1 tahun kemudian
"Bu, Nadir tangannya gerak!"
"Panggil dokter mas, cepat!."
Aku di mana? Siapa wanita ini?
Pria paruh baya dengan setelan jas putih menyapa dan menyentuh keningku. Entah apa kelanjutan dari hari itu, aku hanya mendengar suara-suara tanpa mengerti apa yang sedang mereka bicarakan.
"Nad, makan dulu ya. Buburnya enak loh."
Aku tidak bisa merespon apapun, kepalaku pusing sekali, sebenarnya apa yang terjadi?
Seminggu telah berlalu, aku masih saja seperti orang bodoh walau tidak ada selang yang tersambung ke tubuh. Aku baru menyadari bahwa seorang wanita yang selalu di sampingku ini adalah ibuku, serta pria paruh baya itu adalah ayahku, terlepas dari benar atau tidaknya, aku tidak peduli, mereka baik atau jahat pun aku tidak peduli. Aku benar-benar kehilangan seluruh ingatan tapi tidak dengan perasaan, tiga manusia ini terlihat sangat tulus dalam menjagaku, nyaman sekali berada di dekat mereka.
Hari berganti hari. Dan fakta baru mencuat, namaku adalah Nadir Sakinah, anak kedua dari dua bersaudara dan memiliki satu saudara laki-laki, serta ayah dan ibu yang baik sekali. Betapa beruntungnya aku di masa lalu memiliki mereka, tapi kenapa aku melupakan semuanya?
Hari ini ruanganku kedatangan satu laki-laki yang mengaku sebagai temanku tapi aku tidak mengingatnya sama sekali. Dan saat aku melihatnya hatiku merasa sakit. Sebenarnya, perjalanan apa yang pernah tercipta antara aku dan dia. Aku hanya mampu mendengarkan percakapan mereka tanpa merespon sedikit pun.
"Ka, maaf kalau kami baru memberitahumu sekarang karena situasinya tidak memungkinkan. Kecelakaan setahun yang lalu membuat Nadir berada dalam masa-masa sulit seperti sekarang. Dia benar-benar seperti orang lain meski dengan tubuh yang sama."
"Kenapa bisa separah ini, om?"
"Setahun yang lalu, setelah hari kelulusan kalian, Nadir meminta izin untuk pergi ke sebuah kedai kopi katanya dia mau menikmati hari terakhir sebelum pergi ke Belanda. Dia memang tidak memberitahumu, karena satu dan lain hal. Sampai akhirnya dia bilang akan pergi juga ke sebuah kampung yang dekat dengan pantai, tempat itu adalah tempat yang sering dia datangi dengan seseorang, Deka namanya. Sampai akhirnya kita juga gak tahu bagaimana persis kejadian itu, sewaktu dia pulang mungkin Nadir juga sudah kalap karena perasaannya pada laki-laki itu, Nadir ditabrak truk pengangkat kayu dan dia terpental hingga sejauh lima belas meter dari tempat kejadian. Kata dokter Lobus Temporal dan Lobus Parietalisnya rusak. Dan Nadir, bukan hanya hilang ingatan tapi juga kehilangan sebagian besar pengetahuan dan keterampilannya. Nadir, mengalami kesulitan dalam menulis, membaca, bahkan berhitung yang dulu adalah keahliannya. Sekarang sudah tidak bisa dilakukan. Dia, seperti kembali bayi yang tidak mengenal apa pun, bahkan keluarganya saja dia lupa."
Aku menatap pria paruh baya itu, sedang bercakap dengan laki-laki yang tadi datang. Sambil menangis, ingin aku mengusap air matanya tapi seolah tubuhku tidak mampu bergerak dan hanya sanggup menatap mereka.
"Kami juga tidak bisa memastikan dia akan kembali seperti semula. Nadir juga memiliki gangguan pada jantungnya, sebelum kecelakaan itu ternyata Nadir sudah memiliki penyakit jantung yang kemungkinan besar akan menyebabkan penyakit Alzheimer."
Kulihat pria yang harus kupanggil ayah itu juga menjelaskan sesuatu. aku tahu mereka sedang membicarakan keadaanku, mata mereka semua seolah merasakan kesedihan yang mendalam sembari melihatku di atas tempat tidur. Meski tangisan dan percakapan mereka terdengar tetap saja aku tak mampu merespon apa pun.
"Dan Nadir, menyimpan perasaannya untukmu bahkan hingga bertahun-tahun. Apa kamu tidak menyadari itu sama sekali Qafka?"
Laki-laki yang mereka ajak bicara itu kini menatap dan berjalan ke arahku dan kulihat dia menangis, apa aku semenyedihkan itu sampai semua orang di ruangan ini menangis?
"Nad, kenapa kamu gak bilang dari awal tentang semua perasaan itu? Kukira kamu hanya menganggapku sebagai sahabat saja, itulah mengapa aku mencoba mencari pelarian tapi tetap tidak bisa, sampai pada suatu saat ternyata Tuhan memberimu hadiah lagi. Seorang laki-laki yang selalu ada untukmu bahkan dia menciptakan banyak kenangan indah walau hanya beberapa jam dari pertemuan awal kalian. Aku yang menemanimu selama ini saja tidak pernah melihat ada tawa yang begitu ikhlas. Nad, aku yang tidak peka atau kamu yang tidak sadar bahwa aku juga mencintaimu!"
Entah apa yang membuatku menangis mendengar rentetan kata yang keluar dari mulut laki-laki ini. Aku seperti ingin memberontak tapi tidak bisa. Siapa dia, kenapa saat aku melihatnya sesak di dadaku semakin menjadi. Apa yang pernah dia lakukan terhadapku?
***
Keadaanku semakin membaik dan sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Tak jarang kulihat ibu menangis melihat aku yang masih saja diam. Aku juga ingin sekali bicara dan melakukan banyak hal tapi seluruh anggota tubuhku tak mampu.
Setelah kejadian di rumah sakit, laki-laki yang bernama Qafka itu sering mengunjungiku di rumah. Membantu mengenal huruf, angka, benda dan banyak hal. Tapi tak banyak perubahan yang terjadi terhadapku, aku layaknya anak kecil yang susah sekali menerima pelajaran.
Tak jarang pula aku marah terhadap keadaan. Aku sudah berjuang selama ini bahkan ibu dan ayahku kelihatan lelah sekali. Kenapa tidak Tuhan ambil saja nyawaku kalau aku hidup hanya untuk memberikan kesedihan.
"Nad, kamu sudah bisa menulis namamu sendiri. Itu sudah kemajuan yang sangat baik."
Wajah laki-laki ini, kenapa aku tidak merasa bahagia bersamanya padahal yang kudengar dari ibu, dia adalah laki-laki yang kucinta sejak aku duduk di bangku sekolah menengah pertama. Perasaanku terlihat sangat asing. Tidak ada rasa bahagia sedikit pun.
Sebulan sudah kepulanganku ke rumah. Beberapa kali aku pergi ke rumah sakit untuk melihat perkembangan dari pemulihan ingatan. Dokter selalu mengatakan bahwa ada kemajuan tapi aku selalu merasa semakin buruk. Tidak ada yang bisa kulakukan, aku telah kehilangan segalanya.
Ibu mengatakan bahwa aku pernah memiliki cita-cita untuk kuliah kedokteran di Belanda. Itu artinya dulu aku pintar. Apa yang sudah kuperbuat bahkan seluruh ilmu hilang?
Aku mengatakan pada ibu untuk tidak membawa Qafka ke rumah. Aku bisa belajar dengan sendirinya tidak perlu bantuan apalagi belas kasihan. Apalagi saat melihat wajahnya aku seperti melihat luka yang teramat dalam.
"Bu, boleh aku meminta sesuatu?"
"Apa Nad?"
"Aku ingin membuat seperti itu." Aku menunjuk sebuah lukisan yang tergantung di dinding. "Iya, nanti ibu belikan cat dan semua keperluan kamu untuk melukis ya. Ibu akan belikan yang banyak." Wanita itu kembali memeluk dan aku merasakan isak tangis di balik punggung. Apa yang membuatnya menangis, kuharap tangisan itu adalah tangis bahagia.
Aku tidak mampu membuat gambar yang menarik. Hanya mencampur-campurkan cat dengan air dan menghabiskan cat-cat itu tanpa mampu memulai pada kanvas putih. Sampai aku merasa tidak ada satu pun yang mampu kulakukan dengan benar, aku membuang cat-cat itu ke tempat asal tak peduli dengan keadaan sekitar.
"Nad, kamu gak boleh begini terus. Kamu harus kuat!"
"Untuk apa kamu ke sini lagi? Sudah kuberitahu ibu untuk tidak melibatkanmu ke hidupku lagi."
"Kamu pikir aku mampu melihat orang yang kucintai terluka sedalam ini? Kamu boleh marah, kecewa, pada keadaan. Tapi, jangan pernah suruh aku untuk menjauhi, aku tidak akan pernah bisa, Nad."
"Tidak peduli seberapa keras kau membantuku untuk memulihkan ingatan, yang jelas tiap kali melihatmu, aku merasakan luka yang begitu dalam dan itu artinya kau bukan orang baik di hidupku."
Aku menangis sambil terus meronta-ronta, laki-laki ini juga menangis. Tak peduli dengan semua yang sudah kukatakan padanya, mereka bilang aku adalah orang yang pintar di masa lalu harusnya tidak akan ada kesulitan untuk memulihkan semuanya, bukan? Aku merasa pusing dan pandangan kabur.
***
Aku mengerjap-ngerjapkan mata dan melihat keadaan sekitar, memperhatikan dengan seksama.
"Nad kamu harus banyak istirahat ya nak. Kamu masih terlalu dini untuk mengingat semuanya." Aku tidak merespon apa pun terhadap perkataannya. Aku harus berusaha keras mengingat memori itu.
Hari ini ibu mengajari memasak. Katanya dulu aku orang yang suka makan tapi tak pernah mau ke dapur, aku lebih suka di kamar sambil membaca buku dari pada berada di dapur bersinggungan dengan minyak goreng.
Sambil memakan kue, ibu bertanya dengan sangat hati-hati. "Nad, mau pergi ke Belanda? Kita tinggal di sana saja, ya?"
Aku tidak menjawab, Belanda itu terkesan tidak asing di telingaku, ada perasaan senang saat ibu membicarakan tapi kenapa rasanya masih ada hal yang belum kuselesaikan di sini?
"Bu, Qafka ke mana?" terlihat wajah ibu sedikit berubah kemudian dia tersenyum.
"Kamu mau ketemu dia?" aku hanya menjawab dengan anggukan.
Tak lama berselang aku sedang duduk di halaman belakang rumah sambil membawa buku untuk menghapal benda-benda.
"Nad, mau aku bantu?"
"Maaf untuk kemarin ya."
"Aku ngerti kok, sekarang belajarnya sudah sampai mana?"
"Aku hanya ingin menanyakan sesuatu?"
"Oh, iya, kenapa Nad?"
"Bagaimana kehidupanku sebelum kecelakaan itu? Aku mohon jangan sembunyikan apa pun. Kamu sudah berteman denganku lebih dari tujuh tahun, bukan?" kulihat raut wajahnya sedikit berubah. Dia menarik napas panjang.
"Dulu, kamu orang yang menyenangkan Nad. Kita selalu melakukan banyak hal bersama-sama dan kamu selalu marah kalau aku bermain bola sampai malam padahal tugas rumahku belum selesai. Sambil terus mengomel, kamu membantu untuk mengerjakan tugas. Aku tidak pernah pergi jauh darimu walau kita tidak sekelas lagi dan selalu menemanimu membaca buku di halaman belakang sekolah. Kamu bahkan selalu menungguku selesai bermain bola. Kita dulu sangat dekat Nad, sampai aku mulai menyukaimu tapi tidak ada keberanian untuk menyatakan perasaan itu. Hanya kamu satu-satunya perempuan yang tidak bisa aku lupakan bahkan saat aku sudah menjalin hubungan dengan perempuan lain."
"Lantas kenapa kaumelakukan itu? Kalau memang akulah perempuan yang paling kau sayang kenapa kau malah menjalin hubungan dengan orang lain?"
"Aku tidak mau karena perasaanku padamu malah membuat kita menjadi orang asing. Kuputuskan untuk melepasmu Nad, tidak lagi mengganggu. Mungkin itu satu-satunya cara agar persahabatan kita tak mengenal luka."
Aku meninggalkan Qafka tanpa peduli dia memanggilku berkali-kali. Berusaha bersikap ramah padanya tapi perasaan ini tidak bisa berbohong. Sepertinya tidak ada lagi yang harus kuberatkan di sini, aku harus ke Belanda.
Hari ini, setelah semuanya coba untuk kuselesaikan. Benar atau salah, iya atau tidak, aku akan pergi. Semoga Belanda dapat menerimaku dengan baik. Tidak perlu menjamu yang spesial cukup yang menurutmu baik dan tidak menyakiti terlalu dalam.
Dokter Adrian sudah mengatakan bahwa akan ada yang mengawasiku di sana. Tak perlu takut karena kesehatanku akan terus dipantau. Aku menanti dokter baruku, apakah dia sesabar dokter Adri atau malah bersikap masa bodoh dan menakut-nakuti pasiennya, kuharap tidak.