Apakah kamu pernah mengalami hal seperti yang dialami Rion?
Kamu mencintai seseorang dengan sangat dalam tapi suatu hari kamu mengira orang itu menghianatimu. Kamu pun sangat marah, darahmu mendidih, hatimu terbakar sampai kamu gelap mata.
Kamu meneriakinya, memukulnya bahkan mungkin ... membunuhnya.
Setelah kamu melakukan semua itu, kamu tahu bahwa dugaanmu salah, kamu pun sangat menyesal, kamu ingin meminta maaf dan memperbaiki semuanya, tapi sudah terlambat, dia pergi.
"Hukuman terberat bukanlah hukuman mati, tapi rasa bersalah." [Arion D-Panther]
"Aku tahu kata-kata tidak akan bisa membuatmu merasa lebih baik. Aku tahu bahwa setiap ucapan tidak akan bisa menghilangkan sedih yang kamu rasakan. Tak apa jika kamu ingin menangis tapi jangan menangis sendirian, biarkan aku menemanimu, jika kamu malu kamu bisa menganggapku sebagai sebuah pohon.
Sebuah pohon yang tidak akan pernah memberitahu pohon lain tentang obrolan mereka yang bersandar dan bernaung di bawahnya.
Apa kamu tahu? Kamu adalah orang dengan hati paling kuat yang pernah kutemui, tapi kamu juga orang yang paling suka memaksakan diri yang pernah kutemui.Semua bebanmu, semua masalahmu, semua sedihmu, kamu memilih memendam semuanya sendiri. Kamu lupa bahwa kamu adalah seorang manusia yang butuh manusia lain.
Tapi yah, sudahlah.
Mungkin memang seperti itulah kamu. Atau mungkin juga sebenarnya kamu ingin bercerita tapi kamu tidak tahu bagaimana caranya. Apa pun itu aku ingin kamu tahu bahwa aku ada untukmu." [Odette Calestia]
.
.
.
PROLOG:
Gelap, dingin, lapar dan sakit.
Itulah yang dirasakan oleh perempuan cantik bergaun merah yang duduk bersimpuh di dalam sel. Matanya terpejam dan kedua tangannya mengatup – pertanda ia sedang berdoa.
TAP TAP TAP
Terdengar suara langkah kaki mendekat.
Mendengar itu, ia tersenyum.
"Akhirnya kau datang, Rion." Kedua matanya terbuka dan menatap teduh ke arah pria yang berdiri di luar sel. Ia berdiri dan berjalan mendekati pria tersebut. Selama lima detik mata cokelat beningnya beradu pandang dengan mata hazel yang terlihat sangat tajam. "Apa sekarang kau menyesali perbuatanmu? Tidak apa-apa aku memaafkanmu."
Ia tersenyum sangat lebar, matanya berbinar-binar. Namun, kedua hal indah itu hilang seketika saat ....
"Lucas sudah dieksekusi, besok giliranmu."
Sepasang matanya terbelalak dan tulang-tulangnya seolah bergetar mendengar ucapan mengejutkan pria itu.
"A-apa ... k-kau benar-benar melakukannya, kenapa?" Suaranya gemetar, air matanya mengalir, dadanya terasa sesak. Ia membeku menatap nanar wajah dingin pria berambut abu-abu di depannya.
"Kau tahu persis alasannya."
"Apa yang kau lakukan, Rion? Lucas tidak bersalah."
"Kau benar. Dia tidak bersalah. Aku yang salah karena mencintaimu dan mempercayainya."
"Jadi kau percaya bahwa aku dan Lucas mengkhianatimu?" Ia menatap lekat wajah di depannya. Wajah itu terlihat tidak memiliki jejak emosi sama sekali. Lima detik berselang pria itu tidak memberikan jawaban apapun.
"Aku mengerti."
"Katakan permintaan terakhirmu."
Mata cokelat itu menatap sangat dalam ke sepasang mata hazel yang selama ini selalu menatapnya dengan penuh cinta dan kehangatan. Sekarang mata hazel itu benar-benar tidak mememiliki apa pun selain kebencian di dalamnya.
"Aku ... aku ada dua permintaan,” katanya pelan.
"Setiap terpidana mati hanya memiliki satu."
"Aku tahu, tapi apa kau ingat saat kita menikah, kau menghadiahiku dengan tiga permintaan? Aku sudah menggunakan dua, artinya masih ada satu."
"Katakan."
***
Di pagi hari yang mendung, orang-orang berkumpul di sebuah lapangan untuk menjadi saksi dari sebuah peristiwa besar yang sebentar lagi akan terjadi, seorang raja akan mengeksekusi mati ratunya.
Kabar bahwa raja menjatuhkan hukuman mati kepada ratu sudah menggemparkan istana dan sekitarnya sejak satu pekan terakhir. Situasi bertambah gempar lagi saat semalam raja mengatakan bahwa dia akan memenggal kepala ratu dengan tangannya sendiri.
Di atas altar eksekusi, dia, sang pria bermata hazel serta bertubuh tegap bergeming, memandang keramaian di bawah dengan pandangan yang sulit diartikan. Angin di ketinggian mengibarkan rambut panjang abu-abunya yang mencapai pinggang.
[Permintaan pertama, aku ingin besok kau yang menjadi algojoku.]
Kalimat tersebut terngiang berulang-ulang di dalam kepalanya. Tidak ada orang yang tahu jika saat ini seluruh tubuhnya diselimuti keringat dingin sampai ujung jari-jarinya memucat.
“Pengkhianat,!pengkhianat, booo!”
“Dasar pengkhianat!”
Teriakan dari keramaian di bawah membuatnya tersadar dari lamunan. Sekarang matanya terfokus kepada seorang perempuan bergaun merah yang dibawa menuju altar oleh kesatria berambut coklat dan seorang prajurit berseragam.
"Yang Mulia ampunilah ratu. Kami mohon ... hiks ...."
"Pengkhianat harus dihukum!"
Suara keramaian di bawah terbagi dua. Satu bagian menangis pilu, memohon agar ratu tidak dihukum, sementara satu bagian yang lain mendesak agar ratu dihukum. Sangat jelas kalau hal tersebut membuat pikirannya kalut.
"Yang Mulia."
"Ha?" Napasnya terhentak. Lagi-lagi ia melamun sampai tidak menyadari bahwa tiga sosok yang tadi ia perhatikan telah berada di dekatnya.
Sekilas, ia menatap kesatria berambut cokelat lalu beralih kepada perempuan bergaun merah. Selama beberapa detik mereka saling memandang.
"Terima kasih sudah memenuhi permintaanku yang pertama. Aku harap kau juga memenuhi permintaanku yang kedua.”
"Trish, bawa dia."
Suara dari bawah semakin riuh ketika kepala sang ratu dimasukkan ke lubang maut. Mereka yang tidak ingin ratu dihukum mati, menangis sejadi-jadinya dan berteriak parau agar raja tidak melakukannya. Sementara mereka yang ingin ratu dihukum pun berteriak, memrovokasi raja agar melakukannya dengan dalih menegakkan hukum.
"Yang Mulia." Trish mencemaskan keadaan rajanya, ia sangat tahu kalau rajanya saat ini sangat tertekan.
Sang raja tidak mengatakan apa-apa, ia mulai mengangkat tangannya untuk memegang gagang pedang, tangan itu terlihat sangat gemetar.
Trish semakin cemas.
Lima detik berlalu, sang raja bergeming menatap tangannya yang menggenggam gagang pedang. Berat, sangat berat. Sakit, sangat sakit. Hatinya menangis. [Kenapa kau melakukan ini, Rose? Aku sangat mencintaimu tapi kau ... kenapa?!] Rasanya ia ingin berteriak. Kesal, marah, kecewa, sedih. Semuanya bercampur aduk.
"Yang Mulia, hukum pengkhianat itu!"
[Benar. Pengkhianat harus dihukum.]
Ia mempererat genggaman tangannya dan membulatkan tekad.
[Selamat tinggal, Rose.]
Ia memejamkan mata dan menarik turun gagang di tangannya. Pedang terjatuh dan ....
Tap!
Kepala sang ratu terlepas. Tangisan dan teriakan dari bawah pun pecah.
"Yang Mulia!" Trish dengan cepat menahan tubuh rajanya yang mundur dengan langkah terhuyung dan akan jatuh seandainya ia tidak datang tepat waktu.
"Yang Mulia ...." Ia memeluk erat tubuh sang raja. Tubuh itu sangat sangat gemetar dan sangat dingin. “Oh tuhan.”
Trish melihat ke langit, mati-matian menahan air matanya agar tidak keluar. Dia tidak pernah melihat rajanya gemetar seperti sekarang.
***
Ratusan bunga mawar bermunculan dari dalam tanah dan tumbuh secara tidak wajar sesaat setelah tubuh sang ratu dimakamkan. Tentu saja, fenomena tersebut membuat terkejut dan bingung orang-orang yang menyaksikannya. Tidak terkecuali sang raja. Ia terlihat yang paling terkejut.
Dengan cepat kelopak-kelopak mawar merah bermekaran dan, entah apa yang terjadi, kelopak-kelopak tersebut bersinar dan menunjukkan sesuatu yang membuat raja terbelalak.
[Permintaan kedua. Kubur aku di tempat kau melamarku dulu. Jika tanah di sana menjadi tandus maka artinya aku bersalah, tetapi jika tanah di sana ditumbuhi banyak mawar artinya aku benar, cintaku benar dan kematianku akan menjadi penyesalan terdalammu.]
Yah, kelopak-kelopak tersebut menunjukkan rangkaian kilas balik kebenaran sejati dari sang ratu.
"A-apa yang sudah kulakukan?" Sang raja jatuh berlutut. Matanya memandang kosong.
[Semoga kau bisa memaafkan dirimu sendiri, rajaku. Ratumu meminta izin untuk pergi.]
Jiwa sang ratu tersenyum lalu menghilang, menyisahkan kelopak-kelopak mawar yang beterbangan, menari mengikuti angin dan membuka kisah dari "Odette Dan Raja Panthera".