webnovel

Arti Sebuah Tatapan

"Namamu siapa Nduk?" Mbah Sani melontarkan sebuah pertanyaan untuk Raya. Di dalam mobil, sekarang Senja, Raya, dan juga Damai duduk berjajar di bangku penumpang belakang, sedangkan Mbah Sani berada di depan, sebelah sopir pribadinya.

"Raya Mbah," jawabnya renyah. Logatnya sama dengan Mbah Sani. Khas Jawa Timuran. Raya tak hentinya tersenyum. Bagaimana tidak, sekarang dia duduk di tengah. Di antara Damai dan Senja. Sedekat itu dengan Damai pasti membuatnya sangat gembira. Senja hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya karena tingkah Raya.

Sesekali Raya melirik ke arah Damai yang duduk tenang sambil melihat keluar jendela. Dia tak banyak bicara dalam mobil. Menyahuti sepatah dua patah kata pertanyaan Mbah Sani, setelah itu lebih banyak melihat lagi ke jalan. Jarak dari SMA Dharma Bangsa menuju ke Perumahan Permata memakan waktu sekitar tiga puluh menit menggunakan mobil. Dan sekarang sudah setengah perjalan. Dalam kurun waktu itu suara Raya yang paling dominan, bicara dengan Mbah Sani seolah mereka sudah akrab di waktu yang singkat itu. Sesekali juga tertawa riang.

Senja melirik Damai, anak laki-laki itu diam tak mengatakan apapun, menatap keluar jendela, tapi sepertinya sedang ada hal yang mengganggu pikirannya. Tatapannya terlihat sedih, dan menyimpan banyak hal. Atau itu mungkin hanya pikiran Senja sendiri saja?

"Iyakan Nja?"

Raya menepuk kening Senja. Mengagetkannya dengan sebuah pertanyaan. Ternyata Raya dan Mbah Sani mengajaknya bicara tadi, dan selama beberapa menit Senja hanya tenggelam mengamati wajah Damai, ikut melamun bersamanya. Mengamati apa yang begitu menarik perhatian Damai di luar sana.

"Eh, gimana Ya?" timpalnya kelabakan. Bagaimana tidak, Senja tidak mendengar apapun yang dikatakan Raya atau Mbah Sani, dia sibuk dengan pikirannya sendiri selama itu.

"Itu, Mbah Sani tanya, apa Damai bikin ulah di hari pertama sekolah. Aku jawab nggak, Damai mudah beradaptasi sama yang lain." Raya sukarela menjelaskan perbincangan mereka tadi. Senja tersenyum lebar. Mengiyakan perkataannya pada Mbah Sani.

"Iya Mbah, gak ada masalah kok."

Tiga puluh menit berlalu, mereka sudah sampai di depan rumah Damai. Begitu keluar dari mobil. Mulut Raya menganga. Dia terpana. Bukan karena rumah Damai yang besarnya dua kali lipat dari rumah Senja. Melainkan karena letaknya yang bersebelahan persis. Hanya tinggal melangkah beberapa kali saja. "Gila. ini bisa tukeran rumah gak Nja?" gumamnya sambil mendongak. Menatap bergantian pada rumah besar milik Mbah Sani, lalu pada rumah Senja.

Senja menunduk sopan pada Mbah Sani. Menghiraukan Raya yang masih terpana. "Makasih ya Mbah tumpangannya," ucap Senja dalam bahasa Jawa. Senyum manisnya ditujukan pada Mbah Sani, lalu bersiap melangkah pulang.

"Gak mampir dulu Nduk?" Mbah Sani melontarkan pertanyaan pada dua gadis itu.

"Boleh Mbah…."

"Nggak Mbah, makasih banyak. Kita masih banyak tugas." Senja segera menarik tangan Raya, sebelum sahabatnya itu benar-benar masuk dan mampir ke dalam rumah Damai seperti tawaran Mbah Sani. Sudah cukup. Senja tidak akan membiarkan Raya masuk lebih dalam dan melibatkannya lagi. "Iyakan Ya?" Kali ini Senja melotot pada Raya, dan Senja berharap sahabatnya itu cukup pintar untuk mengerti maksudnya.

Raya memaksakan seulas senyumnya pada Mbah Sani. Karena selain melotot, tangan Senja juga mulai menggenggam dengan erat pergelangan tangan Raya. Oke, Raya tahu kali ini dia harus mengalah, setelah tadi dia sudah membuat kesalahan, lebih aman kalau sekarang dia mengikuti Senja masuk ke dalam rumah. "Iya Mbah. Kapan-kapan aja deh mampirnya. Makasih banyak ya Mbah," ucap Raya. Kemudian beralih pandang pada Damai yang berdiri di sebelah Mbah Sani. "Makasih Damai." Senyum yang lebih manis diarahkan padanya.

Senja menghela nafasnya lega. Setelah senyuman singkat balasan dari Damai, akhirnya dia bisa melepaskan Raya yang mencoba terus menempel pada tetangga barunya itu. Kenapa Raya yang menempel, tapi Senja yang malu? Astaga Raya. Dia memang lain daripada yang lain.

Kali ini Raya bergelayut manja di lengan Senja. Mencoba merayu sahabatnya dan berusaha membuatnya tersenyum. "Maaf ya Nja. Makasih juga, kamu memang yang terbaik," bujuknya.

"Kali ini aku maafin, tapi lain kali nggak," jawab Senja sinis. Tapi Raya tahu, itu hanyalah sementara. Pada dasarnya Senja memang teman yang baik, jadi Raya bisa memastikan asal bukan kesalahan yang fatal Senja pasti akan segera memaafkan Raya dan memakluminya.

Raya dan Senja masuk ke dalam rumah. Karena tidak ada rencana apapun atas kedatangan Raya kesana, dia hanya mengobrol sebentar dengan Ibu Wulan, lalu mengikuti Senja masuk ke dalam kamar. Tidak ada yang dia lakukan disana. Senja menikmati waktunya seperti biasa, bersantai, membaca novel, kemudian tertidur. Sangat membosankan bagi Raya, alhasil dia memutuskan untuk pulang. Lagi pula dia Raya juga tak melihat Damai lagi keluar dari rumahnya. Mungkin dia juga tidur, pikirnya.

"Raya udah pulang ma?"

Senja mengucek matanya. Turun dari lantai dua dalam keadaan lesu. Setelah melihat sekitar kamarnya tidak ada keberadaan Raya. Tanpa disadari Senja sudah tidur hampir lima jam. Sekarang sudah lewat pukul enam sore. Sebentar lagi waktu makan malam. Ibunya sudah sibuk menyiapkan menu di atas meja makan.

"Raya udah pulang sore tadi. Kamu ketiduran katanya," sahut Ibu Wulan. Tak menoleh ke arah Senja sama sekali, tangannya masih sibuk dengan piring dan juga sendok di atas meja makan. "Udah sana mandi!" titahnya kemudian.

Senja mendekat ke meja makan. Indra penciumannya dimanjakan sejenak dengan bau aroma sedap dari makanan di atas meja. "Ada acara apa ma? Banyak banget masakannya," tanya Senja. Matanya menelisik setiap menu yang ada di meja, hari ini terdapat lima menu makanan berat yang tidak biasa dimasak untuk hari-hari biasa oleh ibunya. "Kak Langit pulang lebih awal hari ini?" Kemungkinan terbesar dari tersedianya menu sebesar ini adalah kakaknya pulang lebih awal dari pekerjaannya, pikir Senja.

"Enggak. Kakak kamu tetep pulang malem. Ini tadi masakan dari Mbah Sani, katanya syukuran buat Damai yang baru tinggal disini," jelas Ibu Wulan.

Senja mengangguk-angguk. Jadi ini masakan dari Mbah Sani, pantas saja. Banyak, dan semua terlihat nikmat. Senja sampai menelan ludah sendiri. "Oh, jadi ini untuk syukuran buat Damai?" gumamnya.

Ngomong-ngomong soal Damai, Senja sebenarnya penasaran dengan satu hal. "Ma, mama tahu gak kenapa Damai pindah kesini?" selidiknya pada sang ibu. Siapa tahu saja, Mbah Sani menceritakan tentang hal itu pada ibunya.

Raya bilang kalau Damai itu Selebgram terkenal dengan follower yang sangat banyak, dia juga sering jadi cameo di film-film. Meskipun Senja tidak begitu tahu perihal itu. Raya juga berkata dia bisa menjadi aktor ternama jika meneruskan kiprahnya di dunia entertaint, tapi kenapa anak laki-laki seperti itu justru memilih pergi dari ibu kota, dan pindah ke Malang?

"Mama gak tahu pasti sih, tapi Mbah Sani bilang dia sebatang kara disana. Ayahnya meninggal beberapa bulan yang lalu. Jadi gak ada yang ngurusin sekolah dan kebutuhan dia selama disana. Mbah Sani juga kayaknya gak mungkin kesana Nja. Bisnisnya disini banyak. Gak bisa ditinggal," jelas Ibu Wulan. Setidaknya sedikit penjelasan ibunya bisa menjawab rasa penasaran Senja, meskipun tidak banyak. Kalau gitu apa Raya juga tahu kalau ayah Damai meninggal beberapa bulan yang lalu? Bukannya dia bilang Damai itu terkenal? Jadi mungkin akan berita soal itu.

Senja mengangguk mengerti. Rasanya ingin sekali melanjutkan pertanyaannya pada sang ibu, tapi diurungkan karena Ibu Wulan sudah memberikan perintah ulang untuk Senja segera ke kamar mandi. Sambil berlalu dari ruang makan, dalam benak Senja hanya berpikir, "Apa itu yang menyebabkan tatapannya tadi begitu sedih?"