Malamnya, aku lebih memilih di kamar dan makan malam di sana. Aku tidak mau turun ke bawah, soalnya ada Alvin. Kata Papa, selagi Papanya Keluar kota Alvin lah yang mengurus bisnis orang tuanya dengan Papa dan hari ini dia kemari, mana pakaiannyarapih banget. Terlihat ganteng! Aku melihatnya saat membukakan pintu ketika asyik nonton TV. Ketika terdengar suara ketukan, Mama dan Papa menyuruhku membukanya dan ....
Untung saja di kamarku ada kamar mandi. Jadi, bisa sekalian cuci piringnya. Dan bisa keluar kamar saat Alvin pergi.
Rio Gingsul : Ta.
Nagita Alana : kenapa, Yo?
Rio Gingsul : Cinta nge-BM gue. Katanya dia nyesel mutusin gue. Dia minta balikan, Ta.
Nagita Alana : terus?
Rio Gingsul : gue balikan gak yah sama dia?
Aku membiarkan chat Rio berakhir dengan logo 'R' berwarna hijau. Biar saja! Kenapa dia tanyakan kelanjutan hubungannya dengan Cinta padaku? Kalau masih sayang, balikan aja! Ngapain nanya-nanya orang.
Tapi, apa yang di bicarakan Alvin tadi siang ada benarnya. Aku bisa deketin Alvin supaya uang jajanku bertambah dari Papa. Bisa saja aku kerja, tapi orang pendek sepertiku akan mendapatkan kerja part time seperti apa? Untuk jadi waiters dan barista cafe saja tinggi mininal 155. Sedangkan aku? Ibarat tinggi Rio 175 aku hanya sepundaknya, berapa tinggiku kira-kira?
Lantas, aku mengambil kalender kecil di meja belajar, sambil berbaring aku memberi tanda pada kalender tersebut. Kalau satu hari aku bisa mengumpulkan 20 ribu, dalam seminggu akan terkumpul 140 ribu. Kalau satu hari 50 ribu, satu minggu bisa sampai...
Oke, fix! Aku harus dapat uang tambahan dari Papa.
Aku segera keluar kamar dan turun ke bawah untuk bertemu dengan Alvin. Eits, tunggu dulu. Apa yang harus aku lakukan di depannya? Ah, itu mah urusan belakangan.
"Ma, Alvin mana?" tanyaku pada Mama.
"Alvin? Kok, kamu tiba-tiba nanyain dia?" aku hanya menggaruk tengkukku. "Dia udah pulang, barusan."
Tiba-tiba tubuhku melesu. Yah duit lima puluh ribu gue, pergi.
"Mulai besok Aku dan Alvin akan mengurusi pekerjaan di sini, jadi dalam seminggu ini Papa tidak perlu ke kantor," ucap Papa seraya menutup pintu. Mataku lantas berbinar.
"Benar, Pah?" Papa mengangguk.
"Kenapa harus di sini?" tanya Mama.
"Alvin yang meminta."
*****
Kejadian kemarin datang lagi. Pagi ini, aku berada di antara Rio dan Alvin. Dua cowok ini menatapku lekat dengan harapan memilih mereka untuk berangkat ke sekolah.
Otakku terkuras habis. Kalau tidak memilih Alvin, uang tour-ku tidak akan terkumpul. Kalau tidak memilih Rio, dia bisa marah padaku. Aku memejamkan mata lalu membukanya kembali, berharap ini hanya mimpi dan aku sudah berada di sekolah. Tapi, sayangnya kedua laki-laki itu masih di sampingku.
"Gue... Gue naik Bus aja." ucapku langsung melangkah pergi.
"Lo kenapa, Yo?" tanyaku saat Rio tiba di kelas. Aku takut dia akan marah padaku. Ayolah, gue terpaksa itu juga!
"Gak apa-apa."
"Yo,"
"Hm?"
"Lo marah sama gue?"
"Nggak."
"Nggak, kok cuek?"
"Gak apa-apa."
"Jawab yang panjang dong."
"Panjang."
Aku mendengus, di saat seperti ini pun sempat-sempatnya tingkah tengilnya keluar.
*****
"Alvin? Mau pulang?" tanyaku pada Alvin yang memakai sepatu di depan pintu.
"Iyah, hari ini kerjaan udah beres."
"Oh," aku berpura-pura melihat ke luar, menatap langit malam. "Yah, udah malem, padahal di bawa besok." aku menggrutu, sengaja ku besarkan suara agar Alvin bisa mendengarnya.
"Kenapa?"
"Gue ada tugas di suruh bawa stick buat pelajaran kesenian. Rencananya mau beli malam ini, tapi kemaleman." aku mengkrucutkan bibirku.
"Yaudah, bareng aku aja. Di perjalanan ke sini aku lihat ada toko buku di depan gerbang kompleks. Kita bisa kesana," tawarnya.
"Beneran boleh?" tanyaku dengan mata berbinar. Alvin mengangguk dan dalam hati jantungku berpesta memainkan lagu disco kemenangan. Yes! Aku segera memakai sendal dan berpamitan ke Mama. "Yaudah, Yuk!"
Lima langkah aku berjalan, Alvin masih diam di tempat. Tangannya dimasukkan ke saku celana sambil menatapku heran, "kamu yakin keluar rumah berpakaian seperti itu?"
Aku menatap tubuhku yang hanya memakai kaos biasa dan celana pendek, "gak apa-apa lah, deket ini."
Akhirnya, kita berdua dan lamborgini Alvin tentunya, berangkat menuju toko buku depan kompleks. Alvin membelikan ku dua bungkus stick es krim yang memang ku butuhkan. Niatnya sih emang mau beli, tapi malah di beliin. Duuh, Alvin baik banget.
Setelah itu, Alvin mengantarkanku pulang.
"Vin?" ucapku ragu.
"Ya?"
Aku memainkan jariku, "lo udah makan?"
"Tadi kan aku sudah makan malam di rumah kamu." aku menepuk jidat. Payah banget kejadian dua jam lalu bisa lupa.
"Kalau kamu mau makan, kita makan."
"Ah, nggak-nggak! Gue cuma mau jalan-jalan aja. Maksud gue,"-aku membasahi bibirku-"gue jarang banget di bolehin keluar rumah. Jadi, yaa... Munpung lagi di luar kita...."
Alvin tertawa kecil, "ternyata kamu murid yang bandel yah."
Mobil berplat 'B' ini berbelok ke arah yang berlawanan dari tujuan awal, sampailah kami di sebuah apartemen yang menjulang tinggi. Sejak di mobil aku heran kenapa Alvin membawaku kemari. Apetemen? Aku belum pernah kemari. Mentok-mentok juga ke kostan kaka riska yang ada di bandung saat kita tour ke salah satu tempat rekreasi disana.
Pikiranku pun tidak karuan.
"... Napa? Nagita? Kenapa melamun?" pikiranku sadar kembali.
"Ah, enggak. Kayaknya kita pulang aja deh," ucapku parno.
"Kenapa pulang, kamu akan menemui sesuatu yang aku yakin belum pernah kamu lihat sebelumnya di atas sana. Ayo!" Alvin menggenggam tanganku. Menuntunku ikut masuk ke gedung ini.
Cerita dengar cerita, apartemen itu seperti hotel. Dan biasanya wanita yang di ajak ke hotel itu adalah mereka yang siap berbuat asusila. Apa, apa Alvin akan melakukan itu padaku? Kami kan masih SMA, bagaimana dengan pendidikan kami? Lagipula, Alvin kan anak yang terhormat, tidak omes seperti Rio. Tapi, biasanya yang pendiam gini....
Ting.
Tak terasa aku berjalan sambil melamun. Alvin kembali menuntunku keluar lift dan kami berada di lantai teratas apartemen ini.
Aku melihat semuanya, semua bisa ku lihat. Mobil yang kecil, lampu yang berkedip, laut yang meski hanya sepenggal yang terlihat. Aku menganga. Waaah! Luar biasa, bahkan ribuan bintang seperti berada di atas kepalaku.
"Bagaimana, bagus kan?" Tanya Alvin.
"Hebat! Gue kira lo akan mencabuli gue." ucapku polos.
"Apa?"
Masih takjub dengan apa yang aku lihat. Aku jingkrak-jingkrak sambil berlari ke tepi gedung seperti anak kecil, Alvin mengikutiku seraya bersedekap tangan di dada. Setelah puas aku ingin melihat pemandangan dari sudut lain, tapi Ia berdiri di belakangku dan aku menabraknya.
Terasa sakit di bagian kening, aku sempat meringis. Namun, dengan cekatan ia mengusap keningku dan meniupnya.
Tuhan, jika aku lupa teori yang ku bilang pada Rio. Tolong jangan ingatkan.
"Masih sakit?" Alvin mengangkat kedua alisnya yang tebal. "Kenapa senyum-senyum? Apa itu efek dari pundakku?"
Alvin lebih rendah dari Rio. Jika tinggiku sepundak Rio, aku setengkuk Alvin.
"Ng-nggak. Gak apa-apa,"
"Kita pulang yuk. Sudah malam."
*****