"Gila. Begah banget ini perut," gumam Senja. Sambil memegangi perutnya, gadis berambut panjang itu baru saja menyelesaikan makan malam, dan sekarang naik ke lantai dua menuju kamarnya. Menu makanan di rumah Senja malam ini sama dengan tiga menu yang ada di rumah Mbah Sani, karena memang Mbah Sani juga membaginya ke rumah Senja, dan ada dua menu lain yang dimasak oleh ibunya sendiri. Alhasil sekarang perut Senja penuh karena mencicipi dengan rata semua makanan yang ada di meja makan. Meskipun hanya sedikit setiap menu, tapi jika ada lima menu makanan seperti itu cukup membuat perutnya begah.
Senja membuka pintu kamarnya. Menuju balkon kamar, untuk menghirup udara segar. Tidur dalam kondisi perut seperti itu juga tidak akan baik untuk kesehatan. Jadi Senja lebih memilih menuju ke balkon favoritnya sambil menunggu begah yang dirasakannya sedikit reda.
"Damai udah tidur kayaknya?" gumam Senja.
Satu hal baru yang menjadi perhatian Senja ketika berada di tempat favoritnya itu adalah balkon dari tetangga sebelahnya. Balkon kamar yang lurus dari tempatnya itu sekarang terlihat sudah gelap. Pintu dari kaca besarnya juga tertutup rapat. Mungkin memang penghuninya sudah beristirahat sekarang, pikir Senja.
Sesekali Senja berjinjit menengok ke arah kamar gelap itu. "Jangan-jangan Damai juga kekenyangan lagi, terus ketiduran," Dalam bayangan Senja, tiga menu di rumah Mbah Sani pasti masih sangat banyak, dan Damai juga kekenyangan sama seperti dirinya saat ini. Tanpa tahu apa yang sedang dilakukan Damai di dalam sana.
Akhirnya Senja memutuskan untuk duduk di atas beanbag berwarna biru muda yang ada pada pojok balkon, dengan meja kayu kecil di depannya. Dan hiasan bunga-bunga plastik untuk memperindah balkon favorit Senja tersebut. Senja membuatnya senyaman mungkin agar dia lebih betah berada disana meskipun berjam-jam. Ada juga beberapa lampu hias berwarna kuning yang tertata apik pada dinding balkon.
Kegiatan Senja malam ini sama seperti sebelumnya, membaca novel yang tadi dibawa pulang dari perpustakaan di atas beanbag empuk miliknya hingga malam nanti. Tidak ada tugas yang harus dikerjakan lagi. Sudah dibereskan secepat kilat tadi saat Raya berada disana, dan sebelum akhirnya dia ketiduran. Sungguh malam yang tenang untuk Senja, berbeda dengan tetangga sebelahnya di dalam kamarnya sana.
***
"Nja, kamu gak bareng Damai?" Hari masih pagi, dan Senja baru saja tiba. Dia menaruh tasnya di atas meja baru beberapa detik, tapi Raya sudah merecokinya. Untung saja Senja hanya menghadapi satu orang seperti Raya yang mengetahui bahwa Damai adalah tetangganya. Bagaimana jika seluruh siswi di sekolah ini tahu bahwa Damai dan Senja bertetangga? Bisa jadi sudah dari gerbang depan tadi ada yang mengikutinya untuk menanyakan keberadaan Damai padanya.
"Nggak lah." Senja menjawab singkat. Berharap tidak akan ada balasan lagi dari Raya. Ternyata dia salah. Masih saja ada yang menjadi pembahasan sahabatnya itu.
"Ya kan seru Nja naik motor berdua sama Damai," serunya riang.
Kali ini Senja tak menjawabnya lagi, agar Raya berhenti membicarakan Damai. Mata Senja melirik sekilas ke tempat duduk Damai, lalu melihat jam tangannya. "Tapi ngomong-ngomong kemana si Damai?" batin Senja. Jam masuk kelas tinggal lima menit lagi, tapi Damai belum ada di tempat duduknya. Apa dia sudah terlambat di hari keduanya masuk sekolah? Atau dia nyasar? Kan ini baru hari pertama dia bawa motor. Senja jadi merasa sedikit bertanggung jawab kalau sampai Damai nyasar. Pasalnya Mbah Sani sudah berusaha menitipkan cucunya itu pada Senja perihal sekolah. Tapi ya sudahlah. Mungkin dia sebentar lagi sampai. Seandainya nyasar Damai pasti juga bisa bertanya sama seseorang di jalan bukan? Senja berusaha menghiraukannya. Lalu duduk di kursinya dengan tenang.
Bel tanda masuk kelas berbunyi. Damai belum juga datang. Dan kemungkinan kedua yang Senja pikirkan adalah Damai tidak masuk. Tapi bersamaan dengan masuknya guru dari pelajaran pertama, Damai menenteng tasnya masuk ke dalam kelas. Wajahnya lesu, dan sedikit kuyu. Tak banyak tersenyum ramah pada teman-temannya yang lain seperti kemarin. Dia hanya tersenyum singkat saat melewati Senja.
"Kenapa dia?" batin Senja. Tak diucapkan. Secuil pertanyaan itu hanya akan membuat Raya mengucapkan satu paragraf jawaban pada Senja nantinya. Dan itu semakin membuatnya pusing. Lebih baik sekarang Senja konsentrasi pada pelajaran pertama.
Pelajaran pertama adalah Ilmu Pengetahuan Alam, dan sudah berjalan selama empat puluh lima menit. Senja memperhatikan penjelasan yang diberikan guru IPA bernama Bu Indri di depan sana. Kemudian, perhatian seluruh kelas tertuju pada Bu Indri saat beliau tiba-tiba menghentikan penjelasannya lalu berjalan ke meja belakang paling pojok sebelah kiri ruang kelas. Meja yang ditempati Damai. Sambil berkacak pinggang, Bu Indri menghembuskan nafasnya kasar.
"Damai," panggil Bu Indri.
Senja juga salah satu yang sedang memperhatikan Bu Indri berdiri di samping meja Damai. Pandangan Senja beralih dari Bu Indri mengamati Damai. Anak laki-laki itu menaruh kepalanya di meja, lalu menutup wajahnya menggunakan buku tulis. Saat Bu Indri membukanya, Damai sedang memejamkan mata. Tidur pulas pada jam pelajaran pertama. Senja menahan tawanya, bagaimana bisa Damai tertidur pada jam pelajaran pertama? Ini masih pagi. Seisi kelas juga belum ada yang berani berkomentar apapun. Semua mata memperhatikan Bu Indri yang terlihat kesal pada muridnya itu. Sudah bisa dipastikan Bu Indri akan marah pada idola baru sekolah itu sebentar lagi.
"Damai!" Bu Indri sudah mulai meninggikan suaranya.
Yang sedang dipanggil sama sekali tidak mendengarnya. Tidurnya pulas. Seperti di rumahnya sendiri.
Senja bertanya dalam hatinya. Semalam setelah makan malam sampai dia selesai membaca novel dan akhirnya mengantuk, dari balkon kamarnya, kamar Damai tidak terlihat menyala sama sekali, dan Senja pikir tetangganya itu sudah tertidur pulas saat itu, tapi kenapa dia sekarang tidur di dalam kelas seperti seseorang yang begadang semalaman. Apa jangan-jangan dia sakit?
Tangan sebelah Bu Indri memegang buku tulis Damai yang digunakan untuk menutupi wajahnya tadi, kemudian sebelahnya lagi memegang spidol hitam karena memang tadi sedang ditengah menulis papan tulis, dan menghentikannya begitu melihat Damai. Kemudian Bu Indri mengetuk meja Damai menggunakan spidolnya. Cukup keras, dan memang bertujuan untuk membangunkan murid baru yang sudah berani tidur di dalam kelas itu.
"Damai! Kalau kamu gak bangun ibu bawakan ember air buat kamu!" Suaranya diiringi ketukan spidol pada meja Damai.
Rupanya cara itu efektif. Anak laki-laki di depan Bu Indri, berusaha keras membuka matanya yang saat ini benar-benar menempel satu sama lain. Rasanya Damai tidak punya tenaga untuk bangun saat ini.
Bu Indri memukulkan buku Damai pada punggung muridnya itu saat dia sudah sedikit menegakkan tubuh. "Damai, kamu ini mau belajar apa mau tidur?!" sentak Bu Indri.
Damai baru sadar dari tidurnya, telinganya sudah berdengung karena suara Bu Indri yang tiba-tiba menyentaknya begitu dia bangun. Untung saja dengan cepat dia menyadari bahwa sekarang posisinya di dalam kelas, dan dia tertidur. Sudah sepantasnya Bu Indri marah padanya, karena dia salah. "Maafkan saya bu," jawab Damai dengan suara paraunya. Astaga. anak laki-laki itu sepertinya sudah ketiduran cukup lama. Mukanya kusut sekali sekarang. Meskipun tetap ganteng, tapi wajahnya seperti orang yang sedang kelelahan. Rambutnya juga berantakan hari ini.
"Cepat cuci muka kamu sana! Dan kamu ibu hukum berdiri di depan kelas sampai pelajaran selesai, supaya kamu gak tidur lagi!" perintah Bu Indri kemudian.