webnovel

Kedelapan

Tetapi, malam itu Mahesa Jenar sama sekali tidak berhasrat untuk tidur. Ketika ia sudah membaringkan dirinya, teringatlah kembali semua peristiwa yang dialaminya pada hari-hari terakhir. Maka barulah terasa penat-penat di bagian-bagian anggota badannya.

Selain itu terngianglah kembali semua ceritera Samparan pada saat terakhir sebelum menghembuskan nafasnya yang penghabisan. Tentang Lawa Ijo, tentang pertemuan yang akan diadakan oleh golongan hitam, tentang pusaka-pusaka Kiai Nagasasra dan Sabukinten, dan tentang seorang yang disebut oleh Samparan bernama Pasingsingan. Semuanya itu masing-masing bagi Mahesa Jenar memerlukan perhatian-perhatian khusus.

Sebenarnya kalau Lawa Ijo atas petunjuk Pasingsingan ingin mendapat pusaka Kiai Nagasasra dan Sabukinten dengan memasuki Gedung Perbendaharaan Istana, ia pasti akan kecewa. Sebab kedua pusaka itu sedang jengkar meninggalkan tempat penyimpanannya. Tak seorang pun yang mengetahui, kemana perginya dan siapa yang membawanya.

Sedangkan kepada Pasingsingan sendiri, Mahesa Jenar tak habis-habis heran. Bahkan hampir tak masuk akal, kalau sampai Pasingsingan mempunyai seorang murid semacam Lawa Ijo.

Mengenai pertemuan golongan hitam itu pun akan merupakan suatu peristiwa yang cukup menarik.

Kecuali itu, bila Lawa Ijo telah menyatakan diri untuk mengambil bagian dalam pertemuan itu, pastilah bahwa pagi-pagi ia telah mempersiapkan diri. Ini berarti bahwa Lawa Ijo selalu berusaha untuk memperdalam segala ilmunya sampai sedalam-dalamnya. Apalagi di bawah asuhan seorang sakti yang bernama Pasingsingan.

Lalu bagaimanakah dengan dirinya? Dengan terbunuhnya salah seorang anggota gerombolan Lawa Ijo, bahkan saudara muda seperguruannya, berarti Mahesa Jenar sudah berhadapan langsung dengan golongan itu. Golongan Lawa Ijo yang bersarang di hutan Mentaok.

Karena itulah maka Mahesa Jenar mulai menilai dirinya kembali. Sebenarnya ia tidak ingin lagi mempergunakan tenaganya dan ilmu tata berkelahi yang pernah dipelajarinya untuk memecahkan soal. Tetapi berhadapan dengan gerombolan Lawa Ijo, soalnya menjadi lain. Terhadap gerombolan itu, dan gerombolan hitam umumnya, ia tak dapat berbuat lain, kecuali harus mempersiapkan diri dalam keadaan siaga tempur.

Maka, dengan tak sesadarnya Mahesa Jenar mengamat-amati tangannya dengan jari-jarinya yang kokoh kuat. Telah berapa jiwa melayang karenanya, selama ia berusaha menegakkan keadilan dan kemanusiaan. Dan sekarang, tangan ini harus siap membunuh pula, juga untuk menegakkan keadilan dan kemanusiaan.

Bahkan alangkah menariknya untuk mengetahui pula kejadian-kejadian dalam pertemuan yang akan diselenggarakan oleh golongan hitam itu, pada saat purnama naik, bulan terakhir tahun ini.

Maka dengan tidak sengaja pula, Mahesa Jenar bangkit dan berjalan mondar-mandir di dalam ruangan itu.

Malam sudah begitu dalam dan sepi. Kecuali suara-suara binatang malam yang sekali-kali memecah sunyi. Pada saat yang demikian tiba-tiba saja timbullah keinginan Mahesa Jenar untuk mencoba kembali kekuatan tenaganya. Mungkin akan berguna nanti. Kalau ada kesempatan, bukankah suatu hal yang baik sekali untuk membinasakan segala tokoh-tokoh hitam pada saat mereka berkumpul?

Tetapi mereka pun bukanlah kumpulan anak-anak kecil yang dapat ditakut-takuti oleh seekor anjing yang sedang menggonggong.

Belum lagi Mahesa Jenar mendapat sasaran untuk memulai, tiba-tiba didengarnya sayup-sayup suara yang bergetar panjang, mendirikan bulu roma. Suara itu menggetarkan udara seperti getaran gelombang pantai. Bagi penduduk Pucangan, suara itu memang sering terdengar. Bahkan hampir setiap malam, apabila kademangan itu telah terbenam dalam sunyi malam. Setiap penduduk kademangan yang mendengar suara mengerikan itu tubuhnya tentu akan menggigil karenanya.

Tetapi sebaliknya adalah Mahesa Jenar. Mendengar suara itu tiba-tiba timbullah kegembiraannya. Dengan lincahnya ia segera meloncat turun ke halaman. Untuk beberapa saat ia berdiri mendengarkan dari mana arah suara yang menggeletar itu. Mahesa Jenar merasa bahwa ia akan mendapat kawan berlatih yang baik. Maka kemudian dengan tidak berpikir panjang lagi. Segera ia meloncat dan seperti kilat berlari ke arah suara yang menarik hati itu, agak jauh di luar pedesaan.

Ketika sekali lagi suara itu terdengar semakin panjang, Mahesa Jenar menjadi bertambah gembira, sehingga ia semakin mempercepat langkahnya. Tampaklah ia kemudian seperti bayangan yang terbang dalam kegelapan.

Setelah beberapa lama berlari, Mahesa Jenar menghentikan langkahnya. Dari sinilah arah suara tadi terdengar. Dengan hati-hati dan penuh kewaspadaan, ia mengamat-amati keadaan di sekitarnya, yang penuh semak-semak dan rumput-rumput ilalang yang tumbuh liar.

Tiba-tiba telinga Mahesa Jenar yang tajam menangkap suara berdesir dari dalam semak-semak itu. Cepat ia membalikkan diri ke arah suara itu, dan bersiaga. Apa yang dicari, kini telah muncul dari balik batang-batang ilalang.

Mahesa Jenar tersenyum, ketika dilihatnya seekor harimau loreng sangat besar, hampir sebesar kerbau, memandangnya dengan keheran-heranan. Matanya yang kehijau-hijauan memancar seperti lentera yang menyorot kepadanya. Untuk beberapa saat harimau itu berdiri mematung. Agaknya harimau itu heran, manusia manakah yang telah mengantarkan dirinya sendiri untuk menjadi santapan malamnya.

Ketika harimau itu perlahan-lahan maju ke depan, darah Mahesa Jenar berdesir juga. Alangkah besar dan garangnya. Dan dengan tidak sesadarnya, kembali Mahesa Jenar mengawasi tangannya serta jari-jarinya yang kokoh kuat.

Dan pada telapak tangan Mahesa Jenar, seolah-olah terbayang apa yang pernah terjadi pada saat terakhir, sebelum gurunya melenyapkan diri dan kemudian ternyata wafat. Pada saat ia mendapat warisan ilmu yang sebenarnya sangat hebat. Suatu ilmu yang dapat dikatakan tersimpan di tangan Mahesa Jenar. Sebab kalau ia ingin menerapkan ilmu itu, haruslah dipergunakan sisi telapak tangannya. Meskipun pada dasarnya ilmu itu mempergunakan kekuatan jasmaniah, tetapi tidaklah demikian seluruhnya. Bertahun-tahun Mahesa Jenar melatih diri meyakinkan ilmu itu, yang mempergunakan unsur-unsur gerak pendahuluan 10 macam. Sebelum itu ia masih harus membiasakan keadaan jasmaniahnya. Setiap pagi dan sore menghantamkan sisi telapak tangannya pada bermacam-macam benda. Dari pasir, kayu, sampai ke batu.

Sepuluh unsur gerak pendahuluan itu hanyalah sekadar patokan untuk menekan lawannya sampai sedemikian rupa sehingga pada saat yang terakhir dimana keadaan sudah memungkinkan, dilontarkanlah pukulan dengan sisi telapak tangan.

Tetapi pukulan itu tidak akan memenuhi harapan, bila saat itu tidak dibarengi dengan suatu kekuatan batin yang luar biasa besarnya, serta pemusatan tenaga. Inilah sebenarnya yang sulit dilaksanakan. Untuk dapat melakukan ini semua, Mahesa Jenar harus bekerja keras beberapa tahun lamanya.

Latihan-Latihan itulah yang sangat terasa berat. Pada taraf permulaan Mahesa Jenar harus melatih mengatur pernafasan, kemudian pemusatan pikiran dan terakhir menggabungkan segenap kekuatan lahir batin. Semua itu untuk disalurkan lewat sisi telapak tangannya.

Dalam pelaksanaannya tidaklah mesti 10 unsur gerak itu dilakukan berurutan. Tetapi unsur yang hanya sekadar merupakan patokan yang dapat dibolak-balik, diambil beberapa bagiannya saja menurut kebutuhan. Bahkan dapat dimasuki dan digabungkan dengan unsur-unsur gerak yang lain.

Setelah Mahesa Jenar menjalani semua latihan-latihan itu, hasilnya sangat hebat. Tangan Mahesa Jenar, bila dikehendaki seolah-olah dapat berubah menjadi palu besi yang sangat berat.

Tetapi meskipun demikian, sampai saat itu Mahesa Jenar belum pernah mempergunakan ilmunya itu untuk melawan sesama manusia. Ia baru mencoba menghantam-hancurkan kayu dan bahkan batu. Tetapi terhadap sesama manusia, Mahesa Jenar masih belum sampai hati mempergunakannya. Sebab, akibatnya dapat dibayangkan.

Namun sekarang Mahesa Jenar merasa berhadapan dengan lawan yang tak dapat diabaikan. Apalagi Lawa Ijo adalah murid Pasingsingan. Lebih-lebih kalau Pasingsingan sendiri ikut campur dalam urusan ini.

Karena itu, Mahesa Jenar memutuskan, bahwa ia harus mempersiapkan ilmunya itu. Ilmu yang pernah dipelajarinya dengan sungguh-sungguh dan bersusah payah.

Dan sekarang, ia mendapat sasaran yang tepat. Seekor harimau loreng yang sangat besar sekali, yang pasti sangat mengganggu penduduk di sekitar daerah ini. Sebab seekor harimau yang hampir sebesar kerbau ini tentu akan senang menangkap ternak para petani.

Meskipun kekuatan jasmaniah harimau sebesar itu, jauh berlipat dari kekuatan jasmaniah manusia biasa, Mahesa Jenar yakin bahwa ia akan dapat mengatasinya, dengan ilmunya yang oleh gurunya disebut Sasra Birawa.

Sementara itu, Mahesa Jenar segera tersadar oleh suara gemerisik kaki harimau yang berdiri tidak jauh di hadapannya. Harimau itu telah merunduk sangat rendah, dan siap menerkam.

Dengan mengaum keras, harimau itu dengan garangnya meloncat akan menerkam Mahesa Jenar. Kedua kaki depannya menjulur hampir lurus dengan tubuhnya. Kuku-kukunya yang tajam siap merobek-robek mangsanya. Sedang taring-taringnya yang tajam-runcing, menyeringai. Mengerikan sekali.

Tetapi Mahesa Jenar adalah seorang yang telah terlatih baik untuk menghadapi setiap kemungkinan dan segala macam bahaya. Maka ketika dilihatnya harimau itu meluncur menerkamnya, dengan cekatan Mahesa Jenar merendahkan diri dan meloncat ke samping. Harimau itu kembali mengaum dengan hebatnya. Rupanya ia sangat marah ketika mangsanya terlepas dari terkamannya. Tetapi selama harimau itu masih mengapung di udara, ia sama sekali tak dapat mengubah geraknya.

Ketika harimau itu mendarat di tanah, ia menjadi terkejut sekali. Tidak saja karena sasarannya telah menghindarkan diri, tetapi juga karena tiba-tiba saja terasakan sesuatu yang menghantam punggungnya, dan bahkan seperti melekat dengan eratnya.

Mahesa Jenar ketika telah berhasil menghindarkan diri, maka tepat pada saat harimau itu menjejakkan kakinya di atas tanah, dengan kecepatan luar biasa Mahesa Jenar meloncat ke atas punggung harimau itu, dan menghantamnya sekali. Seterusnya kedua tangannya dengan eratnya berpegangan pada leher harimau itu.

Tetapi harimau adalah binatang yang mempunyai kekuatan yang luar biasa. Pantaslah kalau disebut raja hutan. Apalagi seekor harimau yang sedang marah, seperti yang sedang dihadapi oleh Mahesa Jenar.

Harimau itu menggeliat dengan sepenuh tenaga untuk melepaskan pegangan Mahesa Jenar. Tetapi Mahesa Jenar dengan eratnya mencengkeram leher harimau itu, sehingga tangan itu tidak terlepas. Akhirnya harimau yang sudah mencapai puncak kemarahannya itu meloncat tinggi. Setelah terjun kembali, segera menjatuhkan diri dan bergulingan di tanah. Bagaimanapun eratnya pegangan Mahesa Jenar, tetapi mengalami hal yang demikian tak urung tangannya terlepas juga. Bahkan ia terlempar ke samping, sampai beberapa langkah dan jatuh berguling-guling. Untunglah bahwa Mahesa Jenar memiliki keuletan yang luar biasa. Demikian Mahesa Jenar jatuh terguling beberapa kali, segera ia meloncat dan tegak kembali tepat pada saatnya. Sebab pada saat itu, harimau yang marah itu telah siap kembali menerkam. Tetapi setelah mengalami kegagalan, rupanya harimau itu mendapat suatu pengalaman, bahwa dengan suatu terkaman dari jarak yang jauh, ia tak berhasil menguasai mangsanya. Maka kali ini harimau itu tidak lagi merunduk lalu meloncat. Perlahan-lahan tetapi pasti, harimau itu mendekati lawannya.

Mahesa Jenar bertambah berhati-hati melihat perubahan sikap harimau itu. Untuk melawan langsung seekor harimau sangatlah berbahaya. Kuku-kukunya serta gigi-gigi yang tajam itu dapat merobek kulitnya. Maka diputuskannya untuk segera mengakhiri perkelahian.

Maka, segera ia bersikap. Tanpa mempergunakan unsur-unsur pendahuluan untuk menekan lawannya. Ia berdiri di atas satu kakinya, menghadap langsung pada harimau itu. Satu kaki lainnya diangkat dan ditekuk ke depan. Sebelah tangannya menyilang dada, sedangkan tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi. Cepat-cepat ia mengatur peredaran nafasnya, memusatkan pikiran dan menyalurkan segala kekuatan lahir dan batin ke sisi telapak tangannya. Maka ketika harimau itu mengaum dahsyat, serta dengan garangnya menerkamnya, Mahesa Jenar pun telah siap dan terdengar ia berteriak nyaring. Ia memutar kaki yang diangkatnya itu setengah lingkaran dan membuat satu loncatan kecil kesamping. Berbareng dengan itu, tangan kanannya terayun deras sekali menghantam tengkuk harimau itu. Akibatnya adalah dahsyat sekali. Harimau itu mengaum lebih keras lagi dibarengi dengan gemeretak tulang patah. Sekejap kemudian harimau itu melenting tinggi, dan sesaat lagi terdengarlah gemuruh tubuhnya jatuh ke tanah, tidak bergerak lagi selama-lamanya. Harimau itu mati karena patah tulang lehernya oleh kekuatan tangan Mahesa Jenar yang telah mempergunakan ilmu Sasra Birawa.

Sesaat kemudian malam menjadi sunyi kembali. Yang terdengar, kecuali tarikan nafas Mahesa Jenar, adalah suara-suara binatang malam dan belalang bersahutan.

Di langit, bintang-bintang gemerlapan, seperti permata yang ditaburkan di atas selembar permadani biru kelam.

Dengan tajamnya Mahesa Jenar mengawasi lawannya yang sudah tidak bernyawa lagi itu. Ia dapat sedikit berbangga hati, bahwa sampai sekarang ia mendapat kebahagiaan untuk memiliki ilmu gurunya yang dahsyat itu. Seandainya yang dikenai itu manusia biasa, maka dapatlah dibayangkan, bahwa manusia itu akan hancur lebur tanpa sisa.

Belum lagi Mahesa Jenar puas menikmati kemenangannya, tiba-tiba terdengarlah suara gemersik ilalang di belakangnya. Cepat-cepat ia memutar tubuhnya dan segera bersiaga.

Tetapi ketika ia melihat siapakah yang berdiri di belakangnya, ia menjadi terkejut bukan kepalang. Kalau misalnya Lawa Ijo yang berada di situ, ia tidak akan seterkejut pada saat itu.

Ternyata yang berdiri di belakangnya, dengan wajah cerah, secerah bintang yang gemerlapan di langit, adalah Nyai Wirasaba.

Dalam beberapa saat Mahesa Jenar tidak dapat mengucapkan sepatah katapun, sedang Nyai Wirasaba tertunduk malu. Tetapi kemudian, Mahesa Jenar berhasil menguasai perasaannya, dan dengan sedikit tergagap ia bertanya. "Nyai Wirasaba, kedatangan Nyai sangat mengejutkan aku."

Nyai Wirasaba masih diam tertunduk. Sampai Mahesa Jenar meneruskan, "Apakah yang Nyai maksudkan, sehingga Nyai memerlukan datang kemari?"

Akhirnya Nyai Wirasaba menjadi seperti tersadar dari sebuah mimpi. Memang kedatangannya pun adalah seperti peristiwa dalam mimpi.

Nyai Wirasaba, pada saat sebelum perkawinannya, sangat mengagumi suaminya karena ketangguhan, kejantanan serta keberaniannya. Tetapi kemudian suaminya menjadi lumpuh, sehingga tak ada lagi yang dapat dikaguminya. Meskipun demikian ia tetap mencintainya.

Tiba-tiba muncullah seorang yang menurut anggapannya sangat mengagumkan pula, berani dan bersifat jantan. Ketika Mahesa Jenar keluar dari ruang tidurnya dan berdiri di halaman, sebenarnya Nyai Wirasaba sudah berada di halaman pula, untuk membeningkan pikirannya yang kusut. Mendadak pada saat itu terdengarlah aum harimau di kejauhan. Dan ketika dilihatnya Mahesa Jenar, menjadi gembira dan berlari ke arah suara itu, tanpa sadar ia segera mengikutinya untuk sekadar dapat menyaksikan sikap jantan Mahesa Jenar. Meskipun ia tidak berlari secepat Mahesa Jenar, arah suara harimau yang mengaum berkali-kali itu telah menuntunnya sampai ke tempat pertarungan itu. Apalagi ketika ia menyaksikan bagaimana Mahesa Jenar membunuh lawannya. Hatinya menjadi melonjak dan tak dapat dikuasainya lagi.

Karena itulah, ketika ia mendengar pertanyaan Mahesa Jenar, ia menjadi agak bingung. Tetapi kemudian dijawabnya juga dengan penuh kejujuran. "Aku tidak tahu, kenapa aku kemari."

"Tidak tahu?" sahut Mahesa Jenar heran.

"Ya, aku tidak tahu. Mungkin hanyalah terdorong oleh keinginanku menyaksikan suatu peristiwa yang dapat mengungkap kembali suatu kenang-kenangan yang indah pada masa muda."

"Apa yang Nyai Wirasaba lakukan adalah sangat berbahaya." berkata Mahesa Jenar kemudian, "Bagaimana kalau aku tidak dapat memenangkan pertandingan ini? Barangkali Nyai Wirasaba pun akan menjadi santapan macan loreng itu."

"Tidak mungkin." jawab Nyai Wirasaba, "Aku yakin kalau harimau itu akan terbunuh."

"Nyai Wirasaba yakin?" tanya Mahesa Jenar. Matanya memancarkan berbagai pertanyaan.

Kembali Nyai Wirasaba tertunduk diam. Dia sendiri tidak tahu kenapa ia mempunyai perasaan demikian.

"Nah, sebaiknya Nyai Wirasaba sekarang pulang. Adalah berbahaya sekali bagi Nyai untuk tetap berada disini." Mahesa Jenar menasehati seperti anak kecil yang kemalaman bermain.

Tetapi Nyai Wirasaba tetap tak bergerak. Bahkan tiba-tiba saja perasaannya terbang ke alam angan-angan yang pahit. Tiba-tiba saja ia rindukan kembali masa gadisnya beberapa tahun lampau. Saat-saat pertemuan dan perkenalannya dengan Ki Wirasaba, serta cita-citanya untuk dapat menimang seorang anak laki-laki yang segagah, seberani dan sejantan ayahnya. Tetapi sekarang, selama Wirasaba lumpuh, hampir seluruh bagian bawah tubuhnya, selama itu pula ia tak dapat mengharap menimang seorang anak laki-laki seperti yang dirindukannya.

Kembali perasaan Nyai Wirasaba melonjak dan tak dapat dikendalikan, sehingga tiba-tiba ia tersedak.

Mahesa Jenar adalah seorang laki-laki yang mempunyai perbendaharaan pengalaman yang luas sekali. Tetapi meskipun ia pernah berkenalan dengan banyak sekali wanita, ia sendiri belum pernah bergaul terlalu rapat. Sehingga wanita baginya adalah makhluk yang asing, yang mempunyai perasaan di luar kemampuannya untuk menjajakinya. Apalagi ia sendiri belum beristri. Maka ketika dilihatnya Nyai Wirasaba menangis, hatinya menjadi bingung kalang kabut. Ia menjadi semakin tidak mengerti apa yang harus dilakukannya. Ia sendiri tidak merasakan adanya suatu kesalahan yang dapat menusuk perasaan. Karena itu untuk beberapa saat ia hanya dapat berdiri diam seperti patung, sedangkan perasaannya bergolak menebak-nebak, apakah sebabnya Nyai Wirasaba menangis. Akhirnya ia sampai pada suatu kesimpulan yang sangat ditakutinya. Karena pengetahuan Mahesa jenar tentang perasaan seorang wanita sangat sempit, maka ia telah mempunyai tanggapan yang salah terhadap Nyai Wirasaba.

Karena itulah ia bertambah cemas. Katanya dengan suara gemetar "Nyai, aku telah mengorbankan harga diriku dengan tidak menerima tantangan Ki Wirasaba, sekedar untuk mengembalikan suasana ketentraman rumah tangga kalian. Dan sekarang, ketenteraman yang sudah hampir pulih kembali itu akan terganggu pula, apabila kita berdua pada malam begini berada di tempat ini. Karena itu pulanglah dan lupakanlah segala angan angan itu."

Nyai Wirasaba adalah seorang wanita yang berperasaan halus, sehalus rambut dibelah tujuh. Ditambah pula sudah beberapa tahun ia meladeni suaminya yang cacat kaki, sehingga ia menjadi semakin perasa.

Maka ketika ia mendengar perkataan Mahesa Jenar, ia terperanjat. Meskipun Mahesa Jenar sama sekali tak bermaksud jahat, dan perkataannya itu diucapkan dengan jujur menurut perasaannya, tetapi akibatnya seperti sembilu yang langsung membelah ulu hati Nyai Wirasaba. Sebagai seorang wanita yang dididik oleh seorang saleh seperti Ki Asem Gede, maka sudah tentu ia mementingkan sifat-sifat keutamaan seorang wanita. Diantaranya sifat setia dan bakti kepada suaminya.

Dengan demikian, maka perkataan Mahesa Jenar telah menggelorakan darahnya. Ia merasa tersinggung dengan anggapan itu. Meskipun ia sangat mengagumi keperwiraan seseorang, namun ia menjadi gusar juga karena tuduhan itu.

Maka dijawabnya kata-kata Mahesa Jenar itu dengan suara yang bergetar. "Tuan, aku telah mengagumi keperwiraan Tuan, keberanian dan kejantanan Tuan. Dan dengan tidak sadar pula aku telah mengikuti Tuan sampai ke tempat ini untuk menyaksikan keperwiraan Tuan. Hal ini mungkin disebabkan aku terlalu mengagumi kejantanan suamiku pada masa muda kami berdua. Dengan menyaksikan kejantanan Tuan, aku mendapat suatu jembatan yang dapat menghubungkan kembali kepada kenangan masa silam. Suatu masa yang penuh dengan harapan dan cita-cita. Tetapi Tuan telah menuduh aku dengan tuduhan yang menyakitkan hatiku." Suara Nyai Wirasaba tersekat di kerongkongan oleh air matanya yang mendesak.

Mendengar jawaban itu Mahesa Jenar tidak kurang terperanjatnya. Tetapi ia tetap tidak dapat mengerti, Kalau demikian halnya, mengapa seorang wanita seperti Nyai Wirasaba sampai bersusah payah mengikutinya. Karena Mahesa Jenar adalah seorang yang berdada terbuka serta tidak suka menyembunyikan perasaannya, maka berkatalah ia, "Tetapi sampai demikian perlukah Nyai Wirasaba pergi ke tempat ini pada malam begini?"

Sekali lagi dada Nyai Wirasaba yang penuh itu terguncang. Ia menjadi bertambah gusar mendengar kata-kata Mahesar Jenar itu. Tetapi seperti halnya Mahesa Jenar yang tak dapat menjajaki perasaannya, Nyi Wirasaba pun tidak tahu sama sekali akan ketulusan hati Mahesa Jenar. Bahkan ia menyangka bahwa dalam kesempatan itu Mahesa Jenar ingin memancing-mancing untuk meraba-raba perasaannya. Karena itu dengan marahnya ia berkata, "Tuan, aku tidak menyangka bahwa hati Tuan ternyata palsu. Maka baru sekarang aku mengerti kenapa suamiku berkata, bahwa tak mungkin seseorang menyabung nyawanya tanpa pamrih. Tetapi Tuan jangan mimpikan air mengalir ke udik."

Sekarang Mahesa Jenar yang merasa dadanya terguncang. Ia tidak dapat membayangkan bahwa wanita cantik seperti Nyai Wirasaba itu dapat sedemikian marahnya sehingga mengeluarkan kata-kata yang menusuk perasaan demikian pedihnya. Karena itu, seluruh tubuh Mahesa Jenar menggigil karena ia berusaha menahan diri. Disamping itu ia mulai merasa bahwa mungkin perkataan-perkataannya telah menyinggung perasaan Nyai Wirasaba. Maka dalam kebingungan itu, ia hanya dapat berdiri terpaku seperti patung. Tak ada sepatah kata pun yang diucapkan. Sampai Nyai Wirasaba menyambung pula, "Tuan, barangkali Tuan menyangka bahwa suamiku hanya dapat bermain main dengan suatu permainan yang jelek dengan Samparan. Tetapi ketahuilah Tuan, bahwa aku mengharap ia lekas sembuh. Dan sesudah itu aku tidak tahu apakah aku masih dapat mengagumi ketangkasan Tuan di hadapan suamiku."

Sekali lagi dada Mahesa Jenar terguncang. Ia adalah seorang laki laki yang mengutamakan keperwiraan seorang ksatria. Ia sudah menahan dirinya sekian lama sejak ia menerima sindiran-sindiran Wirasaba di hadapan Mantingan dan Ki Asem Gede. Seandainya Nyai Wirasaba tidak langsung menyinggung harga dirinya sebagai seorang laki-laki, mungkin ia masih dapat menahan dirinya, meskipun dadanya akan menjadi sesak. Tetapi sekarang, Nyai Wirasaba yang karena marahnya, telah langsung merendahkan harga dirinya sebagai seorang laki-laki dengan memperbandingkannya dengan Wirasaba. Karena itulah maka Mahesa Jenar tidak dapat lagi membendung aliran perasaannya yang semakin deras mendesak dan telah cukup lama tertahan. Meskipun demikian ia masih berusaha untuk menyambut tantangan itu dengan sebaik mungkin, meskipun nafasnya menjadi berdesakan. "Mudah-mudahan Ki Wirasaba lekas sembuh. Dan aku akan mencoba melayaninya, meskipun barangkali aku tidak akan dapat memberi kepuasan… dan…" masih banyak yang akan diucapkan Mahesa Jenar, tetapi ia tidak tahu bagaimana melakukannya. Sedangkan yang keluar dari mulutnya adalah, "Nyai, kalau ada kesalahanku maafkanlah, tak ada gunanya aku lebih lama tinggal di sini. Perkenankanlah aku pergi. Tolong pamitkan kepada mereka berdua, dan lain kali aku mengharap dapat bertemu kembali. Juga kepada Ki Wirasaba, sampaikan salamku, sampai bertemu apabila ia telah sembuh kembali."

Belum lagi Mahesa Jenar mengucapkan seluruh kata-katanya, terdengar suara Nyai Wirasaba hampir berteriak, "Salahku-lah kalau aku sampai datang kemari, apapun sebabnya, karena aku seorang wanita."

Kemudian diluar dugaan Mahesa Jenar, Nyai Wirasaba segera berlari meninggalkan tempat itu.

Mahesa Jenar terpaku di tempatnya. "Alangkah tumpulnya perasaanku. Sungguh aku tidak mengerti, apa yang baru saja terjadi."

Belum lagi Mahesa Jenar menemukan jawaban, didengarnya dari arah samping suara gemerisik rumput kering. Cepat ia memutar tubuhnya menghadap ke arah suara itu. Ternyata apa yang dijumpainya mengejutkannya pula. Orang yang datang itu adalah Ki Dalang Mantingan. Sesaat darah Mahesa Jenar jadi berdegupan. Kalau ada orang ketiga yang menyaksikan hadirnya Nyai Wirasaba di tempat itu, dapatlah menimbulkan bermacam-macam kemungkinan. Tetapi karena ia percaya bahwa sahabatnya itu tidak akan menjelekkan namanya, maka segera ia pun dapat menguasai dirinya kembali.

Sementara itu terdengar Mantingan berkata, "Adimas, maafkanlah kalau kedatanganku sangat mengejutkan Adimas."

"Tidak." jawab Mahesa Jenar sambil menggeleng lemah, "Tidak seberapa Kakang Mantingan. Tetapi sudah lamakah kakang berada di sini?"

"Sudah…" sahut Mantingan, "Sudah lama. Aku menyaksikan semua yang terjadi. Sejak Adimas membunuh harimau itu dengan tangan, sampai perselisihan paham yang terjadi antara Adimas dan Nyai Wirasaba."

Mahesa Jenar menundukkan kepalanya sambil kembali menggeleng lemah. Kemudian katanya, "Aku tidak mengerti kenapa hal-hal serupa itu bisa terjadi. Kau dengar seluruh pembicaraan kami Kakang?"

"Seluruhnya." jawab Mantingan, "Aku datang ke tempat ini bersamaan waktunya dengan Nyai Wirasaba."

"Kau tahu bahwa aku di sini?" tanya Mahesa Jenar lebih lanjut.

"Ya, sebab ketika aku mendengar aum harimau dan terbangun dari tidurku, aku tidak melihat Adimas di pembaringan. Segera aku pergi mencarinya. Ketika aku turun ke halaman, aku melihat Nyai Wirasaba sedang berlari dengan kencangnya ke arah suara harimau itu. Tentu saja aku tidak dapat membiarkan hal semacam itu. Segera aku pun pergi menyusulnya. Dan seterusnya seperti apa yang terjadi di sini."

Mendengar keterangan Mantingan, Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Kemudian untuk beberapa saat mereka berdiam diri, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Sampai kembali Mantingan berkata, "Adimas, sebenarnya apa yang terjadi hanyalah karena kesalah-pahaman belaka."

"Apa pendapat Kakang tentang hal itu?" sela Mahesa Jenar.

"Maafkanlah kalau aku katakan, bahwa tidak banyak yang Adimas ketahui tentang perasaan seorang wanita." Mantingan meneruskan, "Sebaliknya Nyai Wirasaba menerima keterbukaan dada Adimas itu dengan kemasygulan dan kegusaran. Sebenarnya tak ada persoalan apa-apa antara Adimas dan Nyai Wirasaba. Karena itu tak ada alasan bagi Adimas untuk tergesa-gesa pergi."

Mahesa Jenar diam sejenak. Ia mencoba mencerna keterangan Ki Dalang Mantingan. Tetapi akhirnya kembali ia menggeleng lemah. Katanya, "Kakang Mantingan, aku kira lebih baik aku pergi. Banyak hal yang tidak menguntungkan apabila aku tetap tinggal di sini. Kakang tahu bahwa aku bukanlah seorang yang sabar dan pradah untuk menerima perangsang-perangsang yang dapat membakar perasaanku. Aku juga masih belum tahu apakah Wirasaba sudah puas dengan kematian Samparan."

Kembali mereka berdiam diri. Udara malam yang lembab di daerah pegunungan mengalir dibawa arus angin perlahan-lahan. Dan dalam keheningan itu kembali suara-suara malam bertambah jelas.

Sebenarnya sangatlah berat perasaan Mantingan untuk melepas Mahesa Jenar pergi. Meskipun baru beberapa hari ia mengenalnya, namun seolah-olah hatinya telah tergenggam erat dalam tali persahabatan. Karena itu ia berusaha keras untuk menahan Mahesa Jenar.

"Adimas," katanya sejenak kemudian mengusik sepi malam, "kalau Adimas berkeras untuk meninggalkan tempat ini, bukankah lebih baik Adimas pergi ke Prambanan? Kakang Demang Penanggalan akan merasa berbahagia kalau Adimas sudi tinggal beberapa hari di rumahnya."

Mahesa Jenar tidak segera menjawab ajakan itu. Memang pernyataan yang demikian itu mungkin sekali. Tetapi mengingat kemungkinan-kemungkinan lain, dimana Ki Asem Gede turut berkepentingan, adalah kurang pada tempatnya. Sedangkan ia sama sekali tidak mengerti persoalannya. Tidaklah enak perasaan Mahesa Jenar untuk meninggalkan keluarga Ki Asem Gede dan kemudian tinggal pada keluarga Mantingan.

Dengan demikian suasana menjadi kaku, seperti garis-garis karang di tebing-tebing pegunungan yang merupakan lukisan-lukisan hitam di atas dasar kebiruan langit yang ditaburi bintang-bintang.

Akhirnya Mahesa Jenar mengambil suatu ketetapan. Ia harus pergi meninggalkan daerah itu. Katanya, "Kakang Mantingan, terpaksa aku tidak dapat mengubah keputusanku. Banyak hal yang dapat aku lakukan kalau aku melanjutkan perjalananku. Mungkin aku dapat menemukan sarang Lawa Ijo di hutan Mentaok atau gerombolan orang-orang berkuda yang membuat upacara-upacara aneh dengan mengorbankan gadis-gadis itu."

Sampai sekian Mantingan sudah menduga bahwa sulitlah baginya untuk tetap menahan Mahesa Jenar.

Sementara itu Mahesa Jenar meneruskan, "Kakang Mantingan, meskipun aku bukan lagi seorang prajurit, namun aku masih tetap ingin mengabdikan diriku. Sebab pengabdian yang sebenarnya tidak harus melulu ditujukan kepada raja, tetapi sebenarnyalah bahwa pengabdian harus ditujukan kepada rakyat. Karena itu aku akan merasa berbahagia sekali kalau aku dapat berbuat sesuatu untuk ketentraman hati rakyat. Nah kakang Mantingan, sampai sekian saja pertemuan ini."

Tak sepatah katapun yang dapat diucapkan Mantingan. Betapa kagumnya ia terhadap Mahesa Jenar yang telah menemukan garis tujuan bagi hidupnya. Meskipun ia sendiri juga selalu berusaha untuk melakukan hal-hal yang serupa, yaitu membasmi kejahatan, tetapi apa yang dilakukannya itu adalah diluar kesadaran bagi sesuatu tujuan yang besar. Karena itu apa yang dilakukannya adalah suatu perbuatan sepotong-sepotong tanpa suatu garis penghubung dari yang satu dengan yang lain.

Kemudian terdengar kembali Mahesa Jenar berkata, "Kakang Mantingan, sampai di sini kita berpisah. Mudah-mudahan kita dapat bertemu lagi. Kalau Kakang Mantingan tidak berkeberatan, di akhir tahun ini, dua hari sebelum purnama penuh, kita bertemu di sekitar Banyu Biru dan Rawa Pening. Bukankah pada saat itu akan terjadi sesuatu yang penting?"

Seperti diperingatkan akan kelalaiannya, Mantingan menjawab, "Baiklah Adimas. Baiklah kita menyaksikan pertemuan para tokoh-tokoh sakti dari aliran hitam itu. Sementara itu masih ada waktu bagiku untuk sedikit menambah pengetahuanku yang sangat picik ini. Sesudah itu aku juga akan segera kembali ke Wanakerta. Mudah-mudahan aku diizinkan oleh guruku, Ki Ageng Supit."

"AKU kira Ki Ageng Supit tidak akan keberatan, selama apa yang kita lakukan tidak bertentangan dengan garis kebijaksanaan negara. Nah, Kakang Mantingan, selamat tinggal. Salamku buat Ki Asem Gede dan Demang Penanggalan."

Dengan perasaan yang sangat berat Mantingan melepas Mahesa Jenar pergi. Sebenarnya Mahesa Jenar pun merasa betapa beratnya meninggalkan daerah ini, meskipun ia mengalami banyak hal yang tak menyenangkan. Tetapi justru karena itu ia akan tetap terkenang pada sahabat-sahabatnya, dimana ia sendiri sedang mengalami kesulitan.