"Kenapa ada di sini?" Tatapan lancang penuh selidik itu diarahkan padanya. Beserta embusan asap tembakau abu-abu ke wajahnya. "Nggak terima saya pecat?"
Lentera tidak pernah menyukai bau yang membuat pandangannya kabur itu. Baunya itu terlalu tajam dan menyengat. Siapa pun tidak akan kuat, serta berdampak buruk juga untuk pernapasan.
Tapi semua itu mana dipedulikannya? Di ruangan sempit ini, jendelanya terkunci rapat, masih saja cerutu berasap itu disesapnya penuh nikmat, tanpa hambatan. "Saya bahkan nggak mikir itu lagi, Pak."
"Yang tadi bersama kamu." Ujung puntung rokok itu akhirnya dipadamkannya di kotak asbak. Nyaris bersamaan dengan bisikan kecil. "Itu Devan Gaswari, kan? Ngapain kamu sama dia ke sini? Kamu mau balas dendam sama saya?"
Ia bahkan tidak membutuhkan Devan untuk balas dendam. Tentu saja, kalau ia ingin. Ia bahkan bisa membunuh tanpa menyentuh. Tapi buktinya tidak ada satu pun usaha yang dilakukannya untuk meremukkan orang yang menuduhnya sembarangan. Dua kali pula. "Saya bawa pelanggan ke sini, Pak. Harusnya Bapak yang berterima kasih."
Pria tanpa rambut itu menggeleng curiga. "Saya nggak bisa memandang kamu sama lagi semenjak kejadian itu, Lentera Kanaya."
"Kejadian di mana saya gagal membiarkan pelanggan itu meninggal di sini, di toko kue terkenal ini, Pak?" tanya Lentera mulai tersulut. "Mungkin seharusnya saya tidak campur tangan waktu itu kalau tahu hasilnya begini, ya, Pak?"
BRAK!
"Lentera Kanaya!" sentaknya geram. "Jangan bicara sembarangan kamu!"
Buku-buku jarinya memutih sempurna. Pakai, jangan? Pakai, jangan?
Kalau ia memakainya, kemungkinan raungannya akan memikat lebih banyak perhatian, misinya juga akan berakhir gagal. Dan semuanya akan hancur karena amarahnya semata.
"Dengar, Pak Pram," cetus Lentera tajam. "Saya bukan pegawai Bapak lagi. Lagipula apa salahnya kalau Devan menikmati siang harinya seperti biasa? Kalau Bapak memang khawatir, berarti Bapak ada melakukan kesalahan."
"Lentera Kanaya!"
"Bapak tahu saya bukan orang yang mampu membayar Devan Gaswari untuk balas dendam," sela Lentera tak ingin mendengar kata-kata busuk atasannya lagi. Semuanya cukup, sampai di sini. "Mungkin, ada orang yang lebih mampu untuk membayar Devan Gaswari ketimbang saya, Pak?"
"Lentera." Was-was, kecemasan atasannya itu meningkat. Pria itu mendorong kursinya ke belakang, berusaha meraba apa pun untuk menjadi perlindungannya. "Kamu bekerja sama dengan dia, ya?"
"Kalau iya?" Terpaksa, senjata api dalam rompinya dikeluarkan untuk mengancam. "Angkat tangan Bapak kalau Bapak nggak mau merasakan sakit."
Anehnya, untuk pertama kalinya Lentera menikmati wajah pria yang selalu mencemooh orang itu memucat. Apa dia sudah berubah mengikuti Devan sekarang?
"Angkat," kata Lentera mengancam lagi. Bidikannya sempurna tepat di tangan kanannya yang bersembunyi di belakang. "Angkat, Pak."
"Kamu kira saya akan menyerah, Lentera?" Pramaya, namanya, masih berusaha tertawa canggung walaupun tidak berhasil. Kegelisahannya makin unjuk gigi, menolak disembunyikan. "Bukan saya namanya."
"Pak Pram," peringat Lentera.
Benda yang sama diacungkan ke arahnya. Mulut senapan itu geram, seakan mudah sekali menggigit Lentera. Berdiri pongah tangguh, seperti pemiliknya. Pasti itu yang ada di pikirannya. "Turunkan senjata kamu, lalu keluar. Sekali lagi Devan Gaswari mengincar saya, kamu yang jadi target saya, Lentera."
"Bapak pikir hal itu cukup untuk memukul saya mundur?" tanya Lentera datar. Tak tersisa lagi rasa belas kasihnya pada makhluk yang tak pantas. "Tidak akan. Bapak yang turunkan, lalu ikut saya."
"Kamu adalah gadis lugu, Lentera. Kamu tidak mungkin ingin mencemari tangan kamu."
Tidak tahu saja dia kalau Lentera menyakiti lebih banyak dari yang pernah orang lain duga sebelumnya. "Pak Pram."
"Lentera Kanaya, turunkan."
Keduanya menolak untuk mengalah. Jelas, salah satu senapan turun, peluru yang lain akan melayang. Lentera tidak punya kuasa sama sekali untuk menghentikan benda kecil itu meluncur cepat.
Lentera bukan dewa, tapi bisa menghendaki apa yang diinginnya dari tubuh manusia. Kemampuan yang bisa ia manfaatkan di saat genting.
Jari meringkuk itu sebentar lagi menarik pelatuk. Lentera bisa melihat itu. Sementara Lentera hanya menyentuhnya saja, tidak ada niatan di dalam dirinya menariknya.
Sekeji apa pun dirinya, ia enggan disamakan dengan Devan. "Pak Pram, saya serius."
"Saya lebih, Lentera." Senyuman seram itu dilebarkannya lagi. "Selamat tinggal, Lentera Kanaya. Semoga kamu tidak menyesali kehidupan kamu sekarang."
"Ucapan itu untuk Bapak." Tangan kiri Lentera merenggang singkat. Dalam waktu yang singkat, matanya memancarkan aura pekatnya. Kilatan singkat bersama tangan kirinya mengepal kencang, memicu keretakan kecil.
Suara sekecil apa pun disembunyikan Lentera. Sapu tangannya membungkam mulut Pramaya lekat. Kakinya pun bergerak gesit menendang shotgun kecil itu. "Maaf, Pak Pram. Saya harus atau saya bisa kehilangan nyawa saya."
"K-kamu apakan tangan saya?!" Bentakan itu tidak sekuat di awal. Ancamannya masih ada, tapi lebih dominan rasa sakit yang ditahannya. "Kamu ... bukan manusia! Dasar iblis!"
"Bangun," perintah Lentera dingin. "Ikut saya keluar. Jangan membuat orang curiga atau Bapak yang akan berakhir mengenaskan di sini."
Pria itu melirik sinis ke belakang. "Kamu yang akan berakhir menjadi pembunuh. Saya pikir kamu orang yang baik, ternyata keputusan saya memecat kamu adalah benar."
Padahal Lentera berada di sini karena kehilangan pekerjaannya.
Tapi orang bermulut besar ini tidak ingin tahu menahu tentang urusan yang bukan miliknya. Dengan kata lain, egois. "Bangun dan ikut saya."
***
Sejauh apa pun Lentera berjalan, ia sama sekali tidak menemukan batang hidung Devan.
Pria itu menghilang seperti asap, dan kembali seperti batu. Saat dibutuhkan, keberadaannya sulit ditemukan. Di saat Lentera mengusirnya, ia menolak pergi.
Sekarang, dia di mana?
Pusat perbelanjaan sudah terlewati dua kilometer yang lalu. Peluh bercucuran di balik rompinya. Otot-otot keramnya mulai terasa.
Dan ancang-ancang todongan senjatanya tak sekokoh tadi. Lentera lemas. Lemas karena takut jika ia salah jalan, atau memang Devan sengaja menjerumusi dirinya.
"Kamu mau bawa saya ke mana?" Pramaya ikut terengah juga. Dipastikan jarang berolahraga. Keringatnya jatuh lebih parah dari Lentera. "Apa kamu mau menyiksa saya dulu, huh?"
Lentera tak lagi menanggapi hal macam-macam dari Pramaya.
Ada hal yang lebih menarik perhatiannya.
Jalan ini ... area ini ... tak asing di matanya.
Bukan, bukan. Detailnya memang tidak dihafalnya, tapi garis besarnya masih diingat Lentera.
Ini area tempat ia menyelamatkan Devan.
Di ujung sana, sebuah gang kecil menunggu untuk dikenang kembali sebagai hari pertemuan mereka yang pertama.
Di tengah lamunan itu, Pramaya cekatan merebut senapan laras hitam itu, mengacungkannya tepat ke paha Lentera. Siap tidak siap, pelatuknya sudah ditarik oleh Pramaya.
"Saya nggak mengulangi kesalahan yang sama dengan berbincang dengan kamu lagi, Lentera." Pramaya terkekeh lebar. Tangan kanannya tak bisa digunakan, tapi tangan kirinya tidak bermasalah. Mulut senjata itu diarahkan ke Lentera yang memberingsut mundur panik. "Sayang nyawa kamu harus diambil saya, Lentera."