Satu hal yang tidak boleh dilewatkan saat berada di Pantai Balekambang adalah Menunggu matahari terbenam. Melihat pemandangan siluet pemandangan dari Pura Ismoyo, Pura Hindu yang sekilas mirip dengan candi-candi kuno Jawa Timur itu harus diabadikan keindahannya disaat seperti itu. Tadi Damai sudah menyusuri Pura Ismoyo. Bersama dengan Senja dia akhirnya memastikan tanda sejarah ukiran tulisan yang dikatakan tetangganya itu tadi. Tulisan yang menjelaskan Pura tersebut dibangun pada tanggal 17 Oktober 1985 pada hari pasaran jawa Kamis Pahing, dan diresmikan oleh Bupati Malang pada saat itu bapak Edi Slamet.
"Mereka emang gak ada capek-capeknya," ucap Senja. Sambil menggeleng-geleng ke arah Raya, Aska, dan dua orang lainnya yang masih bermain di tepi pantai. Bahkan sekarang mereka sedang menggaruk pasir sedalam mungkin lalu mengubur Yuda di dalamnya.
"Seru kali Nja," balas Damai. Yang juga mengikuti arah mata Senja.
"Seru sih, tapi kamu bentar aja juga udah capek kan?" Senja berasumsi. Pasalnya setelah kembali dari Pura Ismoyo tadi, Damai bergabung dengan Aska, dan yang lain bermain-main di tepi pantai sana. Sesekali salah satu dari mereka menepi sebentar. Membeli sebuah minuman dan makanan ringan, lalu kembali lagi ke depan sana. Mereka seperti sebuah mobil yang sedang mengisi bahan bakar agar dapat melaju kembali. Damai kembali setelah hampir dua jam bermain bersama mereka. Sekarang merebahkan diri di pasir dan berteduh di bawah pohon besar bersama Senja.
"Enggak juga," jawab Damai.
"Terus kenapa kamu balik kesini? Gak terus gabung aja disana sampai pulang." Senja mengambil sebuah botol air mineral yang tadinya dibeli oleh Raya sebelum akhirnya kembali ke tepi pantai tempatnya bermain tadi.
"Pengen nemenin lo aja disini biar gak sendirian."
Jawaban Damai membuat tenggorokan yang sedang dialiri oleh air mineral tersebut tersedak. Alhasil Senja terbatuk-batuk, dan sekitar tiga puluh persen dari air yang sudah masuk ke tenggorokannya kembali lagi keluar.
"Lo gak apa-apa Nja?" Damai menatap gadis manis itu setengah khawatir. Kenapa tiba-tiba dia tersedak? Apakah ada sesuatu yang mengagetkan? Atau dia yang salah bicara. Aneh.
Senja menggerakkan tangannya ke arah Damai, setelah mengatur kembali nafas dan tenggorokannya dia menjawab Damai, "Aku gak apa-apa," jawabnya. Bisa-bisanya Damai mengatakan hal seperti itu dengan mudahnya. Pasti dia sekarang juga tidak sadar kalau jawaban seperti itu membuat Senja terkejut. Apa dia memang selalu sesantai itu pada semua orang? Pikir Senja dalam hati.
Damai menatap heran pada Senja, namun kali ini dia tidak berniat menggoda gadis itu lagi. Matahari sudah hampir turun, dan Damai lebih memilih memperhatikan pemandangan di depan sana yang sudah dinanti-nantikan sejak saat dia mendengar tentang keindahan siluet Pura Ismoyo.
Cerita tentang keindahan itu bukan sebuah cerita palsu, Damai terpana membuktikan kebenaran dari cerita Senja dan juga para pengunjung yang tadi dia temui saat berada di Pura Ismoyo. Saat matahari mulai tenggelam termakan laut, dan langit mulai jingga, mata Damai terbelalak. Siluet dari Pura yang nampak jelas di matanya membenarkan apa yang dia dengar tadi. Mulutnya terbuka karena kagum, tapi sesaat kemudian tersenyum lebar karenanya.
"Senja," gumam Damai.
"Ya?" Seseorang yang memiliki nama itu refleks menjawab panggilan tersebut.
Damai refleks menoleh ke arah teman sekelasnya itu. Bukan itu maksudnya, dia bergumam bahwa keindahan di depannya itu adalah keindahan Senja hari ini. Langit berwarna jingga di depannya, yang sering orang lain sebut dengan langit senja. Damai baru sadar jika seseorang di sebelahnya sekarang juga bernama Senja. Bibirnya tersenyum karena hal itu, Senja teman barunya dan juga senja pertama yang dilihat selama berada di Malang tersebut memiliki sebuah kesamaan. Sama-sama membuat Damai kagum.
"Enggak apa-apa," sahut Damai akhirnya. Lalu menatap kembali ke depan. Masih dengan senyum tak kalah lebar saat dia menoleh pada Senja tadi.
Suasana lenggang sejenak. Mereka berdua sama-sama hanyut dalam ketenangan dan keindahan fenomena alam yang ada di depannya saat ini. Tentu saja dengan segala hal yang berkeliaran di dalam pikiran masing-masing.
"Hah, capek banget!"
Suara dari Raya itulah yang membuat suasana hening selama beberapa saat tadi berakhir. Dia mengeluh, lalu segera menidurkan dirinya di paha Senja, bertingkah sahabatnya yang sejak tadi berteduh di bawah pohon tersebut adalah ibunya. Disusul dengan Aska, Yudha, dan Rama yang datang dan bersimpuh di sebelah Damai. Tubuh mereka penuh pasir, dan lengket.
"Aku yang lihat aja capek!" celetuk Senja pada Raya.
"Ya, hari ini aku biarin kamu diam disini karena ini adalah pertama kali kamu keluar bareng kita. Tapi lain kali aku bakal seret kamu ikut main disana," sahut Raya tak mau kalah.
"Kamu juga Mai," imbuhnya lagi. Menoleh ke arah Damai yang saat ini masih menatap ke depan.
Damai tersenyum. Melihat Raya dan Senja saling menjawab satu sama lain. Dua gadis yang memiliki sifat bertolak belakang itu bisa bersahabat. Itu artinya untuk Damai bersahabat dengan Senja juga memiliki kemungkinan bukan?
"Udah sana mandi! Keburu kemalaman nanti nyampek rumah." Senja mengangkat kepala Raya yang berada di pangkuannya, membuat tubuh sahabatnya itu duduk, lalu mengarahkan tangannya menuju kamar mandi yang berada di warung-warung tak jauh di belakang mereka.
"Bawel banget sih emak ku." Raya berseru. Seolah seperti seseorang yang memberontak dan tak ingin menuruti kalimat Senja, tapi tangannya meraih tas juga sepatu miliknya kemudian berdiri, lalu melangkah pergi dari sana.
"Kalau gitu kita juga mandi ya Mai, biar gak kemaleman kata Emak," ledek Aska. Mendongakkan dagunya ke arah Senja. Lalu cekikian bersama teman-temannya.
Senja mengerucutkan bibirnya, melirik sinis ke arah mereka yang berlalu pergi. Lalu menatap Damai. "Kamu gak mandi juga? Kamu kan tadi juga main pasir, pasti tubuh kamu lengket," ujarnya.
Bukan malah menanggapi pertanyaan itu, Damai justru ikut tertawa cekikian. "Emang bener lo cerewet banget kayak ibu-ibu," balasnya.
"Jadi ibu kamu cerewet kayak aku?" Senja membalas kalimat Damai dengan sebuah candaan. Berniat menggoda Damai, namun kali ini tawa di bibir cowok itu memudar secara perlahan. Wajahnya kembali menatap ke depan, masam dan menghela nafasnya panjang.
Senja salah tingkah. Apa dia salah bicara? Raut wajah Damai berubah drastis. Senyum yang membuat wajahnya makin ganteng kini tidak ada sama sekali. Kenapa dia? Pikir Senja.
"Damai…," panggil Senja hati-hati. Sebenarnya dia ingin bertanya ada apa? Kenapa? Dan apa ada yang mengganggu pikirannya? Namun rasanya berat sekali ucapan itu keluar dari mulut Senja. Dia tidak tahu, apakah hal itu merupakan sebuah hal yang benar atau tidak.
"Gue mandi dulu Nja."
Damai berdiri dari tempatnya. Mukanya merah padam. Senja bisa melihat hal itu saat Damai menyahut tas dan juga sepatunya. Lalu berjalan pergi dari sana tanpa menatap Senja lagi.
"Kenapa dia?" batin Senja.