuh kokoh Arya, "maaf mas aku nggak bisa," ucapnya dengan suara tangis yang terseduh.

Arya terdiam, dan wajahnya datar.

"Mas pasti jijik sama aku, mas pasti nggak mau lagi deket sama aku, mas bakal jauhin aku, iya kan?"

Mendengar itu Arya menarik napas, bolah matanya berkaca karena merasa prihatin. Untuk melegakan hati Bagas, Arya kembali mencium ubun-ubun Bagas.

"Jangan ngomong gitu dek, mas bukan orang seperti itu, mas juga manusia biasa. Mas punya salah, punya banyak dosa," ucap Arya.

Kemudian keduanya kembali terdiam, hanya suara isak tangis Bagas yang masih terdengar.

====

Beberapa hari setelah kejadian malam itu, Bagas lebih Banyak diam. Tapi sejujurnya ada setitik perasaan legah di hatinya. Setidaknya, dengan begitu Arya jadi sudah tahu tentang bagai mana dirinya yang sebenarnya. Tapi tetap perasaan canggung, masih menyelimuti hatinya.

Lain Bagas, lain Arya. Seperti yang sudah pernah disampaikan Arya untuk Bagas. Bahwa Arya tidak seprti apa yang dipikirkan oleh Bagas. Arya tidak berubah, Arya tidak jijik, dan Arya tidak mencoba menghindar dari  Bagas. Bahkan untuk tidur. Arya masih tetap mempunyai perasaan sayang sebagai adik, untuk Bagas. Sikapnya masih hangat, perhatian dan perduli.

Arya menganggap apa yang sudah dilakukan Bagas terhadapnya hanya khilaf. Hanya sebuah kecelakaan yang siapapun bisa mengalaminya.

Bagas sedang diurut kakinya oleh ibu Sumi, di ruang tengah, di lanatai, beralaskan tikar. Sebenarnya sih Bagas sudah sembuh. Cuma ibu Sumi masih tetep ingin mengurutnya, untuk menyempurnakan lagi kesembuhannya.

Kemudian sudah ada ibu Ratna yang juga di ruang tengah. Duduk di kursi berbentuk huruf L, ditemani oleh Arya. Sedangkan Adnan sedang main mobil-mobilan di dekat Bagas dan bu Sumi.

Terlihat ibu Ratna dan Arya sedang serius mengobrol. Sesekali Bagas melirik, sambil menguping pembicaraan mereka.

"Gimana mas? Mas Arya cocok sama ruko yang kita lihat kemaren?" Tanya Bu Ratna.

"Kalo aku gimana njenengan aja bu, aku kan cuma menjaga saja toh bu?" Jawab Arya.

Mereka sedang membahas tentang tawaran bu Ratna untuk menyuruh Arya, agar menjaga toko matrial yang baru akan ia buka. Lokasi dan rukonya pun masih baru, di dekat pasar, tidak jauh dari kampung Arya.

"Sebenarnya aku pingin kita kerjasama mas, aku pingin kasih mas Arya usaha yang layak. Itung-itung menyambung silahturahmi, karena Bagas besokan sudah harus pulang."

Mendengar itu Bagas yang sedang di urut, langsung menoleh pada Arya dan ibunya.

"Maksud ibu gimana ya?" Arya masih belum mengerti, "kalo kerjasama kan, harusnya aku ngasih modal juga buat ibu Ratna, lha ini boro-boro modal bu," ujar Arya.

Ibu Ratna tersenyum simpul dengan kata-kata Arya. Tidak perlu dijelaskan, ibu Ratna sudah cukup mengerti kondisi Arya.

"Mas Arya... mas Arya, aku ya tahu mas Arya nggak punya modal, nggak punya uang, tapi mas Aryakan punya tenaga, dan keampuan berdagang, yah...walaopun jurusanya beda, dari mainan, aksesoris, ini ke pasir, semen."

Arya dan bu Ratna kembali tertawa, keduanya terlihat sangat akrab.

Sedangkan Bagas semakin paham dengan maksud ibunya. Ia tidak pernah melihat ibunya sebahagia itu dengan laki-laki. Dan hati Bagas gelisah.

"Iya tapi aku masih belum paham bu?" Tanya Arya.

"Gini lho mas, itu... ruko yang kemaren kita lihat itu, mau tak beli, aku nggak mau sewa-sewaan, terus nanti aku kasih duit ke mas Arya, buat modal beli matrial, mas Arya cari kulakan, mas Arya yang menjual, nanti mas Arya yang ngolah lagi, dan hasilnya kita bagi dua."

Arya hanya diam mendengarkan penjelasan ibu Ratna. Ia sudah paham sudah mengerti, tapi Arya merasa ia terlalu diuntungkan.

"Gimana?" Tanya bu Ratna.

"Kalo bagi dua apa nggak terlalu enak buat saya bu?"

Ibu Ratna kembali tertawa mendengar kepolosan Arya.

"Mas Arya itu lucu, dibikin enak kok nggak mau."

Arya tersenyum simpul mendengar kata-kata bu Ratna.

"Ya sama aja toh mas... walopun semua modal dari saya, tapikan nanti mas Arya yang capek tenaganya, yang di porsir pikirannya, jadi ya kalo dibagi dua hasilnya, aku ndak rugi-rugi amat, itung-itung aku investasi."

Sebenarnya ibu Ratna bisa saja memberikan semua keuntungannya untuk Arya. Tapi ia yakin Arya pasti akan menolak. Sehingga hanya dengan cara seperti itu, agar ibu Ratna bisa dekat, dan semakin dekat dengan Arya.

Arya mengangguk-anggukan kepalanya, nampak ia sedang berpikir.

"Yah bu, tak coba," jawab Arya.

Ibu Ratna mengembangkan senyumnya, ia terlihat sangat bahagia. "Nah... itu jawaban yang aku tunggu." Ucapnya.

Beberpa saat kemudian keduanya terdiam, perhatian mereka tertuju pada Bagas yang sedang dipijit oleh ibu Sumi.

"Eh mas..." panggil ibu Ratna sambil memukul paha Arya.

"Ya bu..." Jawab Arya saat sudah monoleh pada si pemanggil.

"Rencananya aku mau belanja ke Jakarta, mumpung Bagas sudah sembuh, butik ku banyak yang kosong, mungkin paling lama tiga hari, mas Arya bisa temeninaku nggak ya?"

"ADAAAAAAUUUUUU...!"

Teriakan Bagas saat mendengar ibunya berbicara, mengundang perhatian semua. Termasuk Adnan yang sedang fokus bermain, anak polos itu sontak memeluk Bagas karena terkejut.

"Ada apa dek? apa masih sakit? kayaknya sudah sembuh lhoo, ibu juga mijitnya pelan-pelan," ucap ibu Sumi. Wajahnya terlihat bingung.

"Iya bu... sakit banget kakiku," jawab Bagas berbohong. Karena benar apa kata ibu Sumi, Bagas sudah sembuh. "Kok bisa mendadak sakit gini ya?" Imbuh Bagas sambil memegangi kakinya.

"Serius Gas? masih sakit?" Tanya ibu Ratna. Ia terlihat cemas.

"Iya... sakit..." jawab Bagas.

"Ibu salah mijit po bu?" Duga Arya.

"Ibu mijitnya pelan banget kok" jelas bu Sumi.

"Tapi sakit," ucap Bagas sambil meringis berpura-pura seperti kesakitan.

Mendengar itu ibu Ratna semakin gelisah, ia terlihat bingung, sambil memeijit plipisnya. "Aduh mas kok Aku jadi khawtir ya kalo Bagas aku tinggal ke Jakarta," ibu Ratna diam dan berpikir. "Takutnya kakinya mendadak kambuh, di rumah ada sih dua orang embak-embak, tapi aku nggak yakin. Kalo aku minta tolong mas Arya temenin Bagas di rumah selama aku di Jakarta gimana?"

Mendengar itu Bagas terdiam, jujur ia sangat senang dengan usul ibunya. Sampai-sampai ia kesulitan menahan senyum yang sebenarnya ingin sekali ia terikan, karena terlalu bahagia.

"Gimna mas?" Tanya bu Ratna. "Aku lebih tenang kalo Bagas deket sama mas Arya, soalnya aku lihat Bagas udah akreb sama mas Arya, Bagas seperti menemukan sosok bapak ke mas Arya," imbuh bu Ratna.

Sementara Arya terdiam. Ia memikirkan kata-kata ibu Ratna. Kata-kata itu seakan mengingatkan Arya, jika ibu Ratna adalah seorang janda.

Ya, Arya hanya laki-laki biasa, seperti laki-laki normal pada umumnya. Kata janda tentu saja sedikit membuat pikiran Arya tidak menentu. Terlebih wanita yang sedang menyandang setatus janda itu masih terlihat cantik, segar, dan menggoda. Walaupun usianya jauh di atas Arya.

Tapi tetap saja, laki-laki yang melihatnya, pasti akan membelakan mata dan membuka mulutnya. Hanya saja kadar Arya beda dengan laki-laki normal lainya yang selalu berpikiran ngeres. Arya lebih bisa mengontrol.

Kemudian Arya melihat Bagas yang masih meringis seperti kesakitan. Ia merasa sangat kasihan.

"Ya wes bu, aku temeni dek Bagas," jawab Arya.