webnovel

NITYASA : THE SPECIAL GIFT

When death is a blessing. Bagaimana jika lingkup sosial kita di isi oleh orang-orang menakjubkan? Diantaranya adalah orang yang mempunyai anugerah di luar nalar. Salah satunya seorang bernama Jayendra yang berumur lebih dari 700 tahun dan akan selalu bertambah ratusan bahkan ribuan tahun lagi. Dia memiliki sebuah bakat magis yang disebut Ajian Nityasa. Kemampuan untuk berumur abadi. Mempunyai tingkat kesembuhan kilat ketika kulitnya tergores, tubuh kebal terhadap senjata dan racun, fisik yang tidak dapat merasakan sakit, serta tubuh yang tidak menua. Namun dari balik anugerah umur panjangnya itu, gejolak dari dalam batinnya justru sangat berlawanan dengan kekuatan luarnya. Pengalaman hidup yang dia lewati telah banyak membuatnya menderita. Kehidupan panjang tak bisa menjaminnya untuk bisa menikmati waktunya yang melimpah. Kebahagiaan tak lagi bisa dia rasakan. Dari semua alasan itu, maka baginya kematian adalah hal yang sangat ia damba. Tetapi malaikat pencabut nyawa bahkan tak akan mau mendekatinya yang telah dianugerahi umur abadi. Pusaka yang menjadi kunci satu-satunya untuk menghilangkan Ajian Panjang Umur itu telah lenyap ratusan tahun lalu. Maka jalan tunggal yang harus ditempuh adalah kembali ke masa lalu. Tidak, dia tidak bisa kembali. Orang lain yang akan melakukan itu untuknya. Seorang utusan akan pergi ke masa lalu bukan untuk merubah, tetapi untuk menguji seberapa besar batasan kepuasan manusia. Masa lalu berlatar pada awal abad 13 di Kerajaan Galuh pada masa kepemimpinan Maharaja Prabu Dharmasiksa. Di zaman itulah misi yang semula hanya untuk mengambil sebuah pusaka seolah berubah menjadi misi bunuh diri. Kebutaan manusia akan sejarah membuatnya terjebak pada konflik era kolosal yang rumit. Mampukah mereka melakukannya? Atau akan terjebak selamanya?

Sigit_Irawan · História
Classificações insuficientes
240 Chs

33. Tragedi Lembah Berdarah

Tinggal beberapa saat lagi matahari sampai pada posisi vertikalnya. Komplotan perampok yang dipimpin Ruti baru saja selesai melakukan persiapan untuk memuluskan rencananya dalam menghadang arak-arakan para saudagar mancanegara yang akan melewati Lembah Gampit tersebut. Jembatan yang menjadi penghubung utama jalur perdagangan telah selesai dihancurkan.

Dua puluh pasukan panah telah berada di posisinya masing-masing, sepuluh di bukit utara dan sepuluh di bukit selatan. Si Blengong yang berada di pucuk pohon besar nan tinggi di atas bukit selatan masih terus fokus memperhatikan jalan, bendera telah digenggamnya, dia tidak akan mengibarkan bendera hijau tersebut sebelum arak-arakan pedagang itu mulai muncul dari pandangannya. Ruti berdiri di kaki bukit utara memperhatikan Blengong, menunggu bendera hijau berkibar. Ruti bersama pasukan pedang akan menyerang dari depan. Kini dia dan pasukannya menempatkan diri dibalik batu besar yang posisinya tidak akan terlihat dari jalan utama. Pasukan tombak yang akan menyerang dari belakang pun terlihat sedang duduk santai sembari menunggu aba-aba tiba. Sebagian dari mereka ada yang merebahkan diri, bercerita, atau sekadar mengelap-elap senjatanya menggunakan kain.

Salah satu anggota pasukan panah menunjukan ekspresi wajah yang seolah ketakutan. Kemudian teman sesama pemanah yang berada di sisinya menyeletuk, "Kenapa? Kamu takut?"

"Terus terang iya. Ini pertama kalinya aku turut terlibat dalam rencana perampokan yang sangat matang. Pasti yang akan kita hadapi bukanlah sasaran yang sembarangan."

"Kita tidak punya sejarah gagal."

"Tapi yang ini lain, kau tahu sasarannya kan? Mereka sangat banyak dan kuat, aku merasa kita seolah menyerahkan diri kepada kegagalan."

"Aku juga takut, tapi kapan kita akan bisa berkembang kalau harus menuruti rasa takut? Kesempatan besar pasti memiliki tantangan yang besar juga."

"Ini akan menjadi kegiatan terakhir ku sebagai perampok, aku akan mengundurkan diri setelah ini."

Dari atas pohon, Blengong seperti melihat kepulan asap debu di kejauhan. Kepulan itu seperti dihasilkan dari langkah kaki segerombolan orang, atau langkah kuda barangkali. panas yang terik membuat apa-apa yang dilihat seolah membayang. Tak lama arak-arakan mulai muncul dari pandangannya. Dia pun segera bersiap mengangkat benderanya. Namun sebelum mengibarkannya, dia sangat terkejut karena arak-arakan yang dia lihat kini semakin banyak, benaknya berkata "Oh Sial...! Sepertinya kita yang akan dibantai mereka." Namun, Blengong tetap melakukan tugasnya. Apapun yang terjadi dia tidak akan sakit, karena tugasnya hanya mengawasi, tidak ikut menyerang mengorbankan nyawa. Bendera hijau pun dikibarkan.

Ruti melihat bendera yang dikibarkan oleh Blengong dan langsung meniupkan peluit logam sebagai aba-aba untuk bersiap. Jarak dari arak-arakan pedagang yang dilihat oleh Blengong adalah sekitar dua kilometer. Cukup untuk pasukan Ruti saling bersiap dan mengumpulkan keberanian.

Kini arak-arakan itu semakin mendekati jembatan, Ruti dan komplotannya masih hanya mengintai. Pasukan pemanah tidak akan melepaskan anak panah dari busurnya sebelum arak-arakan berhenti. Ruti terperanjak melihat rombongan pedagang itu yang jumlahnya jauh lebih banyak dari yang dipikirkan sebelumnya. Namun, tekadnya sudah bulat. Dia yakin kekuatan anak buahnya lebih kuat dari mereka.

Saat hendak menuju bibir jembatan, rombongan itu berhenti setelah menyadari jembatannya rusak. terlihat seseorang turun dari kuda hendak mengecek mendekat ke arah jembatan yang rusak.

Sementara pasukan panah yang berada di bukit sudah bersiap. "Baiklah, ini dia...!" kata salah satunya sebelum melepaskan busur.

Benar saja, panah dilepaskan secara serempak mengincar gajah dan kuda yang membawa peti barang. Anak panah terus menghujani gajah dan kuda mereka hingga tidak ada lagi yang beridiri. Semuanya tergeletak sekarat dan mati, sementara peti barangnya berjatuhan. Bahkan kepingan emas dan batu permata pun berserakan di jalan.

Sesuai rencana, semua pasukan pengawal para pedagang fokusnya teralihkan kepada barang-barang yang berjatuhan. Di saat mereka lengah, maka kesempatan bagi pasukan tombak menyerang dari belakang.

"Maju....!" kata salah satu penombak. Diserangnya pasukan pengawal yang dibelakang. Beberapa pasukan pengawal langsung tewas tertancap tombak sebelum sempat memberikan perlawanan. Perampok ini bertarung sangat ganas layaknya binatang buas, dengan tombaknya secara membabi buta menyerang siapa saja pasukan pengawal barisan belakang yang masih hidup. Barulah pasukan pengawal yang berada di barisan tengah termakan umpan. Mereka mundur ke belakang untuk membantu memberikan perlawanan kepada pasukan tombak.

Akhirnya barisan depan hanya menyisakan sedikit pengawalan karena sebagiannya mundur ke belakang. Panah kembali menghujani mereka dari perbukitan. Kali ini sasarannya bukan binatang, tetapi manusia yang ditugaskan mengawal para pedagang asing ini. Para pasukan pengawal itu memasang perlindungan diri menggunakan perisainya. Hanya ada beberapa saja yang tewas dan terluka setelah terkena serangan panah gelombang kedua.

Ruti dan pasukan pedang kini mulai turun untuk turut menampilkan diri. Mereka mengincar para saudagar langsung yang berada di depan. Dengan ganas Ruti dan anak buahnya menyerang dan membantai pasukan pengawal. Bahkan ketika lawannya sudah terjatuh pun dia bunuh tanpa ampun. Prinsipnya adalah, "kalau belum mati, artinya belum kalah." maka dia bunuh semua lawannya jika ingin membuat mereka kalah. Kemenangan sudah di depan mata, banyak pasukan pengawal yang sudah dilumpuhkan. Kini tinggal kelima saudagar yang sesaat lagi akan diserangnya. Sementara anak buahnya yang lain bergegas menuju ke peti barang untuk segera dibawa pergi. Tiba-tiba peti pembawa barang yang berukuran jumbo tersebut terbuka sendiri dari dalam.

Alangkah terkejutnya mereka ketika yang muncul dari dalam peti bukanlah barang dagangan, melainkan manusia bersenjata dengan mengenakan pakaian Prajurit Patroli Kerajaan. Ruti yang melihatnya pun terperanjak dan tidak menyangka, kini langkahnya yang hendak menyerang para saudagar semakin gemetar ketika melihat dari dekat, ternyata kelima saudagar itu tidak semuanya merupakan saudagar asli, yang tiga adalah pejabat besar keamanan Kerajaan Galuh yang sedang menyamar. Diantaranya adalah Tumenggung Aria Laksam, Senopati Citra Wayang, dan Mahapatih Adimukti Natraprawira.

"Semuanya mundur...! ini jebakan...! Mundur...!" seru Ruti memperingatkan kepada semua anak buahnya. Namun tidak ada yang menghiraukan karena semuanya sibuk kewalahan ketika melawan banyaknya prajurit patroli yang tiba-tiba muncul dari beberapa peti raksaksa.

Pasukan pemanah yang berada di puncak bukit pun melihat peristiwa itu. Mereka hendak melancarkan anak panahnya lagi mengincar prajurit patroli yang sedang menyerang teman-temannya di bawah sana. Namun tiba-tiba anak panah lain terlebih dahulu menancap ke tubuh mereka. Ada pasukan pemanah dari pihak pasukan patroli yang sudah mengetahui posisi mereka, sehingga langsung melesatkan anak panahnya dari bawah. Kini semua pasukan panah anak buah Ruti telah dilumpuhkan.

"A a aku sudah bilang kalau ini a a akan menjadi yang terakhir...," ucap seorang pemanah kepada temannya yang keduanya sudah dalam kondisi sekarat. Akhirnya setelah melewati masa sekaratnya mereka pun tewas. Seluruh pasukan panah pihak perampok sudah tak tersisa lagi.

Tak hanya pasukan pemanah, bahkan Blengong yang hanya diam saja melihat mereka dari atas pohon pun turut terkena anak panah yang dilesatkan prajurit patroli. Tubuhnya jatuh dari ketinggian pohon dan langsung tewas seketika. Bendera hijaunya itu masih dia kibarkan sehingga memancing perhatian Prajurit Patroli Kerajaan.

Ruti kini sudah melemah, melihat seluruh pasukannya telah kalah membuatnya tak memiliki semangat lagi dalam bertarung.

Tumenggung Aria Laksam menghampirinya dan hendak menangkapnya. Namun, Ruti tak hanya diam. Dia pun beberapa kali menunjukan perlawanan dengan sisa-sisa kekuatan yang dia miliki. Aria Laksam terpaksa harus menancapkan pedangnya ke jantung Ruti hingga langsung tewas.

"Pemimpin kalian sudah tewas...! Menyerahlah kalian...!" seru Tumenggung Aria Laksam memperingatkan.

Kini semua pasukan perampok yang masih tersisa berdiri mematung melihat ketuanya sudah tewas terbunuh. Mereka pun menjatuhkan senjatanya masing-masing sebagai tanda penyerahannya.

***

Keserakahan hanya akan membawa kita pada petaka

Sigit_Irawancreators' thoughts